Gadis itu menyetel alarm di handphone-nya pada pukul 4.15 sore. Ia ingin mengisi kembali tenaganya yang belum terisi penuh, meskipun ini belum waktunya untuk siesta.
Menyalakan pendingin ruangan, menutup gorden jendela kamarnya, dan selanjutnya gadis itu menuju tempat tidurnya. Ukurannya hanya cukup untuk tidur Lucy, dengan sprei berwarna kuning-putih-oranye, dengan sedikit motif rubah dari karakter Rillakuma.
Kini ia telah berada di atas kasur, tubuhnya menghadap ke kanan dan memeluk guling dengan karakter Rilakkuma miliknya. Dalam hitungan detik, Lucy telah tertidur lelap. Pendinginnya menyala di dalam ruangan kamar yang sedikit redup. Tampak sedikit pengap.
Remaja berusia 15 tahun itu bahkan bisa tertidur tanpa merasa terganggu dengan ruangan yang tampak suram. Ia tak terlalu menyukai cahaya matahari yang bersinar terang, itu membuat matanya sakit, Lucy mengalami Fotophobia.
Fotophobia merupakan kondisi mata yang sangat sensitif terhadap intensitas cahaya. Sinar matahari atau cahaya ruangan yang terlalu terang dapat membuat penderitanya mengalami rasa sakit atau tidak nyaman di matanya. Seperti gadis itu.
Gangguan itu sangat mengganggu Lucy ketika pertama kali dia mengalaminya, sekarang ia sudah lebih terbiasa. Karena itu ia memutuskan untuk menghindari sinar matahari langsung, memakai pakaian tertutup, dan menggunakan lampu dengan kualitas cahaya rendah untuk menjaga matanya. Ia tak ingin menggunakan kacamata yang dianjurkan oleh dokter.
Ia akan menjadi kutu buku jika memakai kacamata itu, dan Rino akan terus menggodanya akan hal itu. Baguslah mereka tidak pernah keluar bersama saat matahari befrada di langit.
Sepertinya ia terlelap, tanpa gangguan mimpi buruk. Terlihat sangat nyaman dan tentram. Mengingat mimpi terakhirnya membuat tubuhnya merasa kesakitan. Untuk sesaat, kadang ia merasa takut untuk tertidur. Baguslah.
Alarm handphone-nya telah berbunyi, menandakan waktu tidur telah usai. Lucy meregangkan tubuhnya di atas kasur, membuka matanya dengan perasaan yang lebih baik dari sebelumnya. “Ini terasa begitu cepat jika aku tidak bermimpi, dan begitu pula sebaliknya.”
Sebenarnya ia masih ingin melamun di atas kasur, tetapi harus ada yang mematikan alarm. Lucy berjalan menuju handphone-nya dengan terhuyung-huyung, tubuhnya belum sepenuhnya sadar.
Setelah tiba di meja belajarnya dengan susah payah, ia duduk di kursi, meraih telepon genggamnya dan mematikan alarm yang terus berbunyi. Termenung sesaat.
Rambutnya acak-acakan, dan ia memiliki muka bantal. Mulutnya terbuka lebar dan uap panas keluar dari sana. Cukup lama.
Matanya menyusuri sudut di mana buku-buku berjejer rapi, tebal dan beragam. Ia membaca judulnya satu persatu. Mencoba menemukan buku yang ia baca. Lucy pikir akan membaca beberapa halaman ensiklopedia bebas untuk mengisi freetime-nya.
“Aku merasa jenuh. Bisakah aku keluar pada sore hari yang cerah ini dan mencari udara segar?” Lucy angkat kaki dari meja belajarnya setelah lima halaman terselesaikan. Ia pergi untuk mencuci wajahnya dan mandi lagi.
Setelah rampung membersihkan diri, gadis itu kini tengah memakai pakaian yang ia pilih dari lemari. Tentunya sweater dan celana jeans. Tak ada yang lebih baik dari itu.
Ia tak perlu meminta restu kepada kakeknya untuk pergi keluar, kakeknya tahu bahwa Lucy pandai menjaga dirinya sendiri. Kali ini, ia sengaja pergi tanpa mematikan pendingin di kamarnya. Entah apa alasannya. Bik Nah pasti akan tetap mematikannya nanti jika mengambil pakaian kotor Lucy.
Gadis itu berjalan keluar rumah, menyusuri perumahan di sekitar sana. Masih ada banyak waktu untuk berjalan-jalan sebelum bertemu dengan Rino.
Ia berjalan ke arah timur untuk menghindari matahari tenggelam, itu sungguh menyakitkan. Jalanannya tak begitu ramai seperti biasanya, padahal ini waktu yang pas untuk menghirup udara segar.
Ada sebuah bangku kosong di taman, Lucy memutuskan untuk duduk di sana dan menikmati hamparan bunga di taman itu.
Sebelumnya ia memeriksa pukul berapa saat ini, waktu hampir menunjukkan pukul 6.00, waktu terasa cepat berlalu.
Hanya ada Lucy seorang diri di sana, tengah hanyut dalam lamunan. Dalam benaknya, ia memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu ini dalam hidupnya. Ia tak tahu apa yang akan menimpanya setelah ini.
Ia menyandarkan punggungnya, mendongakkan kepalanya ke atas menembus langit berawan dengan latar jingga-magenta. Tangannya bersembunyi di balik saku sweater-nya bersama teleponnya.
“Hai, Lucy. Apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian?” Seseorang membangunkan Lucy dari lamunan dengan menepuknya di bagaian bahu. Lucy menoleh ke tangan yang menyentuh bahunya.
Perasaanya lega, tangannya tidak sama seperti tangan wanita saat itu. Ia mulai menyusuri tangan itu hingga ke wajahnya. Rino.
“Tidak ada. Hanya membuang waktu luangku,” ujarnya kepada Rino. Bayangan pria itu tak terlihat. Lokasi mereka tertutupi oleh pohon yang cukup lebat.
Pria itu langsung saja menduduki tempat kosong di sebelah Lucy. “Aku akan membuang waktu luangku juga kalau begitu.” Tubuhnya bersandar di kursi bersama dengan Lucy. Menantikan matahari tenggelam dari arah yang berlawanan, itu aneh.
Matahari telah tenggelam, belum sepenuhnya, karena belum terlalu gelap. Lampu jalanan mulai menyala secara berurutan. Sudah tidak ada orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka.
Banyak yang masih percaya dengan mitos yang telah turun-temurun. Sunyi, tak di antara Lucy dan Rino yang memulai percakapan. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Lucy menghadap ke bulan yang mulai terlihat jelas, belum semua bintang keluar. Angin malam berhembus perlahan. “Mari kita langsung ke intinya saja, aku ingin memberikan beberapa pertanyaan dan memberi tahumu sesuatu.”
Rino mengubah posisi duduknya untuk menatap Lucy. Lucy hanya mengangguk mendengar pernyataan Rino dan tetap memandangi bulan yang masih sedikit terlihat samar. Dan itu tak masalah, Lucy memang selalu saja seperti ini.
“Kemarin adalah Jum’at tanggal 13. Kau tahu artinya bukan?” ujarnya dengan tetap menatap Lucy. Lucy kembali mengangguk tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. “Tujuan obrolan ini terlihat jelas, akhirnya juga begitu.” Kata lain suara hati Lucy memintanya untuk berbagi cerita dengan Rino.
Rino menghela napasnya, “Tak ada yang ingin kau beritahukan kepadaku?” Gadis itu kini membalas tatapan Rino, ikut menghela napas dan tersenyum. Ia mulai bercerita semua yang terjadi padanya kemarin, Rino terus memperhatikannya dan menyimak apa yang Lucy katakan agar tak terlewat.
“Kenapa bisa sampai seperti itu? Ketua akan marah jika tahu itu,” batin Rino setelah mengetahui ada orang yang mengawasi Lucy.
Rino pasti akan melaporkan tindakan kelalaian ini, atau mungkin ancaman ini. Tampaknya tangan wanita itu sangat berbahaya bagi Lucy dan Rino.
Pria itu harus segera melaporkannya ke pihak bersangkutan!
Mereka melewati malam dengan cerita Lucy hingga selesai. “Baiklah, itu cukup buruk. Beritahu aku jika itu kembali terjadi. Bolehkah aku menambahkannya dengan berita buruk atau mungkin juga baik?” ujar Rino setelah mendengar semua cerita Lucy.
Ia tak yakin untuk langsung mengatakannya tanpa bertanya terlebih dahulu.
Lucy hanya mengangkat kedua alisnya, menandakan persetujuannya untuk mendengar kabar dari Rino. “Senin esok adalah sidang tentang kasus ibumu, pelakunya telah tertangkap.” Lucy membuka penutup kepalanya, bangun dari kursi taman, menoleh ke arah Rino yang masih duduk di sana.
Ia tersenyum sangat lebar, “Itu sangat bagus.” Gadis itu tergirrang akan hal itu.
“Sepertinya itu tidak bagus untukmu,” batin Rino yang melihat antusiasme Lucy. Wajah Rino sedikit mengkhawatirkan Lucy, gadis itu mungkin akan sedih setelah tahu siapa pelakunya.
“Hei. Tak perlu sesenang itu. Memangnya apa yang akan kau lakukan jika sudah bertemu dengannya?” Rino kembali menyandarkan diri di kursi itu, matanya tertuju pada bulan malam itu.
Lucy masih berdiri, terus tersenyum menyeringai, berjalan-jalan mengelilingi bangku dengan perlahan. Entahlah. Sangat aneh.
Ia berhenti di belakang bangku tepat di belakang Rino, menatapnya dari atas wajah Rino. Menghalangi pandangan Rino ke langit bebas, rambut panjang Lucy ikut terjatuh menutupi mereka dari pandangan orang lain.
Lucy tersenyum menyeringai, membuat Rino merasa canggung tetapi ia merasa seperti membeku. Senyum Lucy menghilang, “Aku akan membunuhnya.” Lucy kembali mengitari bangku dengan tersenyum menyeringai.
“Dia membuatku berdebar,” batin Rino seraya bangkit dari sandarannya. “Apakah kau sudah gila? Kau akan ikut ke penjara jika begitu.” Lucy kembali duduk di samping Rino, dan tertunduk seperti kehilangan semangat. Rambutnya menutupi wajahnya, meskipun begitu tetap saja ia terlihat murung.
Rino merasa ia telah salah bicara, wajahnya terlihat gagap. “Aku hanya tak tak tahu apa yang harus kulakukan. Mungkin itu yang akan kulakukan,” tutur Lucy dengan suara parau.
“Jangan menangis.” Rino panik dan berusaha menenangkan Lucy, ia pikir Lucy menangis karena nada bicaranya itu. Lucy lalu menoleh ke hadapan Rino, wajahnya datar, ia hanya ingin menunjukan bahwa ia tak menangis.
Pria itu kembali bersandar di kursi dan menghela napas panjang. Tubuhnya mengisyaratkan bahwa ia merasa lega.
“Apakah kau tahu kemana perginya ‘dia’? Aku ingin bercerita banyak hal kepadanya, meskipun ia selalu menggangguku, tetapi aku juga merasa tenang tanpanya. Setelah kepergian Ibu ia tak pernah menampakkan diri. Namun, bagus juga tidak ada ‘dia’...,” tutur Lucy, ia kehilangan seseorang dari hidupnya, selain ibunya.
“Apakah kau-,” ucapan Rino terdahului oleh Lucy. “...aku merindukannya!” imbuh Lucy berteriak dengan posisi tubuh yang telah beranjak dari bangku.
Rino terkekeh, Lucy langsung tersipu. “Aku ada di sini, kau bisa menceritakan semua padaku. Kau tak membutuhkan ‘dia’.” Tatapan mata pria itu menuju ke arah gadis di sebelahnya yang tengah tersipu. Tidak biasanya Lucy seperti ini, ini momen langka bagi Rino setelah sekian lama.
“Kau berbeda dengannya, Rin.” Gadis itu masih tersipu, tetapi ia pergi meninggalkan Rino di tempat. Menuju mawar yang tumbuh liar di tepi pohon yang tak jauh dari bangku.
Rino hanya memperhatikannya dari belakang, ia tak berniat untuk mengikuti Lucy. Sedangkan Lucy, menurunkan tubuhnya dan memetik bunga mawar merah itu.
Ups...
Jarinya tak sengaja tertusuk duri, tetesan darah mulai keluar dari jari tengahnya. “Oh? Kenapa ini tak menyakitkan?” Lucy mendekatkan jarinya ke hidungnya, tercium aroma anyir khas darah namun yang ini lebih pekat.
“Apakah ini darah Lucy? Kenapa bisa? Apakah ia terluka?” tutur Rino dalam hati kecilnya. Ia mulai panik tanpa sebab. Lucy berjalan menuju kursi dengan mata yang masih tertuju pada jarinya.
Panggilan masuk tertera pada telepon genggam milik Rino, “Lucy aku akan pergi, ada urusan mendadak yang harus aku selesaikan.” Lucy hanya menatap kepergian Rino secara tiba-tiba itu.
Rino berlari ke arah barat dan perlahan lenyap oleh gelap. Lucy tak bisa mendengar dan melihat punggung pria itu lagi.
“Ada apa dengannya? Padahal aku baru saja akan meminta plester,” ujar Lucy sedikit bingung dengan tingkah Rino.
Para juri dan para hadirin yang lainnya mulai memasuki ruangan sidang yang menangani kasus pembunuhan Ibu Lucy. Gadis itu berada di kursi barisan paling depan, tertunduk, ia tampak gelisah dan juga menanti-nanti , sepertinya ia telah datang lebih awal. Lucy memeriksa jam tangannya, di sana tertulis 8.30 pagi, sidang baru akan dimulai 30 menit lagi. Baru beberapa orang saja yang sudah berada di dalam ruangan dan mengisi tempat duduknya. Ruangan itu masih tampak sangat senggang. Bahkan Hakim Ketua belum berada di ruangan, sang pelaku yang masih misterius juga belum berada di kursinya. Lucy sangat menunggu hari ini, sehingga ia datang lebih. Setelah Rino mengatakannya pada kemarin lusa, ia memikirkan hal ini dari pagi hingga malam, sampai hari ini tiba. Ia sangat ingin pelakunya dihukum setimpal, ia bahkan berpikir bahwa ‘nyawa dibayar nyawa’. Lucy sangat mencintai dan menyayangi ibunya. Ia tak terima jika ibunya meninggal dengan tidak wajar, dan sangat
“Sudah kubilang, kau tak ingin mengetahui pelakunya.” Rino menghampiri Lucy. Ia berbisik. “Berhentilah. Ayo keluar!” Lucy memalingkan wajahnya ke Rino, “Jahat.” Perasaannya hancur, tepat ketika pandangan orang yang duduk di seberang sana beradu dengan matanya. Matanya telah berkaca-kaca, mengecewakan sekali baginya untuk menerima kenyataan ini. Orang yang sepertinya sangat ia percaya melakukan hal ini pada keluarganya. Ingatan masa lalu bersama orang di sana kembali melintas, betapa baiknya orang itu. Rino tak tega melihatnya begitu, juga berbalut rasa bersalah. Tangan Lucy digenggamnya, menariknya keluar dari ruang sidang ini. Semua orang memperhatikan, dan mulai berbisik. Melihat dua orang remaja terus bergunjing. Tentu saja mereka semua akan mengira ini adalah masalah asmara. Tenaga gadis itu seperti sudah terkuras oleh rasa kekecewaannya. Ia tak bisa memberontak bahkan ketika Rino menariknya demikian. Semangatnya sudah hilang untuk mengikuti persi
“Mereka pergi bersama lagi,” ujarnya seraya meletakkan telepon genggam di meja di sampingnya. Diletakkan berdampingan dengan beberapa kue kering buatan pabrik. Kembali membaca koran yang berada di pangkuannya. Nenek datang bersamaan dengan dua teh hijau dalam cangkir bening di atas nampan yang di pegangnya. Membawanya dengan penuh perasaan yang baik untuk suaminya di sana. Bik Nah tengah pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko swalayan terdekat bersama dengan Reika, adik Lucy, sehingga nenek harus menyiapkannya sendiri. Ia suka sekali membuntuti Bik Nah dan tidak akan melepaskannya. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu akan terus mengikuti Bik Nah kesayangannya. Pulang dari sekolah, ia selalu menanyakan keberadaan Bik Nah jika bukan dijemput olehnya. Kakek sampai heran dengan cucunya. “Tak apa, aku percaya dengan mereka,” Nenek berkata seraya duduk di samping suaminya. Mereka tengah menikmati senja di halaman belakang, kembali mengenang masa mud
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan
Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.
Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga
“Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m