“Sudah kubilang, kau tak ingin mengetahui pelakunya.” Rino menghampiri Lucy. Ia berbisik. “Berhentilah. Ayo keluar!” Lucy memalingkan wajahnya ke Rino, “Jahat.” Perasaannya hancur, tepat ketika pandangan orang yang duduk di seberang sana beradu dengan matanya.
Matanya telah berkaca-kaca, mengecewakan sekali baginya untuk menerima kenyataan ini. Orang yang sepertinya sangat ia percaya melakukan hal ini pada keluarganya. Ingatan masa lalu bersama orang di sana kembali melintas, betapa baiknya orang itu.
Rino tak tega melihatnya begitu, juga berbalut rasa bersalah. Tangan Lucy digenggamnya, menariknya keluar dari ruang sidang ini. Semua orang memperhatikan, dan mulai berbisik.
Melihat dua orang remaja terus bergunjing. Tentu saja mereka semua akan mengira ini adalah masalah asmara.
Tenaga gadis itu seperti sudah terkuras oleh rasa kekecewaannya. Ia tak bisa memberontak bahkan ketika Rino menariknya demikian. Semangatnya sudah hilang untuk mengikuti persidangan itu, tak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti arahan Rino.
Setelah berada di luar ruangan, Lucy jatuh terduduk di lantai di antara lalu lalang sibuknya sebuah pengadilan negeri. Rino melepaskan genggamannya, menatap Lucy yang tampaknya sedang meratapi pelaku barusan.
“Bagaimana bisa dia? Bagaimana mungkin ini terjadi?” ia terus saja bergumam seperti itu. Pandangannya tak tentu, kadang kabur kadang kosong.
Rino tak tahu harus tertawa, turut meratapi atau bagaimana. “Maafkan aku,” ia berkata. Dan gadis itu tetap berada di sana, terduduk di lantai, mata yang tadinya hampir menangis sudah kembali normal. Tatapannya kini kosong, menatap ke arah lalu lalang yang terus memperhatikan mereka berdua.
“Berdirilah.” Tak ada respon yang terlihat dari gadis yang tengah meratap itu. Jiwanya seperti menghilang karena kekecewaannya yang besar. Ia tak pernah menyangka bahwa pelakunya adalah orang itu.
Ia bahkan sudah tak ingin mengikuti kembali sidang yang tengah berlangsung di dalam sana. Rino masih tetap berdiri di sampingnya dan terus memperhatikan Lucy. Bukannya ia tak peduli, hanya saja ia tak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.
Gadis itu tampak seperti orang yang tengah mengalami depresi dan hampir gila.
Rino tepat di depan pandangan Lucy untuk menyelaraskan posisi, mencoba menatap apa yang ada dalam matanya. Napas panjang ia ambil hingga memenuhi ruang di paru-parunya, Lucy tak ada di sana.
Kedua tangan gadis itu ia taruh di pundaknya, ia sudah membelakangi pandangannya. Menggendong Lucy keluar dari tempat ini, mengantarnya ke suatu tempat yang hanya bisa di akses mereka. Semua orang yang lalu lalang hanya melihat dengan sekilas mata mereka sedari tadi. Mereka sibuk.
Beberapa orang berlalu melewati mereka dan mulai berbisik. Entahlah, orang-orang memang selalu begitu bukan?
Pengacara wanita yang ditemui Lucy sebelumnya, terus mengamati gerakan mereka dari ruang resepsionis yang tak jauh dari mereka. Ia tersenyum sama seperti saat Lucy menanyainya beberapa saat lalu.
Senyumannya hambar, namun terkesan jahat karena posisi tangannya yang menyilang di depan dada. Mungkinkah ia juga berpikir bahwa mereka berdua juga hanya sepasang kekasih yang sedang bermasalah satu sama lainnya?
Lucy tersandar lemas di pundak Rino, pria itu menggendongnya dengan hati-hati. Dalam kondisi seperti itu, Lucy bisa saja terjatuh, ia tak berpegangan pada Rino. Untung saja gadis itu cukup ringan, entah bagaimana beban Rino jika Lucy cukup ‘berbobot’.
Rino menggendong gadis itu pergi dari gedung, menuju ke jalan raya. Sebenarnya, hal seperti ini sudah terjadi tiga kali. Ini yang ke-empat.
Kali ini ini pria itu sudah tahu tujuannya, kemana ia akan membawa Lucy. Tentunya bukan rumah sakit maupun rumah Kakek. Pertama kali ini terjadi Rino membawa Lucy ke rumah sakit, alhasil Lucy semakin histeris. Gadis itu meluapkan semuanya dengan mengacau rumah sakit.
