“Bagaimana jika dia sadar? Kita tak akan bisa mengambil alih tubuhnya.” Seorang wanita yang tak dikenal, berdiri di samping Lucy bersama pria ber-jas hitam yang membelakangi Lucy.
Mereka membicarakan Lucy di sampingnya secara langsung. Saat ini, Lucy berbaring di kasur putih dalam ruangan bernuansa hitam dengan ornamen putih di setiap sudutnya, dan lantainya bermarmer putih.
Tidak se-elegan seperti yang dipikirkan, itu berdebu dan penuh dengan noda. Ruangan itu tampak telah lama terbengkalai. Cat hitam di tembok sudah sedikit mengelupas dari tembok yang dingin. Di satu sudut, jaring laba-laba lengkap dengan laba-laba dan serangga yang terperangkap di sana.
“Kita akan menghapusnya dari dunia, hingga tak ada siapapun yang mengingat dirinya beserta orang tuanya,” ujar pria itu dengan suara pelan, tetapi tetap terdengar tegas. Terkadang ia terbatuk karena cerutu di mulutnya.
Mendengar apa yang dikatakan pria ber-jas, mungkin akan lebih baik jika Lucy tetap diam, menutup mata dan berpura-pura masih belum sadar.
“Setelah apa yang terjadi padanya, ia mungkin saja akan sadar beberapa hari lagi. Sebelum saat itu tiba, kita memiliki waktu untuk melakukannya. Kapan kau akan melakukan prosesnya?”
“Polisi-polisi itu terlalu banyak, akan butuh waktu bagiku untuk membereskan mereka. Setelah aku selesai, gadis ini bisa kutangani.” Pria ber-jas keluar dari ruangan. Sepertinya untuk mulai menyelesaikan para polisi.
Wanita itu menoleh ke arah Lucy dan menatapnya untuk waktu yang lama. Ia tampak ingin menusuk Lucy dengan kukunya yang panjang, runcing, berwarna hitam sehitam gelapnya malam tanpa bulan dan bintang. Matanya sangat tajam dan penuh hasrat.
Sesekali ia membulatkan matanya dan bergumam seolah sedang menikmati hidangan. Atau membayangkan sedang menikmati ‘hidangan’ yang berada tepat di depan matanya ini.
Ia tersenyum cukup lama. Tahi lalat di tepi kiri sudut bibirnya, membuatnya terkesan arogan.
Beberapa saat-saat yang menegangkan di sana, wanita itu meninggalkan ruangan, menyusul pria ber-jas. Lucy tak pernah merasa selega ini mendengar langkah kaki wanita itu menjauh, wanita itu sepertinya lebih kejam daripada pria ber-jas sebelumnya.
Ruangannya menjadi sunyi, Lucy masih tetap menutup matanya. Mungkin saja ada kamera yang mengawasinya. Belum terlalu siap untuk mati, ia dilema antara harus bangun atau tetap tidur, keduanya berakhir di tangan pria itu.
Seseorang masuk ke ruangan itu saat Lucy masih berada dalam dilemanya. Mendekat dan berdiri di samping ranjang Lucy. Ia menunduk menatap Lucy yang terbaring di sana.
Ia mengucapkan sesuatu, secara berulang, tetapi tak ada suara yang terdengar. Seperti sebuah isyarat dengan menggunakan mulutnya.
Suara itu perlahan-lahan mulai terdengar mendesis dan berbisik. Terus berulang. Mendadak ia mendekat ke wajah Lucy. Kini wajah mereka hanya berjarak tiga puluh sentimeter. Kedua tangannya terangkat, meraih pundak Lucy dan mengatakan hal yang mengejutkan bagi Lucy.
“Bangun, Cy. Bangun, Lucy.” Kata itu terus keluar dan berulang dari mulutnya. Ia menggoyangkan tubuh Lucy dan terus mengulangi kata itu, Lucy tak tahu harus bagaimana. Bagaimana nasibnya jika ia bangun? Bagaimana jika ia memilih untuk tetap pura-pura?
Goyangan di bahu Lucy semakin kencang seiring dengan suara seseorang di atasnya. Suaranya mulai serak karena teriakan yang ia keluarkan untuk membangunkan Lucy.
Untuk terakhir kalinya, seseorang di sana berteriak berusaha membangunkan Lucy. Ia tampak hampir putus asa berbalut rasa lelah dalam usahanya membangunkan Lucy.
Keputusan sidang di dalam otak Lucy mengatakan; sebaiknya kau bangun dan memberi tahunya, toh jika kamu tetap berpura-pura, riwayatmu akan tetap tamat di sini.
Sudah diputuskan, Lucy akan membuka matanya sesuai dengan keputusan sidang di otaknya. Jantungnya berdebar, ia terlalu gugup untuk membuka matanya.
Didetik-detik terakhir terbesit di benaknya sebuah pertanyaan. Bagaimana jika orang ini pesuruh mereka?
Ia membuka matanya. Gadis itu terheran karena ruangannya berbeda seperti apa yang ia lihat dalam ruangan sebelumnya, ia juga tak tahu bagaimana ia bisa mengetahui ruangan itu dengan mata tertutup.
“Aku mungkin bermimpi lagi, semakin hari semakin aneh,” batinnya. Lucy masih terdiam di atas kasur, merenungi apa yang ada di mimpinya tadi. Orang yang membangunkannya terasa nyata, bahkan bahunya terasa sakit karena genggamannya. Bagaimana bisa rasa sakitnya terasa nyata jika itu hanya mimpi?
Suara langkah kaki kembali terdengar mendekat menuju ke kamarnya, sesaat berikutnya ketukan pintu terdengar. “Lucy, sayangku. Apakah kau sudah bangun? Kemarilah untuk sarapan bersama kami jika kau sudah siap.”
“Apa? Sarapan?” Lucy bangun dan duduk bersila di atas kasur, melihat jam digital di meja belajarnya. Di sana tertulis pukul 8.15 pagi. Menggosok matanya tak percaya, tidak biasanya ia bangun terlambat. Apa mungkin karena mimpi itu?
Sesegera mungkin, tangan gadis itu merapikan tempat tidur dan pergi ke bawah untuk sarapan bersama kakek dan neneknya. Sebelum itu, ia memutuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi, tetapi tidak untuk mandi.
Gadis itu beranjak pergi dari kasurnya, berjalan menuju kamar mandi pribadinya. Sesekali ia menggosok matanya sambil berjalan agar rasa kantuknya menghilang.
Mendadak memorinya mengingat kejadian semalam, ia memikirkan kembali apa yang dikatakan wanita yang menyentuh bahunya kala itu. “Apakah dia ada kaitannya dengan orang kucari? Aku akan menunggu hingga waktunya tiba.” Lucy tersenyum meyakinkan dirinya.
“Atau mungkin juga tidak perlu menunggu.”
Tangan gadis itu kini memutar gagang pintu kamar mandi di depannya dan masuk ke dalam, menguncinya kembali. Di dalamnya terdapat cermin besar di atas westafel dengan tempat penyimpanan di bawahnya, berisi; P3K, handuk, dan beberapa perlengkapan pribadinya.
Ia masuk dengan memandangi lantai, ia merasa tenaganya belum terisi penuh. Mencoba melihat ke arah cermin besar di depannya, tampak matanya sedikit membengkak dan menghitam.
“Apa-apaan ini? Kurasa semalam aku tidur dengan baik,” ujarnya ketika menggosok kembali matanya yang sedikit bengkak itu. “Mungkin ...,” imbuhnya.
Ia menyalakan keran air dingin, dan membasuh wajahnya dengan lembut. Kemudian mengeringkan wajahnya yang telah dibasuh dengan handuk. Waktu yang ia habiskan tak sampai sepuluh menit untuk melakukan itu.
Lucy keluar dari pintu kamarnya dengan menggunakan piyamanya, ia merasa malas untuk mengganti pakaian. Sehingga ia akan sarapan bersama dengan piyama kesukaannya itu,
Piyama itu berwarna hitam polos dengan bahan katun premium. Karena harganya yang mahal, itu menjadi kesukaan Lucy.
Ia menuruni tangga di rumah kakeknya yang berbahan dasar kayu, setiap langkah akan mengeluarkan suara jika menggunakan sendal atau sepatu dengan bagian bawah yang keras.
Slippers yang ia kenakan membuat langkahnya tak terdengar. Rasanya sangat nyaman menggunakan slippesr di dalam rumah.
Di meja makan telah ada yang menunggu Lucy di sana, seorang gadis kecil berambut ikal sedang menunggu Lucy. Ia melihat ke arah Lucy yang sudah menuruni tangga, “Kakak! Kemarilah! Kita sarapan bersama!”
Di sana hanya ada kakek dan adiknya, nenek Lucy masih berada di dapur yang berada tepat di belakang meja makan bersama dengan Bik Nah. Mereka tengah menyiapkan makanan.
Lucy memandangi wajah adiknya sampai di kursi meja makan, adiknya juga melakukan hal yang sama. Ia duduk di samping adiknya, kemudian tersenyum kepada adiknya saat menduduki kursi yang telah disiapkan.
“Apakah kau baik-baik saja semalam?” tanya kakeknya kepada Lucy. Ia bertanya dengan koran di depannya, membaca berita harian seperti biasa.
“Ya, aku baik. Ada apa?” ujar Lucy kembali menanyai kakeknya. Meskipun mereka sedang mengobrol, kakeknya tetap fokus pada koran dan sesekali meminum teh hijau miliknya. Ia meminum teh hijau karena ingin mengembalikan kesehatannya, dokter mengatakan ada masalah dalam dirinya ketika check up kemarin lusa.
Masalah lansia pada umumnya, gula darah. Dokter menganjurkannya untuk mengonsumsi makanan dan minuman mengandung teh hijau, untuk membantunya mengurangi gula dengan nikmat.
“Kami mengunjugi pamanmu di rumah sakit pada sore hari dan kami pulang sekitar pukul 06.00 pagi ini. Bibimu melahirkan. Kakek memberitahumu kemarin sebelum berangkat, tetapi kau tidak menjawab, Kakek mengira kau sedang tidur dan akhirnya menuliskan pesan untukmu di pintu lemari es.”
Lucy mendapat serangan panik setelah mendengar penjelasan kakeknya, “Jadi, semalam bukanlah Kakek?” batin Lucy. Adiknya yang berada di sebelah Lucy, memperhatikan sikap kakaknya yang tiba-tiba berubah.
Lucy terdiam dan pandangannya tampak kosong. Raut wajahnya samar terlihat kebingunan dan syok.
“Ada apa, Kak? Apakah kakak ingin ikut bersama kami kemarin?” tanya adiknya seraya memegang tangan Lucy. Kakeknya turut menaruh korannya dan memandangi Lucy dengan pertanyaan yang sama.
“Umm, tidak bukan begitu,” jawabnya dan kembali tersenyum tipis kepada kakek dan adiknya. “Bagimana dengan Bik Nah? Apakah dia juga pergi?” Pria paruh baya itu hanya mengangguk dan kembali membaca korannya.
Nenek dan Bik Nah telah selesai menyiapkan makanan dan tengah menaruhnya di meja. Lucy sarapan dengan baik dan tidak memikirkannya untuk saat ini. Kakek, nenek, Bik Nah, dan adiknya asik mengobrol, sesekali mereka menggoda adik Lucy. Tetapi, tidak dengan Lucy ia hanya makan dengan ketenangan pikirannya dan mengabaikan semua orang di sana.
Ia selesai terlebih dahulu, langsung saja Lucy berpamitan dan kembali ke kamarnya. Ia berjalan dengan santai, menikmati setiap langkah yang ia lewati, membantu sistem pencernaannya menurunkan sarapannya.
Kamarnya berada tepat setelah tangga, sehingga ia tak perlu berjalan lebih jauh lagi. Tangannya menggenggam gagang pintu kamarnya. Matanya masih mengamati gagang pintu yang ia genggam. Entah apa yang ia lihat.
Termenung beberapa saat seraya menggenggamnya. “Apakah aku benar-benar sendirian semalam?”
Ia memutar gagang pintu, masuk ke dalam kamarnya, dan menutupnya dengan sedikit dorongan. Langsung menuju kamar mandi dan tentunya kali ini ia akan mandi. Dengan harapan pikirannya saat ini ikut mengalir jatuh ke bawah bersama dengan air.
Ataukah semalam juga mimpi?
Setelah dua puluh menit, gadis itu kini berada di depan pintu kamar mandinya dengan handuk di tubuhnya. Memandangi sekeliling kamar, sambil berjalan menuju lemari pakaian, mengambil pakaian dan berganti pakaian.
Ia memilih menggunakan sweater berwarna merah tua, polos dan menggenakan celana pendek. Berjalan menuju komputernya, di sana terdapat memo yang ia tuliskan semalam, Lucy memindahkannya ke sudut layar.
Tangannya menggerakkan mouse dengan lihai dan mengecek kembali email-nya. Teringat bahwa Rino mengajaknya bertemu malam ini. Bukankah malam ini adalah Satnight?
Gadis itu menyetel alarm di handphone-nya pada pukul 4.15 sore. Ia ingin mengisi kembali tenaganya yang belum terisi penuh, meskipun ini belum waktunya untuk siesta. Menyalakan pendingin ruangan, menutup gorden jendela kamarnya, dan selanjutnya gadis itu menuju tempat tidurnya. Ukurannya hanya cukup untuk tidur Lucy, dengan sprei berwarna kuning-putih-oranye, dengan sedikit motif rubah dari karakter Rillakuma. Kini ia telah berada di atas kasur, tubuhnya menghadap ke kanan dan memeluk guling dengan karakter Rilakkuma miliknya. Dalam hitungan detik, Lucy telah tertidur lelap. Pendinginnya menyala di dalam ruangan kamar yang sedikit redup. Tampak sedikit pengap. Remaja berusia 15 tahun itu bahkan bisa tertidur tanpa merasa terganggu dengan ruangan yang tampak suram. Ia tak terlalu menyukai cahaya matahari yang bersinar terang, itu membuat matanya sakit, Lucy mengalami Fotophobia. Fotophobia merupakan kondisi mata yang
Para juri dan para hadirin yang lainnya mulai memasuki ruangan sidang yang menangani kasus pembunuhan Ibu Lucy. Gadis itu berada di kursi barisan paling depan, tertunduk, ia tampak gelisah dan juga menanti-nanti , sepertinya ia telah datang lebih awal. Lucy memeriksa jam tangannya, di sana tertulis 8.30 pagi, sidang baru akan dimulai 30 menit lagi. Baru beberapa orang saja yang sudah berada di dalam ruangan dan mengisi tempat duduknya. Ruangan itu masih tampak sangat senggang. Bahkan Hakim Ketua belum berada di ruangan, sang pelaku yang masih misterius juga belum berada di kursinya. Lucy sangat menunggu hari ini, sehingga ia datang lebih. Setelah Rino mengatakannya pada kemarin lusa, ia memikirkan hal ini dari pagi hingga malam, sampai hari ini tiba. Ia sangat ingin pelakunya dihukum setimpal, ia bahkan berpikir bahwa ‘nyawa dibayar nyawa’. Lucy sangat mencintai dan menyayangi ibunya. Ia tak terima jika ibunya meninggal dengan tidak wajar, dan sangat
“Sudah kubilang, kau tak ingin mengetahui pelakunya.” Rino menghampiri Lucy. Ia berbisik. “Berhentilah. Ayo keluar!” Lucy memalingkan wajahnya ke Rino, “Jahat.” Perasaannya hancur, tepat ketika pandangan orang yang duduk di seberang sana beradu dengan matanya. Matanya telah berkaca-kaca, mengecewakan sekali baginya untuk menerima kenyataan ini. Orang yang sepertinya sangat ia percaya melakukan hal ini pada keluarganya. Ingatan masa lalu bersama orang di sana kembali melintas, betapa baiknya orang itu. Rino tak tega melihatnya begitu, juga berbalut rasa bersalah. Tangan Lucy digenggamnya, menariknya keluar dari ruang sidang ini. Semua orang memperhatikan, dan mulai berbisik. Melihat dua orang remaja terus bergunjing. Tentu saja mereka semua akan mengira ini adalah masalah asmara. Tenaga gadis itu seperti sudah terkuras oleh rasa kekecewaannya. Ia tak bisa memberontak bahkan ketika Rino menariknya demikian. Semangatnya sudah hilang untuk mengikuti persi
“Mereka pergi bersama lagi,” ujarnya seraya meletakkan telepon genggam di meja di sampingnya. Diletakkan berdampingan dengan beberapa kue kering buatan pabrik. Kembali membaca koran yang berada di pangkuannya. Nenek datang bersamaan dengan dua teh hijau dalam cangkir bening di atas nampan yang di pegangnya. Membawanya dengan penuh perasaan yang baik untuk suaminya di sana. Bik Nah tengah pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko swalayan terdekat bersama dengan Reika, adik Lucy, sehingga nenek harus menyiapkannya sendiri. Ia suka sekali membuntuti Bik Nah dan tidak akan melepaskannya. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu akan terus mengikuti Bik Nah kesayangannya. Pulang dari sekolah, ia selalu menanyakan keberadaan Bik Nah jika bukan dijemput olehnya. Kakek sampai heran dengan cucunya. “Tak apa, aku percaya dengan mereka,” Nenek berkata seraya duduk di samping suaminya. Mereka tengah menikmati senja di halaman belakang, kembali mengenang masa mud
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan
Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.
Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga
“Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m