Biasan sinar senja secara perlahan mulai menyusup di antara dinding kaca. Menerpa sebagian wajah tampan Ellecio yang tengah menikmati waktu sorenya duduk di kursi kerja.
Matanya sekilas memeta luasan ruangan kerjanya yang baru ia tempati beberapa hari belakangan ini. Memang tidak seluas dan semewah seperti ruangan kerja kantornya yang ada di New York, akan tetapi pemandangan yang disajikan dari lantai lima belas itu seolah mengubur segala kelemahannya.
Lautan lepas yang memantulkan cahaya orange dari matahari yang terbenam, serta bentangan Santley Park yang terlihat menghijau di kejauhan sana seakan mampu memberikan ketenangan tersendiri bagi Ellecio.
Mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, Ellecio termenung sembari mulutnya terus berhitung mundur. Entah ia sedang melakukan apa.
“Lima, empat, tiga, dua ….”
BRAK!!!
Senyum kemenangan seketika terukir di bibir Ellecio tatkala mendapati Brianna datang dengan membanting pintu secara kasar. Menatapnya sengit seraya berjalan menghentak-hentakkan kakinya secara sengaja.
“Brengsek! Apa yang sebenarnya kau inginkan, hah?!” Nafas Brianna memburu, seakan ia baru saja berlari naik tangga dari bawah ke lantai atas.
“Apa maksudmu, Bri? Aku sama sekali tidak mengerti,” jawab Ellecio dengan raut wajah kelewat tenangnya.
“Tidak mengerti?” Brianna mendecih. “Kau pikir aku tidak tahu jika kaulah dalang dibalik kenapa namaku bisa diblacklist oleh semua perusahaan.”
“Oh, yang itu.” Ellecio berujar tanpa menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Menikmati bagaimana Brianna tersiksa akan tingkahnya.
“Jadi kau susah payah datang kemari hanya untuk mengeluh karena namamu telah aku blacklist? Astaga, kau kekanak-kanakan sekali, Bri.”
Brianna menganga. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran yang dimiliki Ellecio.
Apa katanya tadi? Kekanak-kanakan?
“Apa kau pikir ini lucu?” desis Brianna. Cukup muak dengan segala yang telah Ellecio lakukan terhadapnya.
“Kau sudah menghancurkan karir yang telah aku bangun susah payah dan kini kau mengatakan aku kekanak-kanakan?”
“Bukankah harusnya julukan itu pantas disematkan untukmu? Yang kekanak-kanakan itu justru dirimu, El. Hanya karena ambisimu, tega-teganya kau melakukan itu padaku. Apa kau sadar jika caramu itu sama saja dengan membunuhku secara perlahan.”
“Jika memang itu yang aku inginkan, apakah kau keberatan, Bri?" Sudut bibir Ellecio terangkat.
"Ingatlah, Bri. Nyawa harus dibayar dengan nyawa, jadi nikmatilah hidupmu selagi aku berbaik hati untuk tidak membunuhmu saat ini juga.”
Brianna seketika terdiam. Merasa jika tidak akan ada gunanya untuk menjelaskan semuanya sekarang. Toh Ellecio juga sudah terlanjur membencinya, terlanjur mencap dirinya sebagai sosok yang telah merusak kehidupan masa lalunya.
“Oh, jadi begitu?” Brianna membuang nafas lelahnya. Mengangguk-anggukan kepala, mengerti akan tujuan utama Ellecio untuk mendekatinya.
“Baiklah, jika itu yang ingin kau lakukan, maka lakukanlah. Kau ingin menghancurkanku? Maka hancurkanlah aku. Hancurkanlah sampai kau benar-benar merasa puas!”
Brianna mengangkat dagunya. Tidak akan membiarkan dirinya terlihat lemah di mata Ellecio. Meski pada kenyataannya ia hanyalah setangkai bunga dandelion yang akan hancur bila diterpa oleh hembusan angin.
Untuk beberapa saat Ellecio merasa tubuhnya membeku. Keteguhan hati Brianna berhasil menggelitik dadanya.
