Tanah mulai menutupi kayu pembatas yang melindungi tubuh seseorang yang telah terbungkus kain putih di sana. Hujan kecil yang turun membuat prosesnya sedikit rumit, karena air mengubah sebagian kecil tanah menjadi lumpur dan genangan air ada di mana-mana.
Langit tampak turut menuangkan kesedihannya. Tiba-tiba saja ia merubah suasananya sesuka hati, tak ada tenda penutup yang disiapkan.
Hujan yang turun sebenarnya hanyalah butiran kecil dengan presentase dua belas persen dibandingkan dengan yang tersimpan di langit. Tetapi tetap saja itu mengganggu.
Pemakaman ini tampak semakin menyedihkan. Semua orang bertahan di bawah hujan kecil itu. Pakaian mereka juga setengah basah karena hujannya.
Hanya suara rintik hujan, tangisan dan cangkul yang terdengar, tak ada percakapan di antara mereka semua. Semua kerabat, berlinang air mata sama halnya seperti langit hari ini.
Keranjang bunga juga sudah disiapkan. Berada di genggaman beberapa pelawat dan kerabat yang menghadiri pemakaman ini.
Di antara semua pakaian berwarna gelap, di sana tampak seorang gadis kecil yang masih belum paham tentang apa yang terjadi saat ini. Dia tengah memegang sebuah foto seorang wanita yang masih cukup muda.
Gadis kecil itu terlihat mencolok dengan gaun biru pastel berenda hitam lembut di setiap pinggirannya. Di atas kepalanya, ada selendang hitam yang menutup rambut ikalnya. Kain selendang itu sedikit tembus pandang.
Sepatu putih yang ia pakai ternoda oleh lumpur, sesering mungkin ia mencoba menghapusnya namun warnanya tetap membekas di sana. Sama seperti hujan yang sudah reda, tetapi sisa airnya masih ada. Menggenang di mana-mana.
Gadis kecil itu berada di dekapan pria tua yang tak lain adalah kakeknya. Begitu tenang ia memegang foto mendiang wanita muda itu, ibunya.
“Kenapa Ibu di tutupi tanah, Kek?” Kakeknya hanya menguatkan dekapannya dan mengelus kepala gadis kecil itu dengan senyum memelas.
Air mata berlinang di atas kulitnya yang kusut karena usia, ia berusaha menyekanya. Agar tampak kuat di depan cucu kecilnya itu. Ia tak ingin cucunya ikut merasakan yang seharusnya belum ia rasakan.
“Ibumu hanya ingin tidur sendirian di sana, dan orang-orang di sini ingin mengucapkan ‘selamat malam’ kepada ibumu,” ujar kakeknya seraya mengelus kepala gadis itu. Gadis kecil itu menatap kakeknya, begitu pula dengan kakeknya.
Ia melihat raut wajah sang kakek, matanya berkaca-kaca, senyumnya tak dapat membuktikan bahwa ini akan baik-baik saja. Gadis itu hanya bisa mempercayainya.
“Apakah aku bisa menemui Ibu besok? Apakah Ibu besok akan bangun?” Pria tua itu hanya bisa mengangguk dan berusaha tersenyum penuh kepastian. Kebohongan ini mulai menjadi-jadi.
Gadis kecil itu kehilangan pahlawannya, kehilangan segalanya dari hidupnya. Seorang gadis kecil tentu belum mengerti sepenuhnya, betapa kosongnya hari setelah itu.
Semua orang menyaksikan pemakaman, mengikuti setiap tanah yang berpindah dan memenuhi liang. Tanah mulai terisi penuh, menandakan pemakaman akan segera berakhir.
Gadis kecil menyerahkan bingkai foto kepada kakeknya. Ia berusaha melepaskan dekapan sang kakek, dan berlari mendekat ke liang ibunya. Sang kakek tak dapat menahan gadis kecil itu, ia memutuskan untuk membiarkannya melihat lebih dekat. Mungkin itu saja yang bisa ia lakukan, pikirnya.
“Apakah Ibu akan benar-benar tidur di situ?” Dia melihat ke dalam liang yang akan penuh itu. Ucapan gadis itu lirih, tetapi samar-samar kakek bisa mendengarnya. Ia tak kuasa mendengar itu.
Bahkan, penggali kubur yang mendengarkan hanya bisa menyimpan iba dalam hati. Mereka tak bisa memberitahunya, itu masih belum pantas untuknya.
Air mata seseorang telah pecah, sudah tidak bisa terbendung lagi. Tertunduk dan terisak. Gadis kecil itu mendengar isak tangisnya, menoleh ke belakang dan menghampiri kakeknya di sana.
Memegangi pundak kekeknya dan mendongak di bawah kakeknya, memastikan apakah itu kakeknya. Dan, ya, benar.
“Ada apa, Kakek? Apakah karena Ibu? Tenang saja Ibu hanya akan tidur, bukankah tadi seperti itu katamu?. Tetapi, tetap saja aku tidak mengerti kenapa orang-orang menutupinya dengan tanah. Bagaimana jika Ibu kesulitan untuk keluar?”
Mengapa gadis itu yang justru menenangkan kakeknya? Seharusnya, dia yang harus ditenangkan, tetapi sepertinya itu tak perlu.
Isaknya semakin tak bisa tertahankan. Ia menatap mata gadis kecil di depannya dan memeluknya dengan erat. Tetapi, gadis kecil itu masih tidak mengerti apa yang terjadi dan hanya memilih untuk diam dan memikirkan itu semua. Semua tampak seperti tak berarti penting bagi gadis kecil itu. Dan, tak seorang pun yang dapat memberitahu apa yang terjadi.
Yang ia tahu hanyalah, “Ibuku akan tidur di sana, dan kami semua akan memberinya ucapan ‘selamat malam’.”
Pertanyaan satu persatu mulai bermunculan di benaknya, rasa ingin tahu, kebingungan, tersimpan rapat di benaknya. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan orang-orang di sini? Jika Ibu hanya akan tidur bukankah ini terlalu berlebihan? Tapi..., aku percaya kata Kakek.”
Ia tak ingin menanyakan itu semua saat ini. Melihat semua orang sibuk dengan air mata, ia rasa itu juga bukan waktu yang tepat untuk bertanya.
Raut wajah dari gadis kecil itu menunjukkan semuanya, membuat pelawat yang memperhatikannya sejak dari tadi semakin terisak melihatnya.
Ia merenggangkan pelukan kakeknya, mengintip ke belakang kakeknya, matanya menulusuri setiap pelawat yang ada. Ya, dia tengah mencari seseorang yang seharusnya berada di sisinya.
Wajahnya hampir murung ketika tak kunjung menemukan orang yang dia cari. Dari ujung kiri hingga ujung kanan kumpulan itu, ia tak dapat menemukan sosok itu.
Akhirnya, matanya menangkap seorang gadis remaja berambut hitam bergelombang tertupi oleh selendang hitam, yang tatapannya mengikuti setiap tanah yang berpindah ke liang, melihat dari kejauhan.
Setelahnya, gadis kecil itu kembali ke pelukan kakeknya. Tampak lega dan juga marah melihat gadis remaja itu.
Sedangkan remaja itu enggan untuk mendekat, sehingga hanya memandangi dari empat blok makam di belakang pemakaman itu. Dengan payung di tangannya untuk melindunginya dari hujan.
Mungkinkah dia orang yang dikenal gadis kecil itu?
Gadis itu sepertinya menyadari pandangan gadis kecil tadi, ia kemudian menghela napasnya. Raut wajahnya tidak bisa terbaca, antara sedih atau marah.
Seorang pria berjalan menghampirinya dari arah belakang. Ia baru saja tiba. Terlihat dari bajunya yang baru tampak bintik kecil dibanding dengan pelawat lain yang sudah basah setengah badan, kecuali gadis yang membawa payung. Entah sejak kapan gadis itu menyiapkan payung.
Ia bergabung dengannya, menatap gadis itu penuh iba. “Apakah kau tidak akan melihatnya untuk terakhir kali?” Tak ada jawaban maupun suara yang terdengar, gadis itu sepertinya hanyut dengan suasana.
Sesaat berikutnya, gadis itu menjawab pertanyaannya, “ ‘Dia’ tak ingin aku mendekat dengan wanita itu.”
“Sayang sekali, padahal ini kesempatan terakhirmu,” ketus pria itu.
“Kau sangat lemah! Kenapa kau tak melawan ‘dia’, Lucy? Aku khwatir kau akan menghilang bersamanya,” imbuhnya. Gadis itu bernama Lucy, dan dia juga tengah menghadiri pemakaman ibunya.