Polisi datang membawa gadis itu ke rumah sakit jiwa awalnya. Tetapi, Rino buru-buru menerangkan yang terjadi sebenarnya.
Bagaimana dengan rumah Kakek? Tak jauh berbeda. Kakek membawa ke ‘orang pintar’.
“Bagaimana jika misiku selesai dan Lucy tetap saja seperti ini?” ujarnya setelah menghela napas.
Ia melihat jalanan dari kiri hingga kanan sejauh yang matanya bisa menjangkau, mencari sebuah kendaraan yang bisa mereka tumpangi.
“Tolong antar kami ke alamat ini.” Rino menyerahkan sebuah kartu nama tempat yang tertera sebuah alamat juga di sana kepada sopir taksi yang sedang menepi. Lucy masih tetap kosong, dan tak peduli kemana mereka pergi.
Taksi biru menyala itu berangkat dengan kecepatan sedang. Sang sopir melirik dari cermin, ia melihat gadis yang duduk termenung di sana keheranan.
Rino terus saja menatap gadis yang masih tampak kosong di sampingnya itu. “Sudah begini saja. Bagaimana jika ia tahu yang sebenarnya?” batin Rino. Jiwa Lucy seperti pergi ke suatu tempat, dan raganya masih tetap di sini. Kosong.
Dalam benaknya, ia sebenarnya tak tahu harus berbuat apa. Lucy kehilangan kekuatannya yang dahulu. Gadis itu berbeda setelah kepergian ibunya.
Sepanjang perjalanan, Rino terus menatap tubuh yang kosong itu. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang jauh dari lingkungan perkotaan. Asri dan sangat sesuai untuk menyendiri dan menenangkan diri.
Rino menggendong kembali gadis itu masuk ke dalam, punggungnya sedikit terasa sakit sebenarnya karena perjalanan panjang itu. Ongkos taksi tadi sebenarnya juga sangat mahal, tapi ia tak ada pilihan.
“Aku harap, kau segera membaik. Kuatkan dirimu kedepannya akan lebih berat lagi,” tuturnya seraya memandangi Lucy yang terbaring di kasur tak bergeming. Bahkan setelah perjalanan yang memakan waktu kurang dari dua jam, gadis itu masih kosong.
Apa punggungmu tak sakit?
Rino pergi meninggalkan Lucy sendirian dan memberikannya waktu bertenang. Butir air mata keluar hanya sekali saja dari matanya, tepat setelah Rino pergi. Di dalam benaknya hanya memikirkan satu kata pertanyaan untuk semua ini,’mengapa’.
Aku tak tahu harus bagaimana dan melakukan apa. Aku tak tahu. Ini terasa membingungkan. Mengapa dia membunuh ibuku?
“Halo, Kek. Aku Rino, Kek. Maaf, tetapi aku pergi bersama Lucy untuk beberapa hari. Maafkan aku karena tidak memberitahu Kakek sebelumnya, karena ini sangat mendadak. Tolong percayakan Lucy kepadaku.”
Rino sudah sangat dekat dengan keluarga Lucy, dan keluarganya juga mempercayai Rino. Kakek Lucy tak perlu khawatir jika mereka berdua pergi bersama. Tetapi, anehnya adalah Lucy tak pernah bertemu dengan keluarga Rino selama mereka bersama.
Lucy hanya ingat bahwa Rino bilang kedua orang tuanya berada di Rusia sejak ia berusia 13 tahun. Rino memilih tinggal di sini bersama pamannya. Tetap saja, Rino tak pernah mengenalkan pamannya itu.
Pria muda itu sangat ramah dan pandai menuangkan keharmonisan di keluarga Lucy. Ia diterima dengan sangat baik oleh ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya.
Ia kembali menemui Lucy, berniat akan berpamitan kepadanya untuk membeli persediaan makanan. Meskipun Lucy dalam kondisi yang kurang baik, Rino tahu pendengaran gadis itu masih memiliki kinerja yang baik, entah disadari maupun tidak.
Gadis itu masih terbaring dengan posisi yang sama, yang berbeda hanyalah kelembapan di bawah matanya. Rino menyentuhnya dan mengelapnya dengan tisu.
“Tak apa jika kau ingin seperti ini, aku akan tetap menemanimu. Tenang saja, Lucy. Sampai kapanpun, bahkan ketika misiku telah usai. Aku masih belum yakin, ada apa denganku. Tetapi aku akan berada di sini, ya, di sisimu, menyiapkan bahuku jika kau perlu.”