Tatapan itu, meski terlihat tanpa gentar, tapi Ellecio dengan jelas melihat sepercik ketakutan yang tidak bisa Brianna sembunyikan. Ketakukan yang selama ini didambakan oleh Ellecio terjadi dalam kehidupan sang wanita.
Menarik!
Entah kenapa ia mulai menyukai ritme permainan ini.
“Menghancurkanmu hanya akan membuatku cepat bosan, Bri. Kau tahu persis kalau aku adalah tipe orang yang suka bermain-main.”
Ellecio melempar sebuah map cokelat ke atas meja kerjanya. “Bacalah, mungkin saja di dalam sana hal yang menguntungkan untukmu.”
Brianna sejenak meragu. Akan tetapi pada akhirnya ia berhasil menuntun jemarinya untuk membalik lembar demi lembar isi dari map cokelat itu yang ternyata adalah sebuah surat perjanjian.
Yang mana isi perjanjiannya adalah mewajibkan Brianna untuk mau melakukan apa saja perintah Ellecio selama tiga bulan. Dengan imbalan sebuah kebebasan di mana Brianna akan bisa kembali berkarir sebagai model lagi.
“Hanya tiga bulan?” tanya Brianna memastikan.
“Ya, hanya tiga bulan, dan selama itu kau harus mau melakukan apa saja yang aku perintahkan,” jawab Ellecio.
“Apakah ada jaminan selama tiga bulan itu kau tidak akan memintaku untuk mengiris nadiku sendiri? Kau tidak berniat untuk menjebakku, bukan?” Alis Ellecio terlihat mengkerut sebelum sebuah tawa keluar begitu saja dari bibir tipisnya.
“Hahaha, tentu saja tidak. Aku tidaklah seburuk itu, Bri.” Ellecio mengusap sudut matanya yang berair.
“Bahkan selain mengembalikan karirmu di dunia model, aku juga akan memberikanmu uang sejumlah lima juta dollar jika kau menyetujuinya. Bagaimana? Itu jauh lebih banyak dari yang dulu pernah gremo itu tawarkan kepadamu bukan?”
“Li-lima juta dollar?” Mata Brianna membulat kala mendengar nominal angka sebanyak itu. Gila! Sekaya apa sebenarnya pria itu?
“Kenapa? Apa nominalnya terlalu kecil?”
"Ti-tidak, tidak sama sekali."
Brianna menggeleng cepat lantas tanpa menunggu lebih banyak lagi, ia segera meraih pena di hadapannya dan tanpa ragu-ragu membubuhkan tanda tangannya di sana.
“Jadi mulai kapan aku bisa melakukan tugasku?” tanya Brianna seraya melipat map cokelat itu dan menyerahkannya kembali kepada Ellecio.
Ellecio tertegun. Tanpa sadar ia mengeratkan rahangnya, cukup tidak menyangka dengan perubahan sikap yang Brianna tunjukkan. Hanya karena uang ia mau merendahkan dirinya seperti itu?
Dasar wanita mata duitan. Tidak heran jika dulu wanita itu dijuluki buaya betina pencinta dollar. Brianna benar-benar seorang jalang rendahan. Bisa-bisanya ia berubah menjadi jinak hanya karena uang.
Ellecio menghela nafas. “Kau bisa memulainya dari besok, temui saja aku dikantor jam sembilan pagi,” jawab Ellecio yang diiringi anggukan Brianna.
“Baiklah, kalau begitu aku akan menemuimu di sini esok pagi,” balas Brianna dengan sorot mata yang berbinar. Hal itu sangat jelas dirasakan oleh Ellecio hingga membuatnya merasa begitu muak, meski sebisa mungkin ia tahan dengan raut wajah datarnya.
Ellecio benci Brianna, ia benci melihat wajah bahagia yang ditunjukkan oleh wanita itu. Ia ingin Brianna menderita dan ingin melihat wanita itu merapuh di dalam genggamannya.
Aku menunggumu,” ujar Ellecio seraya mempersilahkan Brianna meninggalkan ruang kerjanya.
Dalam diam, ia sempat memerhatikan Brianna yang menghentikan langkahnya di ambang pintu, memutar kepalanya ke samping sebelum kemudian menghilang di balik pintu. Menyisakan Ellecio yang tengah mengukir senyum licik.
“Ini baru permulaan, Bri. Jangan kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja.” gumamnya sembari melempar tatapan ke arah sang surya yang sudah sepenuhnya masuk ke dalam perut laut.
Berkali-kali Ellecio terlihat menarik nafas gusar. Meski tahu jika posisinya kini tengah berada di atas angin, akan tetapi tetap saja ia merasa begitu hampa.
Sebab, apapun yang tengah Ellecio lakukan hari ini, tetap tidak akan berhasil mengubah keadaan. Dia yang telah pergi, tidak akan mungkin bisa datang kembali.
“Kau tenang saja, Kak. Selagi aku masih bisa bernafas, selama itu pula aku tidak akan membiarkan wanita itu hidup tenang. Dia harus membayar semuanya."
Sementara di balik pintu ruangan itu, Brianna terdiam seorang diri. Setengah mati berusaha untuk tidak membuat tubuhnya merosot jatuh. Sorot mata berbinar yang tadi ia tampilkan di depan Ellecio seketika menghilang.
Tergantikan oleh pancaran kesedihan yang tidak bisa ia jelaskan. Matanya mengerjap, berusaha sekeras mungkin tidak membuat aliran anak sungai di pipinya.
Brianna jelas bukan orang bodoh yang tidak mengerti maskud tersembunyi yang dilancarkan oleh Ellecio. Ia tahu betul jika pria itu tidak akan melepaskan dirinya begitu mudah. Akan tetapi bukannya berhenti, Brianna justru makin membawa dirinya terjerat semakin dalam.
Yang mana itu akan membuat dirinya hancur lebih dari yang bisa ia bayangkan.
Malam semakin larut, namun suasana kelab malam itu semakin menyesakkan. Kepulan asap rokok mengepul ke udara. Merambat di antara lautan manusia yang tengah sibuk mencari kenikmatan sesaat. Ada yang sibuk menari di lantai dansa, ada pula yang sibuk dengan gelas alkohol dan wanita seksi di sampingnya.Namun untuk Brianna sendiri, ia lebih memilih untuk duduk berdiam diri di depan meja bar. Beberapa tegukan alkohol telah berhasil membuat kepalanya berputar-putar. Memberi afeksi pada tubuhnya yang mulai terasa memanas.“Tolong beri aku satu gelas lagi.” Brianna menjatuhkan kepalanya di atas meja. Mencoba untuk tetap mempertahankan kesadaran dengan berusaha untuk tidak menutup kedua kelopak matanya. “Apa kau sedang dalam masalah, Bri?” tanya Gary, seorang bartender yang kebetulan mengenal sosok wanita yang ada di hadapnnya.Brianna terkekeh. “Untuk apa kau bertanya seperti itu, Gary? Kau tahu bukan jika hidupku selalu dikel
“Satu juta dollar!”Berada di antara kebisingan sebuah kelab malam bukanlah hal yang biasa bagi seorang Brianna Caroline. Dirinya terlampau nyaman dengan suasana tenang apartemen di mana hanya lagu favorit dari penyanyi kesayangan yang menemani kesendiriannya sepanjang malam.Namun teruntuk malam ini, sebuah tawaran menggiurkan membawa Brianna berakhir duduk di deretan bangku meja bar. Beradu pandang pada sosok wanita paruh baya yang terlihat menyunggingkan senyum sinis. Kepulan asap tipis dari batang rokok yang menyala seakan mendramatisir bagaimana percakapan itu terjalin cukup serius di antara ke duanya.“Ya dan seukuran model rendahan sepertimu, bukankah satu juta dollar merupakan sebuah nominal yang sangat fantastis?” ujar wanita itu dengan nada mengejek. Rambut ikal yang ditata mengembang membuat kesan angkuh itu tercetak jelas pada wajahnya.”Aku sarankan kau untuk menerimanya, Bri. Lagipula tugasmu hanya merayunya, bu