Mendengar kata ‘lemah’ dari pria di sampingnya, Lucy hanya terdiam seolah tak peduli dengan penghinaannya, mungkin akan menjawab hinaan pria itu nanti seperti tadi, atau mungkin juga tidak.
Tatapan marah berkolaborasi dengan iba dan sedih menghujam Lucy. Lucy sadar akan hal itu dan mengabaikannya, menahan dirinya untuk hal tak penting seperti ini.
Lucy hanya menujukan perhatiannya untuk makam ibunya. Mendengar isak tangis pelawat lain, rasanya ingin bergabung dengan isakan itu. Tetapi, ia tak sanggup untuk hal itu.
Pemakamannya hampir selesai, hanya tersisa menancapkan nisan dan mendoakan mendiang ibunya.
Sebelum itu terjadi, Lucy pergi terlebih dahulu, ia tak ingin berlama-lama di sana. Dia pergi dengan tenang, meninggalkan pria itu sendirian di sana.
Pria itu melirik langkah kepergian Lucy, di bawah rintik hujan yang mulai membasahinya. Kemudian ia bergabung dengan yang pelawat lainnya untuk mendoakan mendiang ibunya Lucy.
Beberapa langkah dari tempat ia berdiri sebelumnya, Lucy meneteskan air mata dan langsung menghapusnya. Ia pernah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis, dan menahan semua rasa sakit yang dirasakannya. Sepertinya ia gagal menepati janjinya untuk pertama kalinya sejak janji itu dibuat.
Mungkin sekitar satu tahun yang lalu. Ketika semuanya tampak berubah dan menyakitkan.
“Aku akan menemukannya!” Ia membuat kembali sebuah janji. Itulah alasan Lucy meninggalkan tempat itu terlebih dahulu, untuk mencari ‘dia’. Semoga saja ia bisa menepatinya.
Gadis itu membenturkan kepalanya beberapa kali ke meja belajar, dibenturan terakhir ia tak bergerak dan tetap dalam posisi membungkuk. Tangan yang tergantung, rambut hitamnya yang bergelombang terurai jatuh ke bawah. Wajahnya melekat tepat pada meja. Lucy menangis ditemani oleh kesunyian malam. Tanpa bergeming sedikit pun, air matanya jatuh perlahan di atas meja. Suara tangisannya seperti diambil oleh angin, menghilang, terbang melayang, pergi meninggalkan Lucy seorang diri hanya dengan berteman kesunyian malam ini. Beberapa tetesan air matanya telah menggenang di bawah mata yang tertutup itu. Akankah dia terluka karena benturan di mejanya, atau menangisi kepergian ibunya? Rintihan mulai terdengar pelan, perlahan keluar dari mulutnya. Angin telah mengembalikan suaranya. Belum sepenuhnya kembali, tetapi lebih baik dari sebelumnya. Bahunya bergetar, naik turun mengikuti nada tangisannya. Tangan kanannya naik ke atas meja, memukul-muk
“Bagaimana jika dia sadar? Kita tak akan bisa mengambil alih tubuhnya.” Seorang wanita yang tak dikenal, berdiri di samping Lucy bersama pria ber-jas hitam yang membelakangi Lucy. Mereka membicarakan Lucy di sampingnya secara langsung. Saat ini, Lucy berbaring di kasur putih dalam ruangan bernuansa hitam dengan ornamen putih di setiap sudutnya, dan lantainya bermarmer putih. Tidak se-elegan seperti yang dipikirkan, itu berdebu dan penuh dengan noda. Ruangan itu tampak telah lama terbengkalai. Cat hitam di tembok sudah sedikit mengelupas dari tembok yang dingin. Di satu sudut, jaring laba-laba lengkap dengan laba-laba dan serangga yang terperangkap di sana. “Kita akan menghapusnya dari dunia, hingga tak ada siapapun yang mengingat dirinya beserta orang tuanya,” ujar pria itu dengan suara pelan, tetapi tetap terdengar tegas. Terkadang ia terbatuk karena cerutu di mulutnya. Mendengar apa yang dikatakan pria ber-jas, mungkin akan lebih baik jika Lucy teta
Gadis itu menyetel alarm di handphone-nya pada pukul 4.15 sore. Ia ingin mengisi kembali tenaganya yang belum terisi penuh, meskipun ini belum waktunya untuk siesta. Menyalakan pendingin ruangan, menutup gorden jendela kamarnya, dan selanjutnya gadis itu menuju tempat tidurnya. Ukurannya hanya cukup untuk tidur Lucy, dengan sprei berwarna kuning-putih-oranye, dengan sedikit motif rubah dari karakter Rillakuma. Kini ia telah berada di atas kasur, tubuhnya menghadap ke kanan dan memeluk guling dengan karakter Rilakkuma miliknya. Dalam hitungan detik, Lucy telah tertidur lelap. Pendinginnya menyala di dalam ruangan kamar yang sedikit redup. Tampak sedikit pengap. Remaja berusia 15 tahun itu bahkan bisa tertidur tanpa merasa terganggu dengan ruangan yang tampak suram. Ia tak terlalu menyukai cahaya matahari yang bersinar terang, itu membuat matanya sakit, Lucy mengalami Fotophobia. Fotophobia merupakan kondisi mata yang
Para juri dan para hadirin yang lainnya mulai memasuki ruangan sidang yang menangani kasus pembunuhan Ibu Lucy. Gadis itu berada di kursi barisan paling depan, tertunduk, ia tampak gelisah dan juga menanti-nanti , sepertinya ia telah datang lebih awal. Lucy memeriksa jam tangannya, di sana tertulis 8.30 pagi, sidang baru akan dimulai 30 menit lagi. Baru beberapa orang saja yang sudah berada di dalam ruangan dan mengisi tempat duduknya. Ruangan itu masih tampak sangat senggang. Bahkan Hakim Ketua belum berada di ruangan, sang pelaku yang masih misterius juga belum berada di kursinya. Lucy sangat menunggu hari ini, sehingga ia datang lebih. Setelah Rino mengatakannya pada kemarin lusa, ia memikirkan hal ini dari pagi hingga malam, sampai hari ini tiba. Ia sangat ingin pelakunya dihukum setimpal, ia bahkan berpikir bahwa ‘nyawa dibayar nyawa’. Lucy sangat mencintai dan menyayangi ibunya. Ia tak terima jika ibunya meninggal dengan tidak wajar, dan sangat
“Sudah kubilang, kau tak ingin mengetahui pelakunya.” Rino menghampiri Lucy. Ia berbisik. “Berhentilah. Ayo keluar!” Lucy memalingkan wajahnya ke Rino, “Jahat.” Perasaannya hancur, tepat ketika pandangan orang yang duduk di seberang sana beradu dengan matanya. Matanya telah berkaca-kaca, mengecewakan sekali baginya untuk menerima kenyataan ini. Orang yang sepertinya sangat ia percaya melakukan hal ini pada keluarganya. Ingatan masa lalu bersama orang di sana kembali melintas, betapa baiknya orang itu. Rino tak tega melihatnya begitu, juga berbalut rasa bersalah. Tangan Lucy digenggamnya, menariknya keluar dari ruang sidang ini. Semua orang memperhatikan, dan mulai berbisik. Melihat dua orang remaja terus bergunjing. Tentu saja mereka semua akan mengira ini adalah masalah asmara. Tenaga gadis itu seperti sudah terkuras oleh rasa kekecewaannya. Ia tak bisa memberontak bahkan ketika Rino menariknya demikian. Semangatnya sudah hilang untuk mengikuti persi
“Mereka pergi bersama lagi,” ujarnya seraya meletakkan telepon genggam di meja di sampingnya. Diletakkan berdampingan dengan beberapa kue kering buatan pabrik. Kembali membaca koran yang berada di pangkuannya. Nenek datang bersamaan dengan dua teh hijau dalam cangkir bening di atas nampan yang di pegangnya. Membawanya dengan penuh perasaan yang baik untuk suaminya di sana. Bik Nah tengah pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko swalayan terdekat bersama dengan Reika, adik Lucy, sehingga nenek harus menyiapkannya sendiri. Ia suka sekali membuntuti Bik Nah dan tidak akan melepaskannya. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu akan terus mengikuti Bik Nah kesayangannya. Pulang dari sekolah, ia selalu menanyakan keberadaan Bik Nah jika bukan dijemput olehnya. Kakek sampai heran dengan cucunya. “Tak apa, aku percaya dengan mereka,” Nenek berkata seraya duduk di samping suaminya. Mereka tengah menikmati senja di halaman belakang, kembali mengenang masa mud
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan
Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.
Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga
“Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m