“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja.
Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral.
Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen.
Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan.
Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir membuatnya berakhir di kantor polisi.
Hari jum’at pukul 6.40 sore di taman yang sama pada tahun pertama, Lucy berteriak minta tolong mengatakan bahwa orang yang berkata ‘hai’ itu adalah orang jahat yang berusaha menculiknya. Rino yang panik itupun kabur dan tak mengganggu Lucy untuk satu minggu kemudian.
Ia bahkan sempat menjadi buronan oleh polisi setempat atas laporan Lucy. Untung saja Rino berhasil meyakinkan Lucy sebelum ia mendapat kawalan polisi untuk masuk ke dalam kantor polisi.
Ia tertawa kecil mengingatnya. Meskipun gadis yang termenung itu mendengarnya, ia tetap tak mempedulikannnya.
Rino menggigit bibirnya dan mengernyitkan dahi, mulai berpikir kembali cara mengisi kembali kekosongan raga yang masih setengah penuh itu. Dan sepertinya harus menggunakan strategi yang tepat untuk ini.
Sementara Lucy masih asik melihat keluar jendela, menekuk kedua kakinya, menyangga wajahnya dengan satu tangan. Untungnya dia masih sadar akan kewajibannya untuk mandi.
Masalah pakaian ganti mereka berdua sudah terpecahkan. Karena lelaki itu tak tahu apa yang ingin Lucy pakai, ia meminta Bik Nah untuk mengirimkan beberapa pakaian ke alamat mereka. Dan Rino sendiri membeli beberapa pakaian di toko terdekat. Setelah mengecek Maps, rupanya ada toko pakaian yang baru dibuka di sana. Ia tak ingin meninggalkan Lucy terlalu jauh dan lama.
Rino mengangkat tubuhnya, ia akan meninggalkan Lucy dan mencari strategi yang jitu untuk memaksa Lucy makan. “Kau ingin aku membawa semua ini pergi atau kutinggalkan di sini saja?” ujarnya dengan posisi kepala dimiringkan. Tak ada jawaban, ia memalingkan tubuhnya.
“Oooke,” imbuhnya.
Tiba-tiba ia terdiam. Rino tak bisa melangkah pergi dari sana, jantungnya berdegup dua kali speed. Rasanya tak ada masalah pada kakinya, sumber masalahnya berada di tangannya.
Lucy menahannya. Ia membawa tubuhnya mendekat ke posisi pria itu. Menggenggam tangannya dengan maksud, “Don’t leave me”. Perlahan Rino memutar tubuhnya dengan tangan Lucy di tangannya. Tarikan napas panjang ia ambil, menguatkan hatinya.
“Aduh. Mengapa begini?”
Dilihatnya Lucy, rambutnya terurai panjang menutupi sebagian sweater yang ia pakai, kedua kakinya sudah menyentuh lantai. Ia memiliki banyak stok sweater di rumah, ‘sweater everywhere’ slogan yang ada di buku hariannya satu tahun yang lalu saat mulai menginjak jenjang Sekolah Menengah Atas.
Ia masih menggenggam tangan Rino, tatapannya tak mengibaratkan apapun.
Tak sesuai ekspestasi Rino. Sebenarnya, ia membayangkan bahwa Lucy mungkin tersenyum atau menekuk bibirnya ke bawah dengan tatapan memelas. Ia hanya menatap Rino normal pada umumnya, biasa aja.
Tapi tak apa pikirnya, apa yang ia harapkan dari Lucy?
Kini tatapan mereka saling bertemu dengan kedua tangan yang masih tersambung. Rino mengangkat kedua alisnya. Lucy masih tak mengeluarkan suara sedikitpun.
Ia menarik tangan Rino dengan tenaga untuk mendudukannya di kursi di belakang Rino.
Oh, ia menggunakan tenaganya terlalu banyak. Rino malah tertarik ke hadapannya, lebih dekat. Nasib baik Rino segera menumpukan tangannya ke tepi ranjang dan kepekaan tubuh Lucy untuk memundurkan dirinya. Sehingga tak terjadi tabrakan di antara mereka. Mereka berdua tampak terkejut dengan mata yang membulat. Terlebih lagi Rino.
Lucy lansung mendorong kedua bahu Rino untuk duduk di kursi itu. Ia ingin mulai mengobrol dengan Rino. “Maaf,” kata pertama yang keluar dari mulut Lucy setelah tiga hari itu.
Rino masih merasa sedikit terkejut dan canggung. Ia melipat kedua bibirnya masuk ke dalam dan mengangguk. Lalu tersenyum ala iklan di TV. Ia bahkan melupakan fakta bahwa Lucy sudah mulai berbicara karena perasaan canggung yang terasa.
Lucy hanya terus memperhatikan Rino yang melihat ke segala arah, kecuali Lucy.
“Ada apa kau menyuruhku tetap di sini?” ujarnya yang masih terus melihat ke arah lain.
“Aku tak menyuruhmu tetap di sini,”
“Benarkah? Aku rasa ada seseorang yang menahan tanganku tadi. Itu memiliki arti....”
“Hm. Aku hanya ingin kau menemaniku, jika kau mau. Aku teringat sesuatu yang membuatku takut,” Lucy berkata seraya menjatuhkan pandangannya ke lantai, suaranya bergetar. Rino mulai berani melihat ke arah Lucy mendengar suaranya seperti itu.
“Apa itu?”
“Aku hanya teringat saat pertama kali menemukan Ibuku,” ia berkata dengan parau. Terlihat mulai gelisah kembali.
Di benaknya, semua darah yang berceceran itu masih tercetak jelas dalam memorinya. Ibunya tergeletak di bawah meja dapur, tempat di mana ia berada sebelumnya. Ia tergeletak dengan rapi, penampilannya tak kacau seolah ia telah melakukan perlawanan.
Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri sejak saat itu. Mengapa aku tidak di sana? Mengapa Ibu tidak memberikan sinyal? Apakah ia benar-benar sukarela untuk mati atau tidak mengetahuinya saja?
Air mata mengalir di pipinya. Wajahnya masih terlihat monoton. Tertunduk memeluk tubuhnya sendiri dengan rambut yang disimpan di belakang telinganya.
“Apa kau tahu? Dia mati kehabisan darah! Kenapa Ibu tak berteriak? Ia bisa selamat,” ujar Lucy parau mencoba membendung air matanya.
“Bagaimana kau tahu?” Rino tak melihat kondisi terakhir ibu Lucy saat ditemukan, karena setelah memanggil polisi dan ambulans Lucy tak mengabari siapapun lagi. Bahkan Kakek dan Neneknya diberitahukan oleh warga setempat.
Para tetangga berkerumun mendengar teriakkan Reika lalu mendengar suara ambulans. Lucy tak berteriak sama sekali!
Ayahnya berada di luar kota, adiknya berada di luar bersama Bik Nah. Kakek Lucy menyuruh Bik Nah untuk mengajak Reika berjalan-jalan seharian penuh.
“Apa kau yakin tidak sedang memakai earphone? Mungkin saja Ibumu berteriak tetapi kau sementara tuli buatan.”
“Aku yakin! Berhentilah bercanda!” ujar Lucy dengan nada lemas namun terdengar kesal di saat bersamaan.
Rino mengedipkan mata beberapa kali. Ia terpikirkan untuk menendang dirinya dengan keras. “Maafkan aku. Ini sudah takdir, bersabarlah. Aku yakin pasti ada alasan lain dari mendiang Ibumu.”
Rino melihat gadis itu dengan tatapan yang dalam. Ia tak tahu harus bagaimana, “Sebenarnya aku punya pemberitahuan untukmu mengenai hal itu.”
Lucy menoleh ke arah Rino di depannya. Kedua pipinya penuh dengan air mata, Rino mengambil tisu di meja. Ia mengusap pipi gadis itu seraya menghela napas. Lucy memajukan wajahnya tiba-tiba, ia terkejut dan menghentikan usapannya.
“Kumohon berhentilah.” Ia sering mendapat serangan panik saat bersama Lucy akhir-akhir ini. Jantungnya menggebu-gebu seperti perasaannya.
Tangannya masih terdiam berada di atas pipi Lucy, berusaha mengontrol dirinya.
“Kamu salah hari,” ujarnya dan melanjutkan mengeringkan air mata Lucy. Lucy terdiam. Ia memundurkan kembali wajah beserta tubuhnya. Ia menatap tajam pria yang berada tepat di hadapannya itu.
“Hari apa maksdumu?” Pikirannya tak bisa memahami apa maksud Rino tentang itu. Salah hari untuk apa?
“Hari persidangan.” Lucy terdiam. Gadis itu tak tahu harus berkata apa. Speechless. Ini sangat membingungkan.
“Lalu? Kenapa Pak Beni berada di kursi itu? Apa dia sedang dalam masalah?”
“Dia memperkosa murid lesnya. Sudah kuduga dia memang orang mesum. Aku sudah bilang bukan jika kau jangan terlalu baik padanya?” ujar Rino setelah selesai mengelap wajah Lucy dan membersihkan bekas-bekasnya.
Lucy tak percaya dengan apa yang dikatakan Rino. Pak Beni, guru kenalan Ayah Lucy, tak tampak seperti itu, bahkan kepribadiannya baik. Meskipun Lucy bukan muridnya.
“Lantas? Mengapa kau tidak....”
“Mau menyalahkanku? Bukankah aku sudah mengajakmu untuk keluar?”
Gadis itu kembali diam, ia memikirkan kembali persidangan itu. Ia menundukkan wajahnya. Perasaannya kacau. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana setelah ini.
Pelakunya masih misterius. Lalu, kapan sidangnya? Kapan Lucy bisa bertemu dengan pelakunya?
“Apa kau tahu siapa pelakunya?” Rino terdiam mendengarnya. Ia tahu jawabannya namun ia tak bisa mengatakannya. Ini bukan waktu yang tepat. Gadis itu akan benar-benar berakhir jika tahu pelakunya.
Aku tahu, Lucy. Tetapi aku tak yakin jika ia pelakunya. Ini sangat ganjil.
“Entahlah. Aku tak bertanya dan mencoba mengendap di kantor polisi. Kau mau aku melakukan hal melanggar privasi seperti itu?”
Tatapannya mulai kosong, matanya terasa berat, pandangannya tiba-tiba sedikit memburam. Tubuhnya mulai tersuyung dan kehilangan keseimbangan. Rino kebingungan melihat gadis di depannya. Ia mendekati gadis di depannya itu dan duduk di sampingnya.
“Ada apa?”
Lucy mengangkat wajahnya lemas, tampak Rino yang terlihat cemas, ia tersenyum tipis melihat pria di sampingnya. Seketika semuanya menjadi gelap dan tak terkendali dalam tubuhnya.
Brukkk!
Gadis itu terjatuh lemas di pelukan Rino. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia mengabaikannya. Lucy lebih penting saat ini daripada perasaannya. Ia membenarkan posisi gadis itu lalu membaringkannya di kasur senyaman mungkin.
Binarnya khawatir dengan gadis yang terbaring lemas, tak sadarkan diri. Bibirnya pucat, ia tampak sedikit kesulitan bernapas. Rino menyibakkan rambutnya dan meninggikan posisi kepala gadis itu. Ia berusaha setenang mungkin dan tidak panik.
Ya, cover-nya memang tak terlihat panik, namun hatinya sangat ketakutan jika ini adalah hal buruk.
Ia mengambil ponselnya dengan sedikit tergesa, bahkan hampir terjatuh dari genggamannya. “Halo? Bisakah Anda datang? Lucy pingsan, Saya memerlukan bantuan Anda.”
Kini ia hanya bisa menunggu..., seseorang. Seseorang yang bisa merawat Lucy untuk sementara, dengan keahliannya yang hampir setingkat dokter.
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
“Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu
Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga
Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.
Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan
Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan
Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.
Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga
“Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu
“Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka
Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu
Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?
“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia
“Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m