Sabtu malam, desiran hawa dingin terasa menusuk kulit seiring dengan tetesan hujan yang masih setia membasahi hampir seluruh wilayah Vancouver.Angin yang berhembus berhasil menghasilkan titik embun yang tersangkut pada bohlam lampu jalan. Sinar temaramnya seolah sekuat tenaga menerangi siluet seorang wanita yang setia berdiri di bawahnya.Berbekal payung hitam yang melindungi tubuh dari tetesan air hujan, Brianna terdiam memandangi megahnya bangunan Plaza Hotel dari seberang jalan.Termenung untuk sesaat, Brianna seakan baru menyadari jika kota yang telah ia tinggali selama kurang lebih delapan tahun ini memang benar-benar kota yang indah. Perpaduan budaya dari berbagai negara berhasil membuat penampilan kota Vancouver terlihat begitu beragam—terutama pada malam hari.Lampion merah yang tergantung di depan restoran Cina nampak cantik berpadu dengan gambar mural pizza pada dinding restoran italia yang berada di sampingnya. Belum lagi gemerlap cahaya
‘Dasar pembubuh! Pembawa sial!’‘Pergi ke neraka sana, pembunuh sepertimu tidak layak untuk hidup!’‘Kau menghancurkannya, kau membunuhnya! Aku benar-benar sangat membencimu!’Brianna tersengal, nafas memburu dengan keringat yang mengucur deras di sekujur tubuhnya. Mata yang tadi tertutup rapat dibuka paksa oleh mimpi buruk yang kerap menghantuinya belakangan ini.Sudah berlalu beberapa hari dari pertemuannya dengan Ellecio, akan tetapi teriakan mengerikan di mimpi-mimpi itu tidak pernah berhenti mengganggu tidur malamnya.Dengan tangan gemetar Brianna meraih segelas air yang letakkan di atas nakas, lantas meneguknya secara rakus hingga tak ada satu tetes pun yang tersisa. Berkali-kali menarik nafas guna menenangkan debaran jantungnya yang mulai berdetak tidak karauan.‘Tenangkan dirimu, Bri. Itu hanya mimpi, kau tidak perlu merasa takut.’Batin Brianna mencoba menenangkan
Tubuh Brianna menegang, berbalik dan mendapati Ellecio sudah berdiri di ambang pintu. Tersenyum licik sembari berjalan mendekat dengan kedua tangan terselip di saku celana. Ketukan sepatu mewahnya yang berbenturan dengan lantai terdengar seperti hymne kematian yang bersiap untuk menjemput Brianna menuju neraka.Brianna tidak tahu kenapa tubuhnya merespon kelewat impulsif, spontan menahan nafas saat aroma parfum Ellecio membelai indera penciumannya. Wajah tampan dengan mata elang itu seakan menyihir bagaimana dengan tegasnya Ellecio mendominasi permainan.“Aku adalah pimpinan baru dari Laurent, dan aku juga yang meminta Nicole untuk mengantimu dengan yang lain. Ada masalah dengan itu Nona Brianna?”Menarik nafas pelan, sejenak Brianna berdeham guna mengumpulkan keberaniannya yang mendadak terpecah. Lantas mendongak, menatap sinis wajah Ellecio.“Wow, tidak ku sangka jika Tuan Ellecio William yang terkenal dengan bisnis kapal pesiar mewahn
Suara pintu berdebum mengiringi langkah Brianna menapak pada luasan apartementnya. Tanpa perlu berpikir lebih lanjut, ia dengan sembarangan melempar beberapa barang-barang yang melekat di tubuhnya sebelum menghempaskan diri secara pasrah di atas kasur.Beberapa kali terdengar helaan nafas berat yang dilanjutkan dengan teriakan keputusasaan.“Arggh!! Brengsek! Berani-beraninya bedebah itu menciumku.”Brianna meraba bibirnya, kembali mengingat bagaimana Ellecio dengan lancang mendaratkan sebuah kecupan di sana. Ada rasa tidak terima sebab itu adalah ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya Brianna berikan pada pria yang benar-benar ia cintai. Tapi pria itu justru merebutnya tanpa ragu.“Dasar buaya mesum! Laki-laki sialan!”Seketika Brianna menyesal karena sudah menantang Ellecio. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Baru sehari saja pria itu sudah membuat hidupnya kacau, apalagi seterusnya?Bis