Share

Bagian Sembilan

Penulis: Xuiqa Vei
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-28 23:31:30

Tik Tik Tik

Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan.

Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung.

Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu?

Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya  bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada.

Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya.

Apakah aku telah mati?

Apakah ini alam baka?

Apakah aku aka pergi ke neraka?

Lucy tak tahu apa yang ia rasakan, bagaimana perasaanya. Tak ada yang menjawab pertanyaan di benaknya. Entah mungkin karena ia ketakutan. Rasa takut ini tak seperti rasa takut biasanya, dan bahkan ia tak menyadari bahwa ia ketakutan.

Ini masih terasa dingin dan membengkak, semakin membesar seolah akan meledak, hancur berkeping-keping.

Tunggu, apa itu? Suara yang berbeda ikut mengisi telinga dan benaknya. Masih begitu pelan, dan berjangka waktu yang cukup lama. Pikirannya terfokus mengidentifikasi suara itu, mengabaikan tetesannya.

Perlahan. Semakin terdengar jelas. Langkah kaki. Angle? Oh, tunggu. Bukankah mereka melayang? Siapa yang datang?“

“Siapa?!” ia berteriak tanpa ada yang bisa mendengarkannya. Sungguh ia ingin membuka mulutnya dan berteriak sekencangnya, atau mungkin bisa melarikan diri dari sana. Tubuhnya terasa tak memiliki tenaga untuk memaksanya pergi beranjak dari sana, menuju kegelapan lainnya.

Suara itu, makin mendekat. Jangka waktu setiap suara semakin pendek, semakin cepat, semakin kuat.

Seseorang telah menekan tombol ‘klik’ di benaknya. Suara itu menghilang. Semuanya seolah lenyap begitu saja. Tubuhnya terasa lebih leluasa saat ini, tetapi tetesannya masih terdengar.

Kemana suara itu pergi?

Perlahan ia mencoba membuka matanya. “Aku, terbaring.” Suara tetesan masih mengisi benaknya. Nampak langit-langit ruangan dengan pancaran brown light di sana, tampaknya hari sudah larut malam. Ia mengangkat tangan kirinya yang terasa berat dan bengkak, mencoba menggapai langit-langit di atas sana.

Ini baru setengah perjalanan, ia meringis kesakitan, tangannya terasa nyeri bahkan sebelum sampai ke pandangannya. Meletakkan kembali tangan kirinya ke kasur perlahan.

Rasanya sedikit nyeri secara halus mencengkram lengannya, cenat-cenut seperti membengkak. Lucy perlahan menengok ke lokasi rasa yang sedikit mengganggunya, tubuhnya mencoba mengumpulkan energi.

Sudah jelas di sana ada selang yang terhubung oleh kantong infus yang tergantung di tiang portable di sana. “Kenapa?” tuturnya lirih. Rino yang tertunduk di samping ranjang, sontak terbangun dan melhat Lucy yang tengah memandangi jarum infus yang menancap padanya.

“Bagaimana rasanya?” Terlihat binar di matanya dari cahaya yang memantul di sana, perasaannya senang mengetahui Lucy telah sadar. Cukup melegakan,melihat  gadis itu hanya pingsan beberapa jam.

Lucy menoleh ke arah Rino, ia belum sempat menjamah semua situasi dalam ruangan itu. “Apa yang kau lakukan di si-“ Ia berusaha berbicara dengan jelas dalam kondisi seperti ini, tetapi Rino memotongnya dengan gampangnya.

“Apa yang kamu rasakan saat ini Lucy? Bagaimana perasaanmu?” Rino menekankan kembali pertanyaannya dengan tegas, seraya membenarkan posisi duduknya di atas bangku samping ranjang.

Mengangkat bahunya, meletakkan kedua tangannya di saku jaket merah tanpa tudung yang ia kenakan. Nona Auri yang memberikannya untuk hadiah tahunan tahun lalu.

“I’m okay. Tell me.” Ia memalingkan wajahnya, menatap kembali langit-langit di sana. Ini terasa aneh baginya. Rino juga tiba-tiba terasa sedikit menyebalkan, ia lebih terdengar egois daripada sebelumnya. Ia sangat berhati-hati kepada Lucy sebelumnya.

“Kamu pingsan. Sudah kubilang ,’kan? Lihatlah apa yang terjadi padamu. Meskipun hatimu sedang buruk, jangan biarkan kesehatannmu juga memburuk. Kau tahu betapa khawatirnya aku? Bagaimana bisa aku membiarkanmu seperti ini?”

“Diamlah.” Berhari-hari perutnya kosong, ia terlalu lemas untuk berteriak kepada Rino. “Aku ingin memikirkannya kembali. Jadi, tolonglah jangan mengganggu perasaanku saat ini.”

Ia merasa bersalah mendengar ucapan Lucy seperti itu. Mungkin sebaiknya ia menunjukkan kekhawatirannya ketika Lucy lebih membaik. Ini juga terlalu berlebihan.

Sekarang Rino tak tahu apa yang harus ia katakan kepada Lucy. Dia hanya mencoba untuk menyadarkan gadis itu, tetapi perasaan Lucy benar-benar sangat egois. Ia ingin berada dalam kesedihan dan kekosongan itu terus.

“Maafkan aku. Mau sampai kapan tapi?” Pria muda itu berkata dengan lebih halus, ia akan mencoba mendengarkan permintaan Lucy. Binar di matanya memudar, memelas.

Lucy hanya terdiam di sana, memandangi plafon kamar berwarna putih dengan krom hitam di tiap sudut, mencoba mencerna perkataan Rino. Benar juga, mau sampai kapan ia akan menikmati perasaan ini? Ada yang harus dipecahkan dalam hidupnya.

Ini terasa sangat berat. Sehingga ia tak harus berbuat apa. Kesedihan ini terasa nyaman dan juga menyakitkan.

Mengapa harus Ibu? Mengapa bukan aku saja? Dan mengapa mereka menggangguku? Adakah jawabannya?

Lucy mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali semuanya terlihat berbeda, tidak nyaman lagi, dan gangguan itu. Semuanya aneh.

Siapa orang yang mengganggunya selama bertahun-tahun ini? Siapa dalangnya?

Mereka berdua terdiam. Cukup lama Lucy memandangi plafon itu tanpa berpaling, sedangkan Rino memandangi dirinya juga dengan penuh kekhawatiran. Lucy menarik napas panjang. Tiba-tiba langit-langit itu seolah menjadi layar memori.

Matanya terfokus, pada bayangan ibunya yang tiba-tiba nampak di sana. Senyumnya. Ia merindukan senyum ibunya. Senyuman paling bahagia dan paling tenang yang ia lihat pada saat berada di taman bersama Ayah, Ibu, Reika, dan juga dirinya. Saat di mana mereka bersenang-senang bersama, untuk terakhir kalinya.

Sekarang ia mengerti mengapa senyum itu tampak lebih bahagia, karena itu yang terakhir.a

Ayahnya dan Reika bermain gelembung sabun, berlari kesana-kemari. Ia duduk di bangku bersama ibunya, sibuk membaca buku novel Negeri Para Bedebah, karya Tere Liye.

“Leika, awas, sayang!” ujar wanita itu ketika melihat putri bungsunya hampir terselip. Mendengarnya, Lucy sontak ikut mengalihkan perhatiannya kepada adiknya.

“Lucy, kamu harus menjaga dirimu. Berhati-hati, ya.” Ia memalingkan pandanganya ke ibunya, dan tersenyum seraya mengangguk yakin. Lucy  pikir bahwa itu hanyalah kekhawatiran orang tua pada umumnya.

Ibunya tersenyum tersenyum lebar, bahagia, kepada Lucy. Senyumannya terasa berbeda dengan biasanya. Hatinya turut membentangkan perasaan bahagia melihat senyum ibunya.

Itu terasa baru kemarin.

“Lucy!” Rino memanggil gadis yang tengah hanyut itu. Lucy tak bergeming sedikit pun sejak terakhir mereka berbicara, ia mulai cemas jika Lucy kembali seperti tiga hari yang lalu. Perutnya akan terus kosong jika begitu. “Lucy!”

 Ia mendengarkan panggilan Rino, tetapi ia begitu malas untuk meresponnya. Mengingat sikap menyebalkan pria muda itu, ingin ia mendorongnya ke jurang yang amat gelap dan kedap suara.

Pikirannya masih terngiang oleh senyuman ibunya, Lucy ingin melihat itu sekali lagi dalam hidupnya. Ia akan bersemangat dan mengubah sikapnya jika itu terjadi.

Ia berkedip beberapa kali dengan cepat, mengangkat tangan kanannya yang tak terbebani ke langit-langit lagi. Lucy ingin menggapai senyuman ibunya yang tinggi di atas sana. Kembalilah, Ibu. Maafkan aku.

“Sekiranya, apa yang ia pikirkan?” ujar Rino, melihat gadis itu perlahan mengangkat tangannya. Sangat jelas bahwa gadis itu masih belum memiliki cukup tenaga. Ia menghela napas dan tersenyum pasrah. Rino tak ingin mengganggu Lucy saat ini, membiarkannya melakukan apa yang ingin ia lakukan selama itu tidak membahayakannya.

“Ibu...,” lirihnya. Rino tak bisa berbuat apa-apa melihat Lucy terbaring di sana dengan cairan infus. Rambutnya terurai di bawah kepalanya, bibirnya masih sedikit pucat.

Nona Auri telah mengganti pakaian Lucy. Ah, tidak. Mengganti warna sweater-nya saja menjadi warna putih agar tidak menahan hawa panas. Lucy memiliki sweater dengan bermacam motif, warna, dan bahan.

“Lucy. Aku tak tahu harus bagaimana. Maafkan aku. Ini juga cukup sulit bagiku, begitu pula bagimu. Tetapi, inilah hidup, inilah takdir.” Rino tak yakin itu kata yang tepat untuk diucapkan, ia hanya memendamnya dalam hati.

Rino bangkit dari tempat di mana ia duduk, mendekat ke sisi Lucy. Gadis itu bahkan tak menatap balik mata Rino meskipun ia sudah berada di jangkauan pandangan Lucy. Ia terus menatap plafon itu.

Rino melihat bahwa ternyata mata Lucy berkaca-kaca, ia tersenyum pasrah. Lalu mengambil tisu di atas meja dengan tangan kirinya. Tangan kanannya meraih tangan kanan Lucy yang masih terangkat di sana, menggenggamnya seraya menurunkannya perlahan.

Ia juga perlahan duduk di tepi ranjang, mengambil beberapa helai tisu dan mengelap mata Lucy. Kali ini hatinya bisa ia kontrol, sehingga tidak berdegup terlalu kencang seperti saat itu.

Atau mungkin kekhawatirannya lebih besar dari pada degup jantungnya sehingga tak terasa?

Rino menukar tangan kirinya untuk terus menggenggam tangan kanan Lucy, dan menggunakan tangan kanannya untuk mengelap sedikit air mata Lucy. Gadis itu menutup matanya dan membiarkan Rino mengelap matanya dengan lembut.

“Bagaimana perasaanmu, Lucy?”

“Kau bisa melihatnya, bukan?” balas Lucy dengan datar dan terus menatap plafon di atas balas Lucy dengan datar dan terus menatap plafon di atas mereka.

“Terlihat menyedihkan kau tahu? Aku tak yakin, itulah mengapa aku bertanya. Aku ingin mendengar langsung darimu. Maafkan aku sudah mengganggumu.”

Gadis itu hanya terdiam. Air matanya perlahan mulai bisa terbendung. Rasanya aneh juga jika Rino yang terus melakukan hal ini.

Setelahnya Rino kembali duduk di kursi. Menatap Lucy yang terus mencoba menjelajahi seluruh ruangan ini. Tak ada yang berubah selain selang-selang ini.

Rino tidur di kamar tepat di depan pintu kamar Lucy. Ia selalu tidur larut malam untuk mengawasi Lucy selama ini yang juga tidur larut meski sudah diperingatkan. Gadis itu hanya terus diam dan mengabaikan himbauan Rino. Membuat Rino tidur lebih larut untuk mengawasi apakah Lucy benar-benar tidur.

“Kenapa.... Siapa yang memberiku ini?” ujar Lucy seraya mengangkat tangan kirinya.

Bab terkait

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sepuluh

    Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-05
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sebelas

    “Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-08
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Dua Belas

    “Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-11
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tiga Belas

    Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-06
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Empat Belas

    Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-21
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Lima Belas

    Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-01
  • Who Am I: Past Lives   Prolog

    Tanah mulai menutupi kayu pembatas yang melindungi tubuh seseorang yang telah terbungkus kain putih di sana. Hujan kecil yang turun membuat prosesnya sedikit rumit, karena air mengubah sebagian kecil tanah menjadi lumpur dan genangan air ada di mana-mana. Langit tampak turut menuangkan kesedihannya. Tiba-tiba saja ia merubah suasananya sesuka hati, tak ada tenda penutup yang disiapkan. Hujan yang turun sebenarnya hanyalah butiran kecil dengan presentase dua belas persen dibandingkan dengan yang tersimpan di langit. Tetapi tetap saja itu mengganggu. Pemakaman ini tampak semakin menyedihkan. Semua orang bertahan di bawah hujan kecil itu. Pakaian mereka juga setengah basah karena hujannya. Hanya suara rintik hujan, tangisan dan cangkul yang terdengar, tak ada percakapan di antara mereka semua. Semua kerabat, berlinang air mata sama halnya seperti langit hari ini. Keranjang bunga juga sudah disiapkan. Berada di genggaman beberapa pelawat dan

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-17
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Satu

    Gadis itu membenturkan kepalanya beberapa kali ke meja belajar, dibenturan terakhir ia tak bergerak dan tetap dalam posisi membungkuk. Tangan yang tergantung, rambut hitamnya yang bergelombang terurai jatuh ke bawah. Wajahnya melekat tepat pada meja. Lucy menangis ditemani oleh kesunyian malam. Tanpa bergeming sedikit pun, air matanya jatuh perlahan di atas meja. Suara tangisannya seperti diambil oleh angin, menghilang, terbang melayang, pergi meninggalkan Lucy seorang diri hanya dengan berteman kesunyian malam ini. Beberapa tetesan air matanya telah menggenang di bawah mata yang tertutup itu. Akankah dia terluka karena benturan di mejanya, atau menangisi kepergian ibunya? Rintihan mulai terdengar pelan, perlahan keluar dari mulutnya. Angin telah mengembalikan suaranya. Belum sepenuhnya kembali, tetapi lebih baik dari sebelumnya. Bahunya bergetar, naik turun mengikuti nada tangisannya. Tangan kanannya naik ke atas meja, memukul-muk

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-17

Bab terbaru

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Lima Belas

    Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Empat Belas

    Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tiga Belas

    Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Dua Belas

    “Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sebelas

    “Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sepuluh

    Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sembilan

    Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Delapan

    “Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tujuh

    “Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m

DMCA.com Protection Status