Suara pintu berdebum mengiringi langkah Brianna menapak pada luasan apartementnya. Tanpa perlu berpikir lebih lanjut, ia dengan sembarangan melempar beberapa barang-barang yang melekat di tubuhnya sebelum menghempaskan diri secara pasrah di atas kasur.
Beberapa kali terdengar helaan nafas berat yang dilanjutkan dengan teriakan keputusasaan.
“Arggh!! Brengsek! Berani-beraninya bedebah itu menciumku.”
Brianna meraba bibirnya, kembali mengingat bagaimana Ellecio dengan lancang mendaratkan sebuah kecupan di sana. Ada rasa tidak terima sebab itu adalah ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya Brianna berikan pada pria yang benar-benar ia cintai. Tapi pria itu justru merebutnya tanpa ragu.
“Dasar buaya mesum! Laki-laki sialan!”
Seketika Brianna menyesal karena sudah menantang Ellecio. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Baru sehari saja pria itu sudah membuat hidupnya kacau, apalagi seterusnya?
Bisakah Brianna menghadapinya? Atau memilih untuk menghindar seperti yang telah ia lakukan dulu?
Entahlah!
Memikirkannya jelas membuat otak tidak seberapa Brianna hampir meledak.
Maka, dengan memilih untuk melupakan sejenak permasalahan yang ada, Brianna dengan malas menyeret ke dua kakinya menuju kamar mandi. Agaknya berendam dengan air hangat setidaknya bisa mengurangi beban berat yang bersarang di pundaknya.
Hampir satu jam lamanya ketika akhirnya pintu kamar mandi itu terbuka. Menampilkan Brianna yang baru saja keluar dari sana dengan bathrobe yang membungkus tubuhnya. Bersamaan dengan munculnya sosok lain yang menerobos masuk begitu saja ke dalam kamar sang wanita.
“Apa kau memang terlahir tidak memiliki sopan santun sama sekali? Setidaknya ketuklah pintu sebelum kau masuk ke kamar orang.” Brianna mendengkus kesal, merutuki sikap pria yang seperti tidak menghiraukan ucapannya sama sekali.
Pria itu justru tanpa diduga begitu saja meringsek ke dalam pelukan Brianna. Dengan raut wajah panik ia menarik dagu wanita itu, memeriksa sudut bibir yang terluka akibat perlakuan Ellecio tadi pagi.
“Apa ini sakit?” tanya pria itu dengan nada khawatir. “Duduklah, biar aku obati.”
Tanpa membiarkan Brianna merespon ucapannya, pria itu menarik Brianna menuju kasur lantas mengambil kotak obat yang berada di laci nakas. Membukanya secara tergesa lalu dengan cekatan memberikan obat pada luka di sudut bibir sang wanita.
“Ada apa datang ke sini?” tanya Brianna sesaat setelah pria itu menyelesaikan tugasnya sebagai dokter dadakan. Bola matanya mengikuti pergerakan sang pria yang membuang sampah dan juga mengembalikan kotak obat kembali ke tempat semula.
“Ada yang salah dari seorang saudara mengunjungi tempat tinggal sepupunya sendiri, Carol?”
Brianna merotasikan bola matanya malas tatkala mendengar pria itu menyebut panggilan masa kecilnya.
“Bisakah untuk tidak memanggilku dengan nama itu lagi? Carol telah lama mati, yang ada sekarang hanyalah Brianna. Apa kau paham Tuan Jackson Adams yang terhormat?”
Jackson tersenyum masam. “Maaf, tapi sayangnya aku lebih menyukai si lugu Carol daripada si angkuh Brianna.”
Brianna terdiam tak menanggapi, agaknya ia mencoba untuk mengabaikan ucapan Jackson sembari memilih pakaian ganti pada lemari pakaian.
“Aku mau ganti baju, bisakah kau keluar dari kamarku dulu?”
