“Mereka pergi bersama lagi,” ujarnya seraya meletakkan telepon genggam di meja di sampingnya. Diletakkan berdampingan dengan beberapa kue kering buatan pabrik. Kembali membaca koran yang berada di pangkuannya.
Nenek datang bersamaan dengan dua teh hijau dalam cangkir bening di atas nampan yang di pegangnya. Membawanya dengan penuh perasaan yang baik untuk suaminya di sana.
Bik Nah tengah pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko swalayan terdekat bersama dengan Reika, adik Lucy, sehingga nenek harus menyiapkannya sendiri. Ia suka sekali membuntuti Bik Nah dan tidak akan melepaskannya.
Gadis kecil berusia tujuh tahun itu akan terus mengikuti Bik Nah kesayangannya. Pulang dari sekolah, ia selalu menanyakan keberadaan Bik Nah jika bukan dijemput olehnya. Kakek sampai heran dengan cucunya.
“Tak apa, aku percaya dengan mereka,” Nenek berkata seraya duduk di samping suaminya. Mereka tengah menikmati senja di halaman belakang, kembali mengenang masa muda.
Pukul 5.07 sore merupakan masa di mana sang surya tengah mempersiapkan diri untuk pergi menolong makhluk lainnya di bagian lain bumi untuk menghasilkan makanan. Sinar oranye-nya juga sangat hangat. Bahkan disaat terakhir sebelum ia berpindah, ia masih memberikan kehangatan agar insan yang ditinggalkan akan mengingat dan menunggunya kembali esok hari.
“Aku harap juga begitu,” dengusnya dengan sedikit menyibakkan korannya. Nenek tak memperdulikannya, ia tersenyum ke arah bunga Anyelir putih yang berada di dekat kolam ikan. Seorang diri tanpa kawan hanya sebagai penanda.
Ia tersenyum penuh rindu ke arah bunga itu. Cukup lama, di benaknya sembari mengenang mendiang ibu Lucy. Kasihan sekali.
“Apa aku perlu membeli bunga lainnya juga?” batinnya.
Di sini, bunga Anyelir putih adalah penanda bahwa sedang ada kedukaan bagi seseorang. Nenek membelinya sebagai penanda kepergian ibu Lucy hari itu. Ia memandangnya dengan syahdu.
Meskipun sudah dua minggu lebih, keluarga mereka masih tersisa sedikit pukulan dalam hati atas kepergiannya. Ditambah kepergiannya yang penuh dengan darah dan tanda tanya akan pelakunya.
“Ditunda sampai kapan sidangnya?” tanya nenek. “Polisi mengatakan bahwa ada sedikit ketidakpastian terhadap beberapa barang bukti dan saksi, sehingga belum ada waktu yang ditentukan kapan sidangnya akan bermulai.”
Kakek melipat korannya setelahnya, menaruhnya di tepi meja dan mengambil teh hijau miliknya. “Meskipun kita sering membicarakan ini, tetapi aku masih saja heran.”
Nenek menoleh, mengangkat kedua alisnya dan sedikit mengernyitkan mata. Kakek pun membalasnya dengan mimik wajah juga, memutar matanya ke telepon di atas meja dan menekuk bibirnya ke bawah.
Tanpa berlama-lama, nenek sudah langsung menangkapnya. Lucy dan Reika. Kakak beradik yang memiliki kepribadian bertolak belakang, sudah terlihat perbedaannya ketika Lucy seusia Reika dahulu.
Dulu ia sering bermain sendirian dengan mainannya dan tak terlalu menghiraukan teman mainnya. Jika Reika ia tak menyukai mainan dan lebih suka berinteraksi, bermain permainan fisik seperti petak umpet misalnya.
Bahkan ketika dalam kelas, Lucy sangat pendiam.
Salah satu orang tua dari kawan sekelas Lucy bahkan pernah menganggapnya ‘autis’. Ibu Lucy pun hanya melakukan apa yang dilakukan orang tua pada umumnya.
Bukan menjelaskannya dengan agresif dan tak terima jika anaknya dikatakan seperti itu. Ia memilih untuk menceritakan yang sebenarnya dengan ramah.
“Nenek! Kakek!”
Mereka berdua mendengar itu lalu menoleh ke sumber suara dari arah pintu, tampak Reika tengah berlari di ikuti Bik Nah yang berjalan perlahan karena barang yang dibawa. Ia tampak kewalahan mengikuti gadis kecil itu.
Gadis itu langsung memeluk neneknya dan tersenyum. “Bagaiman perjalananmu, Lei?” Reika sedikit cadel sehingga ia meminta untuk dipanggil Leika, bukan Reika.
“Sangat menyenangkan. Bibik memberitahuku bahwa lumba-lumba bisa tertawa, lalu Bibik menirunya. Itu terdengar lucu,” ujarnya dengan sedikit terbata dan penuh tawa. Ia meniru kembali apa yang Bik Nah ajarkan padanya.
Mereka tertawa bersamaan setelah mendengar itu. Sedangkan Bik Nah yang masih sibuk menata barang belanjaan di dapur yang tak jauh, sedikit merasa malu mendengar ucapan Reika tentangnya.
Di tengah suasana hangat itu, tiba-tiba Reika terdiam dan menunduk. Ia memanyunkan bibirnya. Kakek yang melihatnya pun bertanya apa yang terjadi.
“Aku kangen Ibu,” tuturnya murung dengan tangan yang terus melukis di atas pangkuan nenek. Kakek dan Nenek beradu pandang dengan raut wajah gelisah dan kebingungan. Kakek tampak sangat khawatir dan tak tahu harus bagaimana, gadis itu belum mengetahui kebenarannya.
Raut wajah Kakek tampak jelas di mata Nenek bahwa ia tengah bertanya, “Harus bagaimana?”
Ia memegang bahu Reika yang berada di depannya itu seraya menghela napas. Reika menoleh, masih tampak murung, lalu menoleh ke kakeknya “Kapan Ibu akan bangun, Kek? Ini sudah bertahun-tahun aku rasa. Aku mau ketemu dengan Ibu.”
Gadis kecil itu sepertinya sangat merindukan Ibunya, sehingga ia melebih-lebihkannya. Bukannkan rindu selalu terasa begitu panjang meskipun nyatanya baru sebentar?
Kakek tak bisa berkutip lagi. Perasaan bersalah dan penyesalan atas kebohongan itu mulai terasa pada dirinya. Sekarang ia tak tahu harus bagaimana melanjutkan kebohongan ini ataupun menghentikannya.
Kakek mulai menyesali kebohongan yang terjadi pada hari itu. Seharusnya ia mengatakan yang sebenarnya. Tapi mungkin saja Reika akan histeris.
Ia tak ingin cucu kesayangannya ini benci kepadanya. Rencananya bisa gagal jika demikian.
Tanpa disadari, Bik Nah rupanya tengah mendengar pembicaraan mereka dari balik dinding pembatas. Ia turut merasa sedih atas perasaan Reika. Ia juga sama tak tahunya harus bagaimana.
Ia teringat kembali saat di pemakaman, saat di mana Reika berlari menuju liang ibunya dengan penuh kepolosan, saat mendengar apa yang dikatakannya, dan saat melihat kebohongan ini dimulai.
Ia kembali berpikir, apa kiranya yang akan terjadi jika Reika diberitahukan yang sebenarnya?
“Ayo kita ketempat Ibu berada.” Bik Nah dan Nenek terkejut mendengar apa yang dikatakan Kakek. Reika tampak sedikit membaik, ia tersenyum kepada kakeknya.
“Kita bangunkan saja Ibu, Kek!” Matanya menjadi berbinar. Gadis kecil kira itu ide yang bagus agar ibu tidak berlama-lama di sana.
“Ayo, Kek!” Ia sangat bersemangat mengajak kakeknya. “Besok kita akan kesana bersama, ya?” Senyumnya memudar lagi mendengar itu dari kakeknya. “Kakek pembohong,” ujar gadis itu kesal dan menyembunyikan wajahnya ke dekapan nenek.
“Bukan begitu, Sayang. Kau lihat, bukan? Matahari sudah akan pergi, kita tidak bisa pergi tanpanya di atas langit.” Reika masih bersembunyi di sana, Nenek mengelus punggung dan kepalanya dengan sedih.
Di tengah kecemasan, Bik Nah mendapat telepon dari seseorang. Ia segera menjauh dan mengangkatnya dengan hati-hati. “Ada apa?” ujarnya kepada pemanggil di seberang nan jauh di sana.
“Ini sudah akan dimulai. Aku mulai khawatir.” Bik Nah bertambah gelisah mendengar itu. Ia terdiam untuk beberapa saat, mengabaikan orang di sana.
Teleponnya masih berada di dekat telinganya, ia termenung. Tak ada suara lagi dari sana tetapi masih tersambung. Ia mulai memikirkan hal mengerikan apalagi setelah ini. Ia sudah tak tahan lagi berada di sini, namun Bik Nah tak bisa pergi.
Orang di seberang sana juga tampak kebingungan dan gelisah. Ia juga termenung. “Kapan Lucy harus pulang?” tanyanya pada Bik Nah. Namun, wanita tua itu tak mendengarnya.
“Bik Nah!” panggilnya sekali lagi sedikit berteriak. Kini wanita itu tersadar, ia menanyainya kembali.”Entahlah. Lucy tengah tak diperlukan saat ini.”
Tiba-tiba saja Reika menangis saat itu. Ia merengek ingin bertemu ibunya. Nenek dan Kakek kebingunan karena ini sudah mulai gelap. Pemakaman telah tutup.
Telepon Bik Nah masih tersambung, ia juga mendengar rengekkan Reika.
Mereka semua memikirkan cara untuk menenangkan gadis kecil itu. Nenek masih tetap memeluknya dan berusaha meyakinkan bahwa mereka akan pergi esok hari. Tetapi ia masih tetap keras kepala ingin pergi saat ini juga.
“Bagaimana jika kita membeli es krim?” Reika masih menangis dan terus berkata “Aku mau Ibuku saja.” Membuat mereka semakin bingung.
Mengakui kebohongan ini adalah hal yang terbesit di benak Kakek, tetapi ia khawatir jika Reika akan membencinya. Sehingga ia terus mencoba membujuknya dengan hal lain yang disukai anak seusianya.
Sebanyak apapun bujukan dan tawaran yang dilontarkan kakek, Reika masih merengek menginginkan ibunya. Nenek juga tak terpikirkan cara apapun untuk menenangkan gadis itu. Ia terus mengelus gadis kecil itu dan menghapus air matanya.
Hari kini telah gelap, dan mereka masih berada di halaman belakang dengan rengekkan Reika. Ia terus merengek di atas usaha keras Kakek memikirkan cara menenangkannya.
“Ayo, untuk saat ini kita lakukan atau beli apa yang kau mau, bagaimana?” Ia terdiam sesaat dan menoleh ke arah kakeknya. Lalu menangis kembali. “Apa yang harus kulakukan saat ini?” Ia bertanya kepada Tuhan tanpa harapan.
Ia sangat menyayangi Reika, dan tak tahu harus bagaimana lagi.
Bik Nah masih terdiam di sana, duduk tanpa pergerakan lagi. Teleponnya telah berakhir. Ia ikut kebingungan meskipun ini bukan masalahnya, ia merasa sudah cukup menyayangi Reika juga.
Ia bersama keluarga itu sudah sejak Lucy berumur empat tahun hingga saat ini. Ia juga yang merawat masa kecil Reika dengan baik. Tak heran jika ikatan batin juga terdapat pada Bik Nah dan Reika.
“Aku mau Ibuku.”
“Mengapa Ibu tidur lama sekali?”
“Mengapa Ibu tak bangun-bangun dan datang menjemputku? Atau mungkin Ibu sudah berada di rumah?”
“Aku mau pulang bersama Ibu.”
Itu yang terus terucap di bibirnya selama rengekkan dan tangisan ini. Nenek dan kakek tak tega melihat gadis kecil mereka seperti itu. Tetapi mereka juga tak tega mengatakan yang sebenarnya terjadi.
“Nak. Ayo kita ke biang lala saja, ya?” Permainan yang sangat disukai Reika. Gadis kecil itu tak pernah menolak tawaran itu sebelumnya.
Reika merasa bisa meraih awan dengan itu ketika berada di titik teratas. Bahkan ia tak merasa ketakutan untuk menaikinya sendiri. Saat ia kabur dari Ibu dan Ayahnya pada saat ke pasar malam dan menaiki biang lala itu.
Ibu Lucy bahkan hampir pingsan melihat Reika tergantung di sana sendirian melambaikan tangan padanya.
“Kakek. Antar aku ke Ayah agar Ayah bisa mengantarku ke Ibu.”
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
“Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu
Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga
Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.
Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan
Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.
Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga
“Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m