“Sebenarnya aku tidak yakin juga akan hal itu, tetapi, ya ..., lupakanlah,” ia berkata. Tangannya meraih kursi yang ada di samping meja lampu. Ia pikir mungkin akan mengobrol dengan raga gadis yang kosong ini sesaat.
“Sangat langka momen seperti ini, momen di mana kau, Lucy, bisa menerima semua yang kukatakan. Bukan berarti aku senang kau seperti ini. Ini sangat susah untuk diceritakan, tetapi aku akan memberitahumu.”
“Separuh dirimu adalah diriku, dan separuhnya lagi adalah dirinya. Dan takdirmu sangat tidak bisa diterima bagimu, itu dapat dilihat dari keadaanmu saat ini. Misiku adalah mengawasimu sebagai musuh, tetapi aku malah mengawasimu sebagai orang terdekatmu. Kau mengerti maksudku, bukan?”
Gadis itu tetap diam membeku. Rino berdiri dan menyeka poni Lucy, rambutnya yang sebelumnya rapi telah menjadi sangat berantakan. Setelahnya, pria itu pergi keluar dan membeli persediaan makanan. Cuaca hari ini sedikit berawan hitam, sangat pas untuk berjalan-jalan di siang hari, mungkin. Bisa dibilang sebentar lagi turun hujan, tak apa, yang terpenting tidak terik saja.
Vila itu berada di sana menyendiri, cukup berjarak dari salah satu vila terdekat. Rino dan Lucy hanya ke tempat ini ketika Lucy merasa down, sehingga tak terlalu mengenal orang di sekitarnya.
Terkadang mereka berdua kemari ketika Lucy sedang merasa hampa. Lucy sering meminta Rino untuk membiarkannya sendirian, tetapi pria itu selalu menolaknya.
Alasannya selalu sama, “Di sini banyak hantunya” kata Rino.
“Melihatnya seperti ini, mungkin akan beberapa hari kita di sini. Sial. Aku tidak memikirkan pakaian kita, dan bagaimana denganmu?” Rino mengeluarkan ponselnya dari jaket hitam yang ia kenakan. Tepat setelah itu, panggilan masuk dari seseorang tertera di sana.
“Bagaimana kondisinya? Terus laporkan tentangnya, dan tetap di sana.” Suara seorang pria yang dikenalnya, terdengar dari telepon yang ia genggam. Langsung diakhiri setelah ia menyelesaikan kata terakhir.
Rino mematung di atas jalanan yang ia lewati, “Ini akan dimulai, aku harus bagaimana?” Tak biasanya ia mendapat panggilan ini sebelum ia yang melakukan panggilan selama ini.
“Oh, ayolah. Lucy belum cukup. Masih butuh waktu. Aku harus bicara padanya nanti.” Rino menepuk kepalanya dengan ekspresi masam.
Mereka berdua sudah dekat ketika Lucy berusia 12 tahun, dan Rino tiga tahun lebih tua tentunya. Sangat sulit bagi Rino untuk mendekati Lucy dan mendapatkan kepercayaannya. Butuh waktu tiga tahun baginya mendapati kepercayaan Lucy beserta keluarganya.
Beberapa penolakkan ia dapatkan, tetapi misinya ia anggap lebih penting dari hal lainnya. Mendekati Lucy. Pria itu yang menyuruhnya melakukan hal ini kepada Lucy.
Rino menatap langit. Ia membuka tudung jaketnya dan menyipitkan mata menatapa awan hitam di sana. Seperti mencoba meramal turunnya hujan. “Kapan?”
“Mereka pergi bersama lagi,” ujarnya seraya meletakkan telepon genggam di meja di sampingnya. Diletakkan berdampingan dengan beberapa kue kering buatan pabrik. Kembali membaca koran yang berada di pangkuannya. Nenek datang bersamaan dengan dua teh hijau dalam cangkir bening di atas nampan yang di pegangnya. Membawanya dengan penuh perasaan yang baik untuk suaminya di sana. Bik Nah tengah pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko swalayan terdekat bersama dengan Reika, adik Lucy, sehingga nenek harus menyiapkannya sendiri. Ia suka sekali membuntuti Bik Nah dan tidak akan melepaskannya. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu akan terus mengikuti Bik Nah kesayangannya. Pulang dari sekolah, ia selalu menanyakan keberadaan Bik Nah jika bukan dijemput olehnya. Kakek sampai heran dengan cucunya. “Tak apa, aku percaya dengan mereka,” Nenek berkata seraya duduk di samping suaminya. Mereka tengah menikmati senja di halaman belakang, kembali mengenang masa mud
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
“Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu
Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga
Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan
Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.
Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga
“Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m