Jackson mengangguk. "Ya, tentu saja! Take your time, Carol!" jawabnya lantas keluar dari kamar Brianna dan menunggu di ruang tengah.
Tidak perlu waktu bagi Jackson untuk menunggu, sebab beberapa menit kemudian Brianna terlihat keluar dari kamarnya dan menghampiri Jackson dengan penampilan sederhana. Celana pendek dan paduan kaus putih kebesaran seolah tidak memudarkan kadar kecantikan yang wanita itu pancarkan.
“Kau sudah makan?” tanya Brianna seraya melangkahkan kakinya menuju dapur. “Aku bisa membuatkanmu sesuatu. Itupun kalau kau mau."
“Tidak perlu, aku sudah membeli makan malam untuk kita.”
Jackson menunjukkan satu kantung plastik berisi dua porsi steak yang tadi sempat ia beli sebelum datang ke apartement Brianna.
“Wow, baguslah." Brianna berpura-pura terkesima. "Setidaknya kau masih punya hati untuk tidak merepotkan adik sepupumu yang cantik ini,” lanjutnya.
"Cih! Aku tidak sekejam itu, adik sepupuku yang paling cerewet!" balas Jackson yang disambut kekehan kecil dari Brianna.
Maka, dengan mengabaikan perdebatan konyol antar sepupu yang sudah tidak berjumpa untuk waktu yang lama, keduanya seakan larut dalam sebuah obrolan ringan sembari menyantap hidangan makan malamnya. Beberapa kali terdengar tawa yang memenuhi ruangan, lalu sesaat kemudian disusul umpatan kata binatang yang tidak pantas diucapkan.
“Carol ….”
Di sela-sela percakapan mereka, Jackson tiba-tiba saja berujar cukup serius yang membuat Brianna terpaksa menghentikan tawanya.
“Sudah ku bilang jangan memanggilku dengan—“
“Maafkan aku,” ujar Jackson dengan kepala yang menunduk. Terdengar ada getar yang mengiringi untaian kalimat itu.
Brianna terdiam sesaat, sebelum kemudian ia tersenyum tipis seraya meraih air putih yang tersaji di hadapannya. “Minta maaf untuk?” tanyanya berusaha untuk terlihat tenang.
“Untuk semuanya,” jawab Jackson tertunduk. “Maaf karena telah menjadi kakak yang buruk selama ini, maaf karena tidak pernah ada di sampingmu saat kau terluka dan maaf karena ….“
Jackson menjeda ucapannya, agaknya ia perlu menghirup udara sebanyak-banyaknya agar dirinya bisa melanjutkan perkataannya. “Karena ... aku mungkin tidak akan bisa berada di pihakmu lagi.”
Untuk sesaat Brianna merasa dadanya berdenyut nyeri, akan tetapi sebisa mungkin ia menutupi semua itu dengan senyuman tipis. Ditatapnya Jackson lekat sebelum kemudian ia menggeleng pelan.
“Tidak apa-apa, Jack. Bukankah itu memang bagian dari kesepakatan kita sejak awal?”
“Kau hanya perlu berada di pihaknya, tetap bersamanya apapun yang terjadi. Tidak perlu lagi membelaku seperti waktu dulu. Aku tidak ingin dia salah paham dan menganggapmu menyukaiku lagi.”
“Tapi Carol ... ah maksudku Bri, tidakkah ini sangat tidak adil untukmu? Kau telah menderita selama ini dan dia—“
“Dia juga sama menderitanya denganku, Jack. Bahkan mungkin lebih.” Ucapan Brianna terdengar bergetar.
“Jadi ku mohon untuk kali ini saja, jangan pernah menghalangi apapun yang ingin dia lakukan. Biarkan dia meluapkan segalanya dan aku berjanji tidak akan melarikan diri lagi.”
Jackson mendesah frustasi, melihat sorot mata Brianna yang memohon kepadanya membuat pria itu mengalami dilema tersendiri. Ia mengusap kasar wajahnya, tidak tahu harus berbuat apa dalam situasi ini.
“Oke, oke, baiklah. Tidak masalah jika kau memintaku untuk terus berada di sisinya, tapi setidaknya ku mohon kali ini ijinkan aku untuk menjadi kakak sepupu yang baik untukmu."
Alis Brianna berkerut. “Maksudmu?” tanyanya tak mengerti arah pembicaraan Jackson.
“Tentang kondisimu. Apa kau sudah ke dokter bulan ini? Apa obatmu sudah kau minum secara rutin?”
Brianna lagi-lagi terdiam. Inilah yang ia sangat benci dari orang-orang yang mengetahui tentang kondisinya. Tatapan iba itu benar-benar membuatnya muak. Ia benci ada orang yang menunjukkan rasa kasihan padanya, benci ada orang yang meneteskan air mata hanya karena dirinya dan Brianna benci karena telah membuat orang-orang di sekelilingnya menderita.
“Kau tenang saja, Jack. Adikmu ini baik-baik saja. Selagi kau belum melihatku terkubur bersama peti mati di atas tanah pemakaman, itu artinya aku masih baik-baik saja.”
Tbc
Biasan sinar senja secara perlahan mulai menyusup di antara dinding kaca. Menerpa sebagian wajah tampan Ellecio yang tengah menikmati waktu sorenya duduk di kursi kerja.Matanya sekilas memeta luasan ruangan kerjanya yang baru ia tempati beberapa hari belakangan ini. Memang tidak seluas dan semewah seperti ruangan kerja kantornya yang ada di New York, akan tetapi pemandangan yang disajikan dari lantai lima belas itu seolah mengubur segala kelemahannya.Lautan lepas yang memantulkan cahaya orange dari matahari yang terbenam, serta bentangan Santley Park yang terlihat menghijau di kejauhan sana seakan mampu memberikan ketenangan tersendiri bagi Ellecio.Mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, Ellecio termenung sembari mulutnya terus berhitung mundur. Entah ia sedang melakukan apa.“Lima, empat, tiga, dua ….”BRAK!!!Senyum kemenangan seketika terukir di bibir Ellecio tatkala mendapati Brianna datang dengan membanting
Malam semakin larut, namun suasana kelab malam itu semakin menyesakkan. Kepulan asap rokok mengepul ke udara. Merambat di antara lautan manusia yang tengah sibuk mencari kenikmatan sesaat. Ada yang sibuk menari di lantai dansa, ada pula yang sibuk dengan gelas alkohol dan wanita seksi di sampingnya.Namun untuk Brianna sendiri, ia lebih memilih untuk duduk berdiam diri di depan meja bar. Beberapa tegukan alkohol telah berhasil membuat kepalanya berputar-putar. Memberi afeksi pada tubuhnya yang mulai terasa memanas.“Tolong beri aku satu gelas lagi.” Brianna menjatuhkan kepalanya di atas meja. Mencoba untuk tetap mempertahankan kesadaran dengan berusaha untuk tidak menutup kedua kelopak matanya. “Apa kau sedang dalam masalah, Bri?” tanya Gary, seorang bartender yang kebetulan mengenal sosok wanita yang ada di hadapnnya.Brianna terkekeh. “Untuk apa kau bertanya seperti itu, Gary? Kau tahu bukan jika hidupku selalu dikel
“Satu juta dollar!”Berada di antara kebisingan sebuah kelab malam bukanlah hal yang biasa bagi seorang Brianna Caroline. Dirinya terlampau nyaman dengan suasana tenang apartemen di mana hanya lagu favorit dari penyanyi kesayangan yang menemani kesendiriannya sepanjang malam.Namun teruntuk malam ini, sebuah tawaran menggiurkan membawa Brianna berakhir duduk di deretan bangku meja bar. Beradu pandang pada sosok wanita paruh baya yang terlihat menyunggingkan senyum sinis. Kepulan asap tipis dari batang rokok yang menyala seakan mendramatisir bagaimana percakapan itu terjalin cukup serius di antara ke duanya.“Ya dan seukuran model rendahan sepertimu, bukankah satu juta dollar merupakan sebuah nominal yang sangat fantastis?” ujar wanita itu dengan nada mengejek. Rambut ikal yang ditata mengembang membuat kesan angkuh itu tercetak jelas pada wajahnya.”Aku sarankan kau untuk menerimanya, Bri. Lagipula tugasmu hanya merayunya, bu
Sabtu malam, desiran hawa dingin terasa menusuk kulit seiring dengan tetesan hujan yang masih setia membasahi hampir seluruh wilayah Vancouver.Angin yang berhembus berhasil menghasilkan titik embun yang tersangkut pada bohlam lampu jalan. Sinar temaramnya seolah sekuat tenaga menerangi siluet seorang wanita yang setia berdiri di bawahnya.Berbekal payung hitam yang melindungi tubuh dari tetesan air hujan, Brianna terdiam memandangi megahnya bangunan Plaza Hotel dari seberang jalan.Termenung untuk sesaat, Brianna seakan baru menyadari jika kota yang telah ia tinggali selama kurang lebih delapan tahun ini memang benar-benar kota yang indah. Perpaduan budaya dari berbagai negara berhasil membuat penampilan kota Vancouver terlihat begitu beragam—terutama pada malam hari.Lampion merah yang tergantung di depan restoran Cina nampak cantik berpadu dengan gambar mural pizza pada dinding restoran italia yang berada di sampingnya. Belum lagi gemerlap cahaya
‘Dasar pembubuh! Pembawa sial!’‘Pergi ke neraka sana, pembunuh sepertimu tidak layak untuk hidup!’‘Kau menghancurkannya, kau membunuhnya! Aku benar-benar sangat membencimu!’Brianna tersengal, nafas memburu dengan keringat yang mengucur deras di sekujur tubuhnya. Mata yang tadi tertutup rapat dibuka paksa oleh mimpi buruk yang kerap menghantuinya belakangan ini.Sudah berlalu beberapa hari dari pertemuannya dengan Ellecio, akan tetapi teriakan mengerikan di mimpi-mimpi itu tidak pernah berhenti mengganggu tidur malamnya.Dengan tangan gemetar Brianna meraih segelas air yang letakkan di atas nakas, lantas meneguknya secara rakus hingga tak ada satu tetes pun yang tersisa. Berkali-kali menarik nafas guna menenangkan debaran jantungnya yang mulai berdetak tidak karauan.‘Tenangkan dirimu, Bri. Itu hanya mimpi, kau tidak perlu merasa takut.’Batin Brianna mencoba menenangkan
Tubuh Brianna menegang, berbalik dan mendapati Ellecio sudah berdiri di ambang pintu. Tersenyum licik sembari berjalan mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Ketukan sepatu mewahnya yang berbenturan dengan lantai terdengar seperti hymne kematian yang bersiap untuk menjemput Brianna menuju neraka.Brianna tidak tahu kenapa tubuhnya merespon kelewat impulsif, spontan menahan nafas saat aroma parfum Ellecio membelai indera penciumannya. Wajah tampan dengan mata elang itu seakan menyihir bagaimana dengan tegasnya Ellecio mendominasi permainan.“Aku adalah pimpinan baru dari Laurent, dan aku juga yang meminta Nicole untuk mengantimu dengan yang lain. Ada masalah dengan itu Nona Brianna?”Menarik nafas pelan, sejenak Brianna berdeham guna mengumpulkan keberaniannya yang mendadak terpecah. Lantas mendongak, menatap sinis wajah Ellecio.“Wow, tidak ku sangka jika Tuan Ellecio William yang terkenal dengan bisnis kapal pesiar mewahn