Share

Bagian Empat

Author: Xuiqa Vei
last update Last Updated: 2021-08-31 03:58:27

Para juri dan para hadirin yang lainnya mulai memasuki ruangan sidang yang menangani kasus pembunuhan Ibu Lucy. Gadis itu berada di kursi barisan paling depan, tertunduk, ia tampak gelisah dan juga menanti-nanti , sepertinya ia telah datang lebih awal.

Lucy memeriksa jam tangannya, di sana tertulis 8.30 pagi, sidang baru akan dimulai 30 menit lagi. Baru beberapa orang saja yang sudah berada di dalam ruangan dan mengisi tempat duduknya. Ruangan itu masih tampak sangat senggang.

Bahkan Hakim Ketua belum berada di ruangan, sang pelaku yang masih misterius juga belum berada di kursinya. Lucy sangat menunggu hari ini, sehingga ia datang lebih.

Setelah Rino mengatakannya pada kemarin lusa, ia memikirkan hal ini dari pagi hingga malam, sampai hari ini tiba. Ia sangat ingin pelakunya dihukum setimpal, ia bahkan berpikir bahwa ‘nyawa dibayar nyawa’.

Lucy sangat mencintai dan menyayangi ibunya. Ia tak terima jika ibunya meninggal dengan tidak wajar, dan sangat mengenaskan seperti itu. Ibunya tak pantas meninggalkan dunia seperti itu.

Kakek Lucy juga akan menghadiri pengadilan tersebut, tetapi ia belum juga tiba. Lucy pergi ke pengadilan sendirian menggunakan taksi. Entah kapan Kakek tua itu datang. Ia tak berkoordinasi terlebih dahulu bersama kakeknya, sehingga mereka pergi secara terpisah.

Seseorang memasuki ruang sidang sendirian, tatapannya mencari keberadaan tempat Lucy duduk saat ini. Ia menemukan Lucy berada di barisan depan, menghampirinya dan duduk di samping Lucy. Lucy memperhatikan orang yang duduk di sampingnya tanpa seizin darinya.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” ujarnya merasa tak nyaman dengan tatapan intimidasi milik Lucy. Bagaimana tidak begitu? Orang di sampingnya menggunakan pakaian yang informal untuk hal seperti ini, bahkan menggunakan topi dan memakai masker sehingga Lucy tak dapat langsung mengenalinya.

 Mendengar suara dari orang di sebelahnya, Lucy baru langsung mengenalinya, tentu saja Rino. “Apa yang kau lakukan di sini?” ujar Lucy dengan nada berbisik seraya memegangi sweater Rino.

“Ini sudah jelas bukan?” Rino mengibaskan tangan Lucy dari pakaiannya dan mengelapnya dengan arogan. Melihat perlakuan Rino, Lucy hanya bisa memalingkan perhatiannya kembali pada sidang yang belum dimulai.

Lucy sendiri mengenakan blouse yang cukup formal untuk ini berwarna hitam, rambutnya digulung dan hanya menyisakan poninya. Memegang buku dan bolpoint, untuk mencatat poin yang diberikan tersangka. Ia ingin menambah diary.

Tak ada pembicaraan di antara mereka setelah itu, perasaan canggung seperti menyelimuti mereka. Rino hanya mempertanyakan sikapnya barusan terhadap Lucy di benaknya.

Tatapan Lucy terus mengarah ke tempat duduk terdakwa yang masih kosong. Rino menyadari akan hal itu, ia merasa tak tega jika Lucy kecewa dengan kenyataan.

“Bisakah kita keluar saja dan melewati persidangan ini?” Lucy menatap Rino dengan tatapan yang seolah berkata, “Apa kau gila?”. Gadis itu berdecak, guna meledek pertanyaan konyol  seorang di sampingnya.

“Aku serius.” Lucy juga tak mau kalah dengan Rino, “Aku juga serius.” Kini mata Rino menatap tajam ke arah Lucy, gadis itu mendelik terkejut dengan tatapan seperti di depannya saat ini.

Ia menundukkan pandangannya, dibuat salah tingkah oleh Rino. Meskipun itu bukan waktu yang tepat bagi mereka. “Ayo keluar!” ajaknya meyakinkan Lucy. “Tapi, kenapa? Kau tahu, bukan? Aku sangat menunggu hari ini. Jika kau menginginkanku pergi dari sini, seharusnya kau tak perlu memberitahukan hal ini padaku.”

“Aku tahu. Dan kini aku menyesalinya. Aku yakin kau tak ingin mengetahui siapa pelakunya, jika kau tahu. Aku mohon, pergilah denganku dari tempat ini.” Beberapa orang di sana melirik perselisihan di antara mereka.

Lucy merasa tak nyaman dengan sikap Rino saat ini, pria itu berubah menjadi orang yang menyebalkan baginya.

Lucy masih menundukkan kepalanya, “Pergilah. Keluar dari sini. Tinggalkan aku!” Rino keluar tanpa sepatah kata, dengan penyesalan dan tanpa pemberontakkan. Mengapa ia begitu memaksa Lucy untuk pergi? Toh, Rino sendiri yang telah memberitahu Lucy.

“Bagaimana mungkin aku bisa tak merasa ingin tahu dengan semua ini?” Gadis itu hampir tersulut emosi, ia hanya bisa berbisik dengan dirinya dengan hati-hati.

Ia melihat kembali jam tangannya, tersisa 15 menit lagi sebelum sidang dimulai. Lucy pikir ia mempunyai waktu untuk ke kamar kecil. Tubuhnya terangkat bangkit dari kursi, langkahnya menuju ke pintu keluar ruangan itu.

Ia berjalan dengan santai sambil mengamati jalan yang ia lalui. Gedung itu cukup sibuk, tetapi lingkungannya juga bersih dan nyaman. Ia sangat menikmati setiap langkahnya menuju kamar kecil.

Sebenarnya Lucy tak tahu di mana letak kamar kecil terdekat, ia berniat untuk bertanya dengan seseorang yang lewat. Kebetulan, ada seseorang yang akan berpapasan dengannya.

“Permisi. Bisakah anda menunjukkan arah ke toilet?” Wanita yang tampaknya seorang pengacara itu hanya menunjukkan arah dengan tangannya, tanpa memberi keterangan. Sepertinya sudah dekat.

“Jadi, hanya berjalan lurus lalu belok ke kiri di persimpangan lorong pertama?” Wanita itu hanya mengangguk dan tersenyum. Lucy mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkan wanita yang masih memperhatikannya menjauh.

“Ia sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun,” batin gadis itu dengan tatapan yang tertuju pada lantai yang ia lewati. Persimpangan sudah di depan, Lucy berbelok ke kiri. Ternyata itu adalah sudah ruangan kamar kecil.

Lucy menuju keran air, melihat dirinya pada cermin di depannya. Diam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia merapikan kembali rambutnya.

Memutar badannya, memastikan tak ada yang terlewat. Ia mengangguk dan akan kembali ke ruang sidang, karena lima menit lagi sidang akan berlangsung.

Tetapi, tubuhnya kaku tak bisa digerakkan!

Ia berusaha bergerak sekuat tenaga dan memikirkan apa yang salah. Kabut hitam mulai keluar dari keran air. “Oh, tidak. Ini mulai lagi,” batin gadis yang tengah berdiri kaku itu.

Ia masih tetap berusaha memberontak, tetapi seperti usahanya tidak membuahkan hasil. Ia malah semakin merasa terlilit. Akhirnya, terpaksa harus mengalah dan melewati ini lagi.

Matanya tertuju pada cermin di depannya. Kabut hitam mulai memenuhi ruangan, dan tampaknya sedari tadi hanya Lucy yang ada di sana. Napasnya mulai terasa sesak, dadanya seperti terhimpit.

Lampu di ruangan menyala dengan baik, sehingga semua yang terjadi dapat terlihat jelas. Lucy melihat tubuhnya mulai dikelilingi kabut hitam itu.

“Ayolah, aku harus segera kembali...,” batinnya dengan sedikit rasa kepanikkan. Tiba-tiba perlahan mulai muncul tulisan dari permukaan cermin, masih belum begitu jelas. Lucy memusatkan pandanganya ke arah tulisan yang akan muncul itu.

Apakah kau yakin akan mengikuti sidang itu, Lucy Velyyan?

Pertanyaan itu tentu ditujukan untuk gadis yang sedang kaku di depan cermin, ia tak tahu mengapa ‘mereka’ menanyakan ini. “Mengapa aku mendapat pertanyaan seperti ini lagi? Tentu saja iya,” tuturnya dalam hati.

Ia hanya bisa mengedipkan mata, semua anggota tubuhnya kaku seprti terkunci oleh kabut hitam yang masih melilitnya. Ia hanya bisa menjawab pertanyaan itu dalam hatinya.

Tak butuh waktu lama, kabut yang mengelilinginya perlahan memudar. Jari tangannya mulai bisa digerakkan. Napasnya juga kembali normal seperti sebelumnya. Perasaannya sedikit lega.

Setelah semua anggota tubuhnya terasa bebas, dan kabut itu sudah lenyap sepenuhnya. Ia segera meninggalkan ruangan itu, mengingat sidang akan segera dimulai atau mungkin bahkan sudah dimulai. Apa yang terjadi tadi sepertinya cukup memakan waktu.

Tulisan di cermin belum menghilang ketika Lucy meninggalkannya, rupanya ada kalimat baru yang muncul setelahnya. Ukurannya bahkan lebih besar dari sebelumnya.

Kau akan menyesal!

Setelahnya, ruangan itu kembali seperti semula. Tetapi, Lucy tak mengetahui kalimat selanjutnya. Ia langsung saja keluar dari sana.

Lucy menuju ruang sidang, ia hanya berjalan lebih cepat tetapi tak berlari. Mungkin lebih tepatnya tergesa-gesa. Di tengah jalan ia memeriksa jam tangannya. Ternyata waktu masih seperti saat terakhir ia mengecek jam tangannya.

Sidang masih lima menit lagi. “Apakah aku berhalusinasi lagi?” batinnya dan menormalkan langkahnya. Ia masih memiliki waktu. Ia merasa kebingungan untuk sesaat.

Tapi, apa itu? Seseorang berbaju oranye digiring masuk ke ruang sidang dari arah yang berlawanan, tak terlalu nampak dengan jelas. Itu menyita perhatian Lucy, ia mengamatinya dengan seksama. Tampak familiar dengan apa yang ia lihat.

Seketika ia mempercepat langkahnya setelah mereka memasuki ruangan. Ia tampak gugup tetapi juga sedikit senang. “Siapakah pelakunya hingga mereka menanyakan kehendakku?”

Ia mengintip melalui sela-sela pintu, mencoba mengidentifikasi pelaku dari jauh. Dan mulai melangkah masuk perlahan dengan mata yang masih fokus ke pria yang tengah memakai baju oranye, duduk di kursi terdakwa. Rupanya hakim sudah berada di kursinya.

Lucy tak dapat melihatnya dengan jelas, orang itu menujukan pandangannya ke bawah. Ia sangat penasaran, karena penampilan sang pelaku tampak sangat tidak asing baginya. Hakim diam-diam melirik ke arah Lucy.

Gadis itu kembali ke tempat duduknya, dan mengikuti sidang dengan penuh rasa semangat. Ia sangat menantikan ini. Kembali melihat jam tangannya, sidang akan bermulai kurang dari dua menit lagi.

Sementara itu, Rino sudah berhasil masuk ke dalam ruangan secara sembunyi-sembunyi. Ia masih mengkhawatirkan Lucy, sesuatu mungkin saja terjadi jika Lucy terlalu syok.

Jantung gadis itu lemah.

Sidang sudah akan dimulai, dan Lucy tetap mengamati orang di sana yang terus tertunduk. Ia sangat penasaran dengan sesosok orang yang berpakaian oranye itu. Banyak jawaban yang ia inginkan dari sidang ini.

Perasaanya sangat tidak tenang, jelas terlihat dari sikapnya, jantungnya juga berdegup lebih cepat dan tangannya juga berkeringat. Lucy tak tahu perasaan apa ini, tetapi ia juga takut.

Pria di seberang sana mendongakkan wajahnya ke depan. Semakin menampakkan diri, mulai bisa dikenali dari sisi wajahnya. Lucy terkejut, itu sangat tidak mungkin baginya. Tak mungkin bahwa dia adalah pelakunya.

Mulut gadis itu terbuka kecil, memajukan tubuhnya untuk lebih meyakinkan, matanya membulat. Ia tak percaya apa yang ia lihat saat ini, “Tidak. Ini ilusi lainnya, pasti ilusi!” Rino terus memperhatikan Lucy, melihatnya seperti itu, ia semakin menyalahkan dirinya.

“Tak mungkin jika dia adalah pelakunya,” ucapnya lirih dan masih menggelengkan kepalanya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini juga ilusi dan tipuan lainnya.

Napasnya tak teratur, ia merasa sangat kecewa dengan pria yang duduk di sana. Kedua tangannya menutupi wajah, ia ingin menangis tetapi ini adalah tempat publik.

Related chapters

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Lima

    “Sudah kubilang, kau tak ingin mengetahui pelakunya.” Rino menghampiri Lucy. Ia berbisik. “Berhentilah. Ayo keluar!” Lucy memalingkan wajahnya ke Rino, “Jahat.” Perasaannya hancur, tepat ketika pandangan orang yang duduk di seberang sana beradu dengan matanya. Matanya telah berkaca-kaca, mengecewakan sekali baginya untuk menerima kenyataan ini. Orang yang sepertinya sangat ia percaya melakukan hal ini pada keluarganya. Ingatan masa lalu bersama orang di sana kembali melintas, betapa baiknya orang itu. Rino tak tega melihatnya begitu, juga berbalut rasa bersalah. Tangan Lucy digenggamnya, menariknya keluar dari ruang sidang ini. Semua orang memperhatikan, dan mulai berbisik. Melihat dua orang remaja terus bergunjing. Tentu saja mereka semua akan mengira ini adalah masalah asmara. Tenaga gadis itu seperti sudah terkuras oleh rasa kekecewaannya. Ia tak bisa memberontak bahkan ketika Rino menariknya demikian. Semangatnya sudah hilang untuk mengikuti persi

    Last Updated : 2021-09-23
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Enam

    “Mereka pergi bersama lagi,” ujarnya seraya meletakkan telepon genggam di meja di sampingnya. Diletakkan berdampingan dengan beberapa kue kering buatan pabrik. Kembali membaca koran yang berada di pangkuannya. Nenek datang bersamaan dengan dua teh hijau dalam cangkir bening di atas nampan yang di pegangnya. Membawanya dengan penuh perasaan yang baik untuk suaminya di sana. Bik Nah tengah pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko swalayan terdekat bersama dengan Reika, adik Lucy, sehingga nenek harus menyiapkannya sendiri. Ia suka sekali membuntuti Bik Nah dan tidak akan melepaskannya. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu akan terus mengikuti Bik Nah kesayangannya. Pulang dari sekolah, ia selalu menanyakan keberadaan Bik Nah jika bukan dijemput olehnya. Kakek sampai heran dengan cucunya. “Tak apa, aku percaya dengan mereka,” Nenek berkata seraya duduk di samping suaminya. Mereka tengah menikmati senja di halaman belakang, kembali mengenang masa mud

    Last Updated : 2021-11-22
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tujuh

    “Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m

    Last Updated : 2021-11-25
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Delapan

    “Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia

    Last Updated : 2021-11-26
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sembilan

    Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?

    Last Updated : 2021-11-28
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sepuluh

    Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu

    Last Updated : 2022-01-05
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sebelas

    “Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka

    Last Updated : 2022-01-08
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Dua Belas

    “Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu

    Last Updated : 2022-01-11

Latest chapter

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Lima Belas

    Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Empat Belas

    Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tiga Belas

    Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Dua Belas

    “Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sebelas

    “Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sepuluh

    Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sembilan

    Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Delapan

    “Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tujuh

    “Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m

DMCA.com Protection Status