Share

Bagian Satu

Author: Xuiqa Vei
last update Last Updated: 2021-08-17 02:59:17

Gadis itu membenturkan kepalanya beberapa kali ke meja belajar, dibenturan terakhir ia tak bergerak dan tetap dalam posisi membungkuk. Tangan yang tergantung, rambut hitamnya yang bergelombang terurai jatuh ke bawah. Wajahnya melekat tepat pada meja.

Lucy menangis ditemani oleh kesunyian malam. Tanpa bergeming sedikit pun, air matanya jatuh perlahan di atas meja.

Suara tangisannya seperti diambil oleh angin, menghilang, terbang melayang, pergi meninggalkan Lucy seorang diri hanya dengan berteman kesunyian malam ini.

Beberapa tetesan air matanya telah  menggenang di bawah mata yang tertutup itu. Akankah dia terluka karena benturan di mejanya, atau menangisi kepergian ibunya?

Rintihan mulai terdengar pelan, perlahan keluar dari mulutnya. Angin telah mengembalikan suaranya. Belum sepenuhnya kembali, tetapi lebih  baik dari sebelumnya.

Bahunya bergetar, naik turun mengikuti nada tangisannya. Tangan kanannya naik ke atas meja, memukul-mukul meja dengan lemah. Lucy menangis semakin kencang.

Ia terlihat sangat emosional. Lucy memperbaiki posisi duduknya, menahan kepalanya dengan satu tangan dan mencoba mengeluarkan semua air matanya.

Dia bangkit dari kursi, menyeka air mata di pipinya, mengambil tisu dan menghilangkan genangan air mata di mejanya. Menghabiskan lima helai tisu untuk itu, ia menggulung semuanya, dan melemparnya ke sudut kamar.

“Tak mengapa, berhentilah menangis.” Ya, begitulah cara Lucy menenangkan dirinya sendiri. Bagi beberapa orang, berbicara sendiri merupakan jalan keluar ketika tak ada seorang pun yang bisa diajak berbicara.

Suaranya terdengar parau, isakannya perlahan bisa ia kontrol agar air matanya berhenti mengalir. Lucy tersenyum menyeringai, “Sebentar lagi kau akan bertemu dengannya.” Dia tersenyum dengan mata yang sembab, pipinya masih basah.

Lucy kembali duduk di kursinya, mengamati sekeliling meja di depannya saat ini. Mencari bolpoint dan menuliskan self-reminder di notepad-nya.

Aku akan segera menemukanmu dan akan tahu apa yang telah terjadi.

Lucy Velyyan, 13 Maret 2017

Ia selalu menambahkan titimangsa di bagian bawah notepad-nya, untuk berjaga-jaga ketika Lucy memeriksa kembali semua yang ia tuliskan, ia akan ingat apa yang terjadi saat itu dan kenapa ia menulisnya.

Meletakkan penanya, dan menempelkan memo di layar monitor berpenutup hitam dengan beberapa stiker, di meja belajarnya. Lucy selalu menggunakan komputernya, sehingga ia tak akan melewatkan apa pun jika menaruhnya di sana. 

Lucy mengambil napas panjang bersamaan dengan melihat keluar jendelanya yang masih terbuka di tengah malam yang penuh bintang. Mencoba menghirup udara yang masih segar dari sana.

Mejanya berada dua puluh sentimeter dari arah samping kanan jendela. Memudahkannya untuk melihat bebas keluar jendela, ke langit malam yang indah dan berbagai hiasan terpajang di sana. Lucy menyukai astronomi dan hal-hal berbau luar angkasa lainnya, ia bahkan sampai membeli teleskop untuk memandangi langit dengan jelas.

Angin malam yang berhembus, menyegarkan dan membuatnya merasa tenang. Lonceng angin yang berbunyi di sana, ikut menambah ketenangan hatinya malam itu. Membantunya melupakan kesedihan yang ia rasakan saat ini.

Ia menutup mata sembabnya, senyuman tipis terlukis di pipinya. Ia tampak sangat tenang, dan menikmati hidunya untuk sesaat.

Melirik jam digitalnya yang sudah menunjukkan pukul 10.14 malam, ia memutuskan untuk menutup jendela kamarnya. Tentu ia tak mau hal yang mengerikan datang.

Baru setengah langkah ia melangkah menuju jendela, ketukan pintu terdengar. “Apakah kau sudah tidur, Sayang?” Sebuah pertanyaan melesat dari sela-sela fentilasi di atas pintu kamar, “Jika belum, segeralah tidur tak baik jika remaja sepertimu tidur larut.”

Apa pedulinya terhadap diriku? batinnya setelah mendengar suara kakeknya. Tak ada jawaban untuk pertanyaan kakeknya, sejujurnya Lucy tak begitu menyukai kakeknya.

Itu tak bisa dipungkiri lagi, kakeknya bisa dibilang “Bermuka Dua”. Tetapi, hanya Lucy yang menganggapnya seperti itu. Karena tak ada yang menyadari perbuatan kakeknya, ia sangat pandai bermain peran dan memanipulasi orang di sekitarnya.

Lucy pun kembali pada apa yang akan ia ingin lakukan sebelumnya, menutup jendela kamarnya dan pergi tidur. Malam ini terasa berat baginya, sangat memalukan jika ada yang tahu ia menangis.

Pandangannya tertuju pada bagian bawah bingkai jendela. Kedua tangan Lucy menggenggam ke bingkai jendela itu, ia mendongakkan wajahnya ke atas menghadap langit malam.

Menyempatkan sedikit waktu sebelum ia bermimpi, untuk mengagumi apa yang Tuhan ciptakan untuk langit malam yang gelap. Begitu indah, langit malam yang penuh kelap-kelip.

Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar sangat dekat di telinganya. Lucy mengamati sekitarnya, mulai dari kanan hingga kiri ke setiap objek yang ada di sana. Ia tak ingin melewatkan apapun di sana.

Matanya menangkap seseorang di balik semak bunga di bawah sana, tetapi ia tidak bersembunyi, ia tampak sengaja menampakkan diri. Seseorang itu sedang menatapnya dari bawah sana.

Untuk sesaat Lucy merasa panik tentang ke beradaannya di sana. Berbalut jubah hitam. Lampu jalan di area perumahan kakeknya tidak menyala, sehingga orang di bawah sana terlihat samar. Namun, keberadaannya jelas ada di bawah sana. Lucy yakin itu adalah seseorang!

Karena kamar Lucy berada di lantai dua rumah itu, jarak di antara mereka hanyalah beberapa meter saja. Cukup dekat, dan cukup menakutkan.

Lucy melihatnya, mencoba menganalisa seseorang di bawah sana. Tiba-tiba, ia menyeringai, Lucy terkejut dan membulatkan matanya. Bulu kuduknya berdiri. Tetapi, Lucy mengabaikan sinyal dari tubuhnya. Lucy mencoba melihat lebih jelas dengan menggosok matanya.

Mungkin karena cahaya bulan malam itu, seringai seseorang di sana menampakkan giginya dengan beberapa noda merah di bibirnya, seperti bekas yang sudah mengering dengan jelas.

Lucy memajukan tubuhnya agar dapat melihatnya dengan jelas. Mereka beradu tatapan untuk beberapa saat waktu. Tak ada suara yang keluar di antara mereka.

Lucy khawatir orang berbuat jahat kepadanya. Dengan segera, jendela kamarnya ia tutup, dan berjalan mundur menjauhi jendela. Bagaimana  jika orang di bawah sana benar-benar orang jahat?

“Tunggu... Siapa yang akan menguntitku? Apakah aku dalam bahaya?” Ia berusaha melupakan apa yang terjadi baru saja. “Ataukah itu tadi hanya imajinasiku?”

Lucy langsung saja menghampiri kasurnya yang empuk, ia tak perlu berganti pakaian, ia sudah melakukannya setelah mandi pada sore tadi.

Ketika Lucy tak ada hal yang ia ingin lakukan di malam hari, ia langsung berganti piyama tidur setelah mandi. Akan menyusahkan juga jika terlalu banyak pakaian kotor yang tertumpuk di keranjang.

Kamarnya tampak masih terang benderang, ia teringat untuk mematikan lampu kamar. Dengan berat hati, Lucy berjalan menuju tombol on-off lampu kamarnya. Ia berjalan dengan santai setelah apa yang terjadi tadi.

Lucy bukan seorang gadis yang begitu penakut, meskipun hari ini Jum’at tanggal 13. Di mana ‘mitos’ mengatakan hal buruk bisa terjadi atau hal baik yang akan terjadi.

Ia melewati jendela kamarnya, gordennya menyibak di  pinggir bingkai jendela, kainnya tembus pandang berwarna abu-abu, dengan bagian tengah atasnya terdapat lonceng angin berlapis kuningan. Kini lonceng itu tak berbunyi, tentu saja jendelanya sudah di tutup rapat. Tetapi, tidak terlalu rapat untuk menyelipkan bayangan.

Lucy melewati meja belajarnya, komputernya yang berada di sana, tiba-tiba saja menyala dan muncul notifikasi email masuk. Ia memutuskan untuk memutar arah dan membuka email-nya terlebih dahulu.

Gadis itu duduk dengan berat hati, karena ia hanya ingin tidur tetapi tertunda. “Aku mohon aku sudah lelah, biarkan aku berhenti dan melanjutkan lelahku esok.” Tuhan sepertinya tak mendengar keluhannya.

Lucy menaruh seluruh rambut panjangnya di sisi kanan bagian depan tubuhnya, lalu mengembungkan pipinya dengan  udara yang ia hirup. Bersamaan dengan ia meletakkan tangannya di atas keyboard.

“Aku bisa saja menundanya. Kenapa aku membukanya sekarang?” Ia akhirnya membuka email-nya, di sana tertulis pengirimnya adalah Rino. Pria yang tiga tahun lebih tua dari Lucy, ya, pria yang menemani Lucy di pemakaman ibunya hari itu.

Darah yang tergantikan,

Tubuh akan mengikuti.

Taring yang patah,

Tubuh yang menghilang.

Dua unsur menjadi satu.

Temui aku besok malam.

Seperti biasanya.

Tidak biasanya Rino menambahkan kalimat pembuka seperti itu. Apakah itu puisi? Jika benar, maka itu adalah puisi yang sangat buruk dari yang terakhir kali pernah Lucy lihat.

Itu pada saat duduk di bangku Sekolah Dasar, seorang gadis di kelas tampak sedang membacakan sebuah puisi bertemakan Ayam di secarik kertas. Gadis itu bernama Lucy.

Siapa yang akan menjadikan ayam sebagai tema selain Lucy di sana, tentu semua teman sekelasnya menertawainya. Ia tersenyum memikirkan hari itu, memalukan tetapi penuh kenangan ..., yang memalukan tentunya.

Setelah bernostalgia singkat, Lucy mematikan komputernya dan beranjak pergi dari kursi  menuju sakelar. Rasa malu akan terus membayanginya jika terus duduk di sana.

Tentu untuk mematikan lampu kamarnya dan pergi tidur. Lucy sudah sangat kelelahan dan tenaganya sudah tidak tersisa banyak. Dia perlu mengisi ulang tenaganya, dengan tidur.

Baru saja akan menekan tombolnya, Lucy tiba-tiba mendengar suara dari balik pintu kamarnya. Ia menelan air liur, bulu kuduknya kembali memberikan sinyal dan Lucy lagi-lagi mengabaikannya. Rasa ingin tahunya muncul, ia penasaran suara apakah itu.

Lucy belum menoleh ke arah pintunya, tetapi jelas bahwa suara itu berasal dari sana. Ia melirik pintu itu, matanya berkedip beberapa kali dan kemudian memutar arah pandangannya.

Perlahan ia berjalan mengendap mendekati pintu yang tidak jauh dari tombol lampu kamarnya, tanpa mengalihkan pandangan ia berjalan dengan mata yang tertuju ke pintu. Suara itu semakin terdengar, desisannya semakin jelas.

Seperti ada dua orang yang mendesis di sana. Lucy mengintip dari rongga bawah pintunya. Tak ada seseorang di balik pintu ini. Tiba-tiba suaranya menghilang.

Beberapa saat kemudian, suara itu kembali terdengar, tetapi kata yang diucapkan tidak bisa dimengerti. Apa yang terucap seperti bukan sebuah kata. Suara yang aneh.

Lonceng anginnya tiba-tiba berbunyi, sama seperti saat angin melewatinya. Lucy memalingkan wajah ke arah jendela kamar. Jendelanya sudah tertutup sehingga angin tak bisa menyelinap ke dalam kamarnya. Tetapi, mengapa itu bisa berbunyi seperti saat angin melewatinya?

Suara desisan itu menghilang lagi, Lucy kembali menatap ke bawah pintu. Tetapi, tetap tak ada apapun di sana.

Mungkin hanya perasaannya saja. Lucy langsung mematikan lampu kamarnya dan pergi tidur, “Semoga tak ada hal yang kulupakan,” berharap Tuhan mendengarkan keluhnya.

Bulu kuduknya kembali memberikan sinyal ketika ia melewati jendela kamarnya. Ia menggenggam telapak tangannya, keringat dingin telah membasahi telapak tangannya.

“Kenapa begini?” Lucy tak mengerti kenapa tangannya berkeringat. Tangannya secara tidak sadar menuju ke tempat jantungnya berada, itu juga berdegup kencang.

Ia melihat ke arah jendela, sesuatu mungkin akan muncul di sana. Cahaya rembulan terpancar menembus kamarnya yang gelap, bintang-bintang pun juga tampak jelas. Pancaran cahaya itu mengenai kakinya.

Lucy masih berdiri membeku dilumuri keringat dingin di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdegup semakin kencang membuatnya merasa sesak.

Ada hal yang buruk setelah ini, sesuatu akan menampakkan diri di jendelanya. Entah membawa hal baik atau buruk, bahkan mungkin akan mengancam nyawanya. Sesaat merasa gelisah kembali, Lucy yakin akan hal itu.

Ia semakin sesak dengan suasana ini, Lucy terduduk di lantai dengan penuh keringat. Pandangannya mulai buram, tangannya terasa basah dan hangat seperti ada sesuatu keluar dan mengalir di sana.

Lucy melepas genggamannya, melihat tangannya ternyata telah dilapisi oleh cairan merah. Menggelengkan kepalanya, tak percaya apa yang ia lihat. Napasnya mulai tak teratur.

Cairan merah semakin mengalir deras di tangannya, mulai membasahi gaun putih yang ternyata sedang ia pakai.

Matanya terpana dengan cairan itu, ia menyatukan kedua telapak tangannya dan berdoa kepada Tuhan. Berharap Tuhan masih memberinya kesempatan. Wajahnya perlahan mulai memucat.

Lucy tak bisa fokus pada do’anya dan memohon bantuan, kepanikkan menyerangnya setelah menyadari piyamanya telah menghilang dan bertukar menjadi gaun putih.

Jantungnya semakin berdegup kencang tak terkontrol, dadanya semakin sesak. Ia memegang dadanya dengan tangannya yang dipenuhi cairan merah.Tertunduk dan menangis lagi, ia ingin berteriak tetapi dadanya terlalu sesak dan sakit. Gadis itu menutup rapat matanya, rambutnya tak tertata dan sedikit terbasahi cairan merah itu.

Rasa sakit ini tak tertahankan.”Apakah aku akan berakhir seperti ini?” tuturnya di dalam hati.

Ia membuka matanya untuk memeriksa keadaannnya. Lagi-lagi kembali terpana dengan apa yang dillihatnya.

Lonceng angin itu tak berbunyi lagi, cairan merah itu juga menghilang dan tak ada yang membekas, piyamanya juga telah kembali. Seperti tak ada yang terjadi.

Lucy masih tak percaya apa yang ia lihat, dari mana semua itu datang dan pergi. Ia membolak-balikkan tangannya yang penuh cairan merah tadi dengan perasaan yang masih tak percaya.

Ia menoleh ke atas, “Ini hanya ilusiku atau kejadian lainnya?” Lucy bangkit, menuju kasur dan akan pergi tidur. Ia tak ingin memikirkan ini, itu akan membuatnya gila.

Ia melangkah kecil menuju kasurnya. Pikirannya kosong, tetapi wajahnya menjadi lebih pucat dari sebelumnya, seperti tak ada aliran darah. Tenang, dia masih di sana.

Sebuah tangan mendarat di bahu kirinya, ia terhenti. Melirik tangan itu, sangat putih hingga garis biru halus terlihat di sana, kukunya juga berwarna seperti kulitnya dan di kelilingi oleh asap hitam, entah apa itu.

Lucy terdiam untuk beberapa saat.

“Kau sangat berani. Kita akan bertemu lagi, persiapkan dirimu. Saat hari yang telah ditentukan tiba, itu lebih dari ini.”

Setelah kata terakhir terucap, angin berhembus di belakangnya. Tangan itu kemudian menghilang bersama angin.

Related chapters

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Dua

    “Bagaimana jika dia sadar? Kita tak akan bisa mengambil alih tubuhnya.” Seorang wanita yang tak dikenal, berdiri di samping Lucy bersama pria ber-jas hitam yang membelakangi Lucy. Mereka membicarakan Lucy di sampingnya secara langsung. Saat ini, Lucy berbaring di kasur putih dalam ruangan bernuansa hitam dengan ornamen putih di setiap sudutnya, dan lantainya bermarmer putih. Tidak se-elegan seperti yang dipikirkan, itu berdebu dan penuh dengan noda. Ruangan itu tampak telah lama terbengkalai. Cat hitam di tembok sudah sedikit mengelupas dari tembok yang dingin. Di satu sudut, jaring laba-laba lengkap dengan laba-laba dan serangga yang terperangkap di sana. “Kita akan menghapusnya dari dunia, hingga tak ada siapapun yang mengingat dirinya beserta orang tuanya,” ujar pria itu dengan suara pelan, tetapi tetap terdengar tegas. Terkadang ia terbatuk karena cerutu di mulutnya. Mendengar apa yang dikatakan pria ber-jas, mungkin akan lebih baik jika Lucy teta

    Last Updated : 2021-08-19
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tiga

    Gadis itu menyetel alarm di handphone-nya pada pukul 4.15 sore. Ia ingin mengisi kembali tenaganya yang belum terisi penuh, meskipun ini belum waktunya untuk siesta. Menyalakan pendingin ruangan, menutup gorden jendela kamarnya, dan selanjutnya gadis itu menuju tempat tidurnya. Ukurannya hanya cukup untuk tidur Lucy, dengan sprei berwarna kuning-putih-oranye, dengan sedikit motif rubah dari karakter Rillakuma. Kini ia telah berada di atas kasur, tubuhnya menghadap ke kanan dan memeluk guling dengan karakter Rilakkuma miliknya. Dalam hitungan detik, Lucy telah tertidur lelap. Pendinginnya menyala di dalam ruangan kamar yang sedikit redup. Tampak sedikit pengap. Remaja berusia 15 tahun itu bahkan bisa tertidur tanpa merasa terganggu dengan ruangan yang tampak suram. Ia tak terlalu menyukai cahaya matahari yang bersinar terang, itu membuat matanya sakit, Lucy mengalami Fotophobia. Fotophobia merupakan kondisi mata yang

    Last Updated : 2021-08-19
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Empat

    Para juri dan para hadirin yang lainnya mulai memasuki ruangan sidang yang menangani kasus pembunuhan Ibu Lucy. Gadis itu berada di kursi barisan paling depan, tertunduk, ia tampak gelisah dan juga menanti-nanti , sepertinya ia telah datang lebih awal. Lucy memeriksa jam tangannya, di sana tertulis 8.30 pagi, sidang baru akan dimulai 30 menit lagi. Baru beberapa orang saja yang sudah berada di dalam ruangan dan mengisi tempat duduknya. Ruangan itu masih tampak sangat senggang. Bahkan Hakim Ketua belum berada di ruangan, sang pelaku yang masih misterius juga belum berada di kursinya. Lucy sangat menunggu hari ini, sehingga ia datang lebih. Setelah Rino mengatakannya pada kemarin lusa, ia memikirkan hal ini dari pagi hingga malam, sampai hari ini tiba. Ia sangat ingin pelakunya dihukum setimpal, ia bahkan berpikir bahwa ‘nyawa dibayar nyawa’. Lucy sangat mencintai dan menyayangi ibunya. Ia tak terima jika ibunya meninggal dengan tidak wajar, dan sangat

    Last Updated : 2021-08-31
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Lima

    “Sudah kubilang, kau tak ingin mengetahui pelakunya.” Rino menghampiri Lucy. Ia berbisik. “Berhentilah. Ayo keluar!” Lucy memalingkan wajahnya ke Rino, “Jahat.” Perasaannya hancur, tepat ketika pandangan orang yang duduk di seberang sana beradu dengan matanya. Matanya telah berkaca-kaca, mengecewakan sekali baginya untuk menerima kenyataan ini. Orang yang sepertinya sangat ia percaya melakukan hal ini pada keluarganya. Ingatan masa lalu bersama orang di sana kembali melintas, betapa baiknya orang itu. Rino tak tega melihatnya begitu, juga berbalut rasa bersalah. Tangan Lucy digenggamnya, menariknya keluar dari ruang sidang ini. Semua orang memperhatikan, dan mulai berbisik. Melihat dua orang remaja terus bergunjing. Tentu saja mereka semua akan mengira ini adalah masalah asmara. Tenaga gadis itu seperti sudah terkuras oleh rasa kekecewaannya. Ia tak bisa memberontak bahkan ketika Rino menariknya demikian. Semangatnya sudah hilang untuk mengikuti persi

    Last Updated : 2021-09-23
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Enam

    “Mereka pergi bersama lagi,” ujarnya seraya meletakkan telepon genggam di meja di sampingnya. Diletakkan berdampingan dengan beberapa kue kering buatan pabrik. Kembali membaca koran yang berada di pangkuannya. Nenek datang bersamaan dengan dua teh hijau dalam cangkir bening di atas nampan yang di pegangnya. Membawanya dengan penuh perasaan yang baik untuk suaminya di sana. Bik Nah tengah pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko swalayan terdekat bersama dengan Reika, adik Lucy, sehingga nenek harus menyiapkannya sendiri. Ia suka sekali membuntuti Bik Nah dan tidak akan melepaskannya. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu akan terus mengikuti Bik Nah kesayangannya. Pulang dari sekolah, ia selalu menanyakan keberadaan Bik Nah jika bukan dijemput olehnya. Kakek sampai heran dengan cucunya. “Tak apa, aku percaya dengan mereka,” Nenek berkata seraya duduk di samping suaminya. Mereka tengah menikmati senja di halaman belakang, kembali mengenang masa mud

    Last Updated : 2021-11-22
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tujuh

    “Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m

    Last Updated : 2021-11-25
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Delapan

    “Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia

    Last Updated : 2021-11-26
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sembilan

    Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?

    Last Updated : 2021-11-28

Latest chapter

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Lima Belas

    Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Empat Belas

    Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tiga Belas

    Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Dua Belas

    “Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sebelas

    “Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sepuluh

    Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sembilan

    Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Delapan

    “Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tujuh

    “Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m

DMCA.com Protection Status