Share

Bagian Delapan

Author: Xuiqa Vei
last update Last Updated: 2021-11-26 22:29:28

“Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino.

Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya.

Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk.

Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit.

Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia masih melajang dan fokus kepada karir dan apa yang ingin ia lakukan.

Apakah ia menyukai warna cokelat?

Dengan tulen melakukan semua langkah-langkah medis kepada Lucy, terlihat sudah sangat berpengalaman. Tetap saja Rino merasa khawatir dengan Lucy yang tetap saja diam tak bergerak di sana. Kantong merah itu membuat hatinya semakin gelisah.

“Iya, ada apa?” ujarnya tanpa menghentikan aktivitasnya saat ini. Ia tengah fokus mencari urat nadi yang tepat di lengan kiri Lucy. Ini butuh ketelitian.

“Apakah ini legal dan aman? Maaf, Anda mengerti maksud saya, bukan? Kita ad-“

“Tenang saja. Meskipun begitu, ini semua berasal dari mereka. Ketua yang telah mengklaim dan menunjuk saya sebagai penghubung,” ujar wanita itu dengan anggun dan tenang, memotong kalimat Rino. Ia merasa kemampuannya diremehkan oleh lelaki muda itu, perasaannya sedikit kesal namun ia harus terlihat tetap profesional dan melanjutkan kegiatannya.

Langkah terakhir adalah menempel plester di atas jarum infus yang menancap pada tangan kiri Lucy. Ia tersenyum. Senyuman yang sangat menenangkan dan membuat orang lain yang melihatnya akan terpana. Rino mulai mempercayakan semuanya kepada Nona Auri.

Ketua mereka masih memberikan gelar panggilan Nona untuknya, karena ia masih tampak muda dan produktif. Seharusnya sebentar lagi ia akan bergelar Nyonya, tetapi tampangnya berkata sebaliknya.

Ia adalah satu-satunya yang diberi julukan Si Murni di dalam kumpulan mereka, dan kebetulan memiliki keahlian dalam bidang kesehatan berkat beberapa pendidikan khusus yang ia tempuh. Sehingga ia mendapat posisi yang diistemewakan meskipun paling berbeda.

Rino tak bisa membawa gadis itu ke rumah sakit, sehingga ia harus memanggil Nona Auri. Rino tidak menyukai tempat seperti itu, ia takut kehilangan kendali.

Nona Auri duduk di tepi ranjang dengan tiang penyangga infus di sisinya. Mengatur kembali tetesannya agar pernapasan dan denyut jantung Lucy lebih nyaman.

Di sisi lainnya, Rino berdiri, memandangi gadis yang terbaring lemas di sana. Sesekali mencuri pandang ke arah Nona Auri yang juga memandangi gadis yang terbaring itu. Rino melihat bahwa tatapan Nona Auri kepada Lucy sangat berbeda.

Sebelumnya ia tak pernah melihat tatapan itu diberikan kepