Malam semakin larut, namun suasana kelab malam itu semakin menyesakkan. Kepulan asap rokok mengepul ke udara. Merambat di antara lautan manusia yang tengah sibuk mencari kenikmatan sesaat. Ada yang sibuk menari di lantai dansa, ada pula yang sibuk dengan gelas alkohol dan wanita seksi di sampingnya.
Namun untuk Brianna sendiri, ia lebih memilih untuk duduk berdiam diri di depan meja bar. Beberapa tegukan alkohol telah berhasil membuat kepalanya berputar-putar. Memberi afeksi pada tubuhnya yang mulai terasa memanas.
“Tolong beri aku satu gelas lagi.” Brianna menjatuhkan kepalanya di atas meja. Mencoba untuk tetap mempertahankan kesadaran dengan berusaha untuk tidak menutup kedua kelopak matanya.
“Apa kau sedang dalam masalah, Bri?” tanya Gary, seorang bartender yang kebetulan mengenal sosok wanita yang ada di hadapnnya.
Brianna terkekeh. “Untuk apa kau bertanya seperti itu, Gary? Kau tahu bukan jika hidupku selalu dikelilingi oleh banyak masalah.”
“Ya, aku tahu. Tapi sebanyak-banyaknya masalah yang pernah ada di hidupmu, kau tidak pernah sekalipun membuat dirimu sampai mabuk seperti ini, Bri. Memangnya masalah apa yang bisa membuat seorang Brianna sampai seperti ini?” Gary meletakkan lagi satu gelas alkohol yang dipesan Brianna. Dari sorot wajahnya jelas-jelas menunjukkan ia begitu khawatir.
“Jika kau tidak keberatan, kau bisa menceritakannya padaku.”
Brianna terdiam tak menjawab. Kepalanya masih ia rebahkan di atas meja seraya memainkan jari telunjuknya pada pingiran gelas. Pandangannya mulai berkabut, sebelum cairan hangat itu terlihat membasahi pipinya.
“Ti-tidak, tidak ada. Aku baik-baik saja, Gary. Ya, aku baik-baik saja.” Brianna mengusap air matanya lantas bangkit dari duduknya.
“A-aku, aku mau ke toilet dulu." Sebuah pilihan yang tepat guna menghindari tatapan Gary yang mulai mengintimidasinya.
Brianna berjalan sempoyongan, beberapa kali ia bahkan harus meminta maaf pada orang-orang karena tidak sengaja ia tabrak. Perlahan menyusuri sebuah lorong remang-remang yang membawanya menuju toilet di ujung ruangan.
“Nona, kau baik-baik saja?” Seorang pria merengkuh pinggang Brianna ketika ia hampir saja terjatuh.
“Ya, aku baik-baik saja. terima kasih,” jawab Brianna seraya mencoba untuk melepaskan rangkulan tangan sang pria. Akan tetapi pria itu justru semakin merapatkan tubuhnya. Berusaha menggesek-gesekkan bagian intim tubuhnya di paha Brianna.
“Tidak, Nona. Kau terlihat sudah sangat mabuk. Bagaimana kalau kita pergi saja dari sini? Aku bisa membawamu ke tempat indah yang tidak akan pernah kau sesali.” Kini pria itu mulai merapatkan wajahnya, menghirup aroma vanilla bercampur alkohol yang tertinggal di tubuh Brianna.
“Sial! Hanya dengan menghirup aroma tubuhmu saja sudah membuatku hampir gila.” Pria itu terkekeh, sementara Brianna sebisa mungkin menghindari sentuhan tangan sang pria yang mulai meremas bokongnya.
“Le-lepaskan aku, brengsek!”
Meski dalam keadaan mabuk, Brianna tidak mungkin abai dengan alarm peringatan yang tubuhnya berikan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan tubuhnya dari pria itu. Mendorongnya kuat kemudian dengan cepat menendang area sensitif yang ada di antara kedua kaki pria itu.
“Arrgh! Wanita sialan! Berani-beraninya kau menendang juniorku!” Pria yang sekiranya berumur empat puluhan itu meringkuk seraya memegangi bagian inti tubuhnya yang ditendang oleh Brianna.
“Kau yang sialan! Dasar pria mesum! Pria kurang ajar!”
Brianna kembali melayangkan pukulannya ke arah dada sang pria hingga membuatnya tersungkur di atas lantai dingin.
“Ku bunuh kau jika sekali lagi berani menyentuh tubuhku.”
Sorot mata Brianna menghunus tajam dan tanpa berminat untuk pergi ke toilet lagi, ia kemudian berjalan kembali ke arah bar. Meninggalkan pria yang telah menggodanya itu.
Namun baru saja ia berjalan beberapa langkah, seseorang tiba-tiba saja menariknya dan mendorong tubuhnya hingga membentur tembok.
“Wanita jalang! Kau pikir kau secantik apa, hah! Berani-beraninya kau menolakku!”
Pria yang tadi mengganggu Brianna tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya dan berhasil mengurung tubuh Brianna di antara ke dua tangannya. Dengan ganas ia mencoba untuk mencium bibir Brianna. meringsekkan tubuh besarnya ke arah tembok yang menghimpit sang wanita.
“Tidak perlu sok munafik, Sayang! Aku tahu kau adalah wanita jalang yang sudah sering digagahi para lelaki.”
Nafas pria itu semakin memburu, menantang Brianna yang tengah berusaha keras melepaskan dirinya. Kepalanya ia gerakkan ke kanan dan ke kiri, menghindar agar pria sialan itu tidak berhasil untuk menciumnya.
“Brengsek!” Brianna menggeram. Air matanya perlahan mulai mengalir. Merasa tidak terima jika tubuhnya harus dijamah oleh pria yang sama sekali tidak ia kenal. “Le-lepaskan aku!”
Hentakkan terakhir akhirnya berhasil mendorong tubuh pria itu menjauh dan tanpa membuang waktu lebih banyak, Brianna dengan cepat berlari menyusuri lorong yang sialnya terlihat begitu sunyi. Jelas ia tidak akan bisa meminta bantuan siapapun.
Namun lagi dan lagi, pria itu kembali bisa meraih tangannya. Kembali mendorong tubuhnya ke arah sebuah pintu yang membawa keduanya masuk dalam sebuah ruangan yang tidak Brianna ketahui.
BRAKK!!
“Mau lari ke mana kau, hah!”
Tubuh Brianna terlempar begitu saja ke atas meja yang berisikan beberapa botol minuman alkohol yang telah kosong. Membuat sebagian dari botol itu terjatuh akibat tubuh Brianna yang memonopoli meja.
Ruangan yang didominasi oleh cahaya remang itu tidak bisa membuat Brianna tahu di manakah sekarang ia berada. Atau apakah ada orang lain yang ada di tempat ini.
Yang bisa Brianna pikirkan saat ini hanyalah bagaimana kalau-kalau pria itu akan memperkosanya di atas meja.
Sial! Memikirkannya saja sudah membuat perutnya mual.
‘Tidak! aku tidak boleh membiarkan pria itu menyentuhku. Tidak boleh!’ Batin Brianna berteriak.
Maka, dengan segenap kekuatan yang tersisa, Brianna berkali-kali mencoba melepaskan diri dari pria yang kini tertawa di atas tubuhnya. Namun kekuatan yang ia miliki jelas tidak sebanding dengan milik pria itu.
Sosok pria mesum itu terus menerus menekan tubuhnya semakin dekat sampai sebuah tangan dengan sigap menarik sang pria menjauh dari Brianna yang terbaring lemah di atas meja.
Tubuh pria itu terlempar ke arah sofa di pojok sana. Dengan linglung ia merasakan ada sosok lain yang tengah menghajarnya habis-habisan. Darah yang mengucur deras di sekitar wajahnya membuat kesadaran secara perlahan menghilang.
Di sana, Ellecio berdiri dengan nafas memburu. Dadanya bergerak naik dan turun dengan tangan mengepal yang berisikan beberapa tetesan darah. Ia kemudian berbalik, mendapati bagaimana Brianna masih berbaring di sana dengan kondisi tubuh yang cukup memprihatinkan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Ellecio seraya membalutkan jasnya untuk menutupi gaun Brianna yang sudah robek. Kemudian dengan sigap mengangkat tubuh mungil itu dan membawa ke atas pangkuannya.
Di sinilah untuk pertama kalinya Ellecio melihat bagaimana tatapan sayu itu terpancar dari mata Brianna. Jika biasanya sang wanita hanya akan menunjukkan tatapan angkuhnya, tapi kali ini Ellecio seakan tengah melihat sosok lain dari Brianna. Binar kesedihan bercampur takut itu terbaca jelas lewat pengamatan Ellecio.
Hal itulah yang mungkin mendasari kenapa pada akhirnya ia memutuskan untuk menolong Brianna.Tadinya ia memang sempat kesal sebab seseorang dengan lancang menerobos masuk ke dalam ruangan VIP-nya.
Tapi saat Ellecio tahu jika ada pria yang berusaha melecehkan Brianna, dalam gelap ia hanya berdiam diri sembari menikmati pemandangan itu. Bermaksud ingin menertawakan kepasrahan Brianna saat dimasuki pria mabuk itu.
Namun entah kenapa, saat mendengar isakan Brianna, mendadak hatinya menjadi lemah. Mendadak dadanya terasa seperti diremas dan ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menolong sang wanita. Bahkan kini, ia dengan rela memangku tubuh bergetar Brianna, mencoba menenangkannya dengan sebuah usapan lembut.
“Sstt, tenanglah. Kau sudah aman sekarang.”
Brianna menangis sejadinya, tubuhnya bergetar hebat dan secara pasrah membiarkan lengan kekar itu merengkuhnya. Memberi kenyamanan yang baru pertama kali ia rasakan. Di sisa kesadarannya Brianna mungkin tidak tahu jika pria yang telah menolongnya adalah Ellecio.
Sebab bukannya memanggil Ellecio, ia justru menyebutkan nama pria lain yang mana membuat tubuh Ellecio seketika menegang.
“Andrew ….”
Brianna menyentuh pipi Ellecio, menelusuri pahatan wajah yang terpatri sempurna. Matanya mengerjap, membiarkan bulir-bulir bening itu jatuh membanjiri pipinya.
“Andrew ….” Brianna kembali menyebut nama Andrew tanpa menyadari jika tatapan Ellecio mulai terlihat berubah.
“Bri, kau—“
“Ku mohon maafkan aku, Andrew. Maaf, ku mohon maafkan aku.”
Ucapan terakhir Brianna sebelum semuanya gelap dan tubuhnya terkulai lemas di pangkuan Ellecio.
Tbc
“Satu juta dollar!”Berada di antara kebisingan sebuah kelab malam bukanlah hal yang biasa bagi seorang Brianna Caroline. Dirinya terlampau nyaman dengan suasana tenang apartemen di mana hanya lagu favorit dari penyanyi kesayangan yang menemani kesendiriannya sepanjang malam.Namun teruntuk malam ini, sebuah tawaran menggiurkan membawa Brianna berakhir duduk di deretan bangku meja bar. Beradu pandang pada sosok wanita paruh baya yang terlihat menyunggingkan senyum sinis. Kepulan asap tipis dari batang rokok yang menyala seakan mendramatisir bagaimana percakapan itu terjalin cukup serius di antara ke duanya.“Ya dan seukuran model rendahan sepertimu, bukankah satu juta dollar merupakan sebuah nominal yang sangat fantastis?” ujar wanita itu dengan nada mengejek. Rambut ikal yang ditata mengembang membuat kesan angkuh itu tercetak jelas pada wajahnya.”Aku sarankan kau untuk menerimanya, Bri. Lagipula tugasmu hanya merayunya, bu
Sabtu malam, desiran hawa dingin terasa menusuk kulit seiring dengan tetesan hujan yang masih setia membasahi hampir seluruh wilayah Vancouver.Angin yang berhembus berhasil menghasilkan titik embun yang tersangkut pada bohlam lampu jalan. Sinar temaramnya seolah sekuat tenaga menerangi siluet seorang wanita yang setia berdiri di bawahnya.Berbekal payung hitam yang melindungi tubuh dari tetesan air hujan, Brianna terdiam memandangi megahnya bangunan Plaza Hotel dari seberang jalan.Termenung untuk sesaat, Brianna seakan baru menyadari jika kota yang telah ia tinggali selama kurang lebih delapan tahun ini memang benar-benar kota yang indah. Perpaduan budaya dari berbagai negara berhasil membuat penampilan kota Vancouver terlihat begitu beragam—terutama pada malam hari.Lampion merah yang tergantung di depan restoran Cina nampak cantik berpadu dengan gambar mural pizza pada dinding restoran italia yang berada di sampingnya. Belum lagi gemerlap cahaya
‘Dasar pembubuh! Pembawa sial!’‘Pergi ke neraka sana, pembunuh sepertimu tidak layak untuk hidup!’‘Kau menghancurkannya, kau membunuhnya! Aku benar-benar sangat membencimu!’Brianna tersengal, nafas memburu dengan keringat yang mengucur deras di sekujur tubuhnya. Mata yang tadi tertutup rapat dibuka paksa oleh mimpi buruk yang kerap menghantuinya belakangan ini.Sudah berlalu beberapa hari dari pertemuannya dengan Ellecio, akan tetapi teriakan mengerikan di mimpi-mimpi itu tidak pernah berhenti mengganggu tidur malamnya.Dengan tangan gemetar Brianna meraih segelas air yang letakkan di atas nakas, lantas meneguknya secara rakus hingga tak ada satu tetes pun yang tersisa. Berkali-kali menarik nafas guna menenangkan debaran jantungnya yang mulai berdetak tidak karauan.‘Tenangkan dirimu, Bri. Itu hanya mimpi, kau tidak perlu merasa takut.’Batin Brianna mencoba menenangkan
Tubuh Brianna menegang, berbalik dan mendapati Ellecio sudah berdiri di ambang pintu. Tersenyum licik sembari berjalan mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Ketukan sepatu mewahnya yang berbenturan dengan lantai terdengar seperti hymne kematian yang bersiap untuk menjemput Brianna menuju neraka.Brianna tidak tahu kenapa tubuhnya merespon kelewat impulsif, spontan menahan nafas saat aroma parfum Ellecio membelai indera penciumannya. Wajah tampan dengan mata elang itu seakan menyihir bagaimana dengan tegasnya Ellecio mendominasi permainan.“Aku adalah pimpinan baru dari Laurent, dan aku juga yang meminta Nicole untuk mengantimu dengan yang lain. Ada masalah dengan itu Nona Brianna?”Menarik nafas pelan, sejenak Brianna berdeham guna mengumpulkan keberaniannya yang mendadak terpecah. Lantas mendongak, menatap sinis wajah Ellecio.“Wow, tidak ku sangka jika Tuan Ellecio William yang terkenal dengan bisnis kapal pesiar mewahn
Suara pintu berdebum mengiringi langkah Brianna menapak pada luasan apartementnya. Tanpa perlu berpikir lebih lanjut, ia dengan sembarangan melempar beberapa barang-barang yang melekat di tubuhnya sebelum menghempaskan diri secara pasrah di atas kasur.Beberapa kali terdengar helaan nafas berat yang dilanjutkan dengan teriakan keputusasaan.“Arggh!! Brengsek! Berani-beraninya bedebah itu menciumku.”Brianna meraba bibirnya, kembali mengingat bagaimana Ellecio dengan lancang mendaratkan sebuah kecupan di sana. Ada rasa tidak terima sebab itu adalah ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya Brianna berikan pada pria yang benar-benar ia cintai. Tapi pria itu justru merebutnya tanpa ragu.“Dasar buaya mesum! Laki-laki sialan!”Seketika Brianna menyesal karena sudah menantang Ellecio. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Baru sehari saja pria itu sudah membuat hidupnya kacau, apalagi seterusnya?Bis
Biasan sinar senja secara perlahan mulai menyusup di antara dinding kaca. Menerpa sebagian wajah tampan Ellecio yang tengah menikmati waktu sorenya duduk di kursi kerja.Matanya sekilas memeta luasan ruangan kerjanya yang baru ia tempati beberapa hari belakangan ini. Memang tidak seluas dan semewah seperti ruangan kerja kantornya yang ada di New York, akan tetapi pemandangan yang disajikan dari lantai lima belas itu seolah mengubur segala kelemahannya.Lautan lepas yang memantulkan cahaya orange dari matahari yang terbenam, serta bentangan Santley Park yang terlihat menghijau di kejauhan sana seakan mampu memberikan ketenangan tersendiri bagi Ellecio.Mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, Ellecio termenung sembari mulutnya terus berhitung mundur. Entah ia sedang melakukan apa.“Lima, empat, tiga, dua ….”BRAK!!!Senyum kemenangan seketika terukir di bibir Ellecio tatkala mendapati Brianna datang dengan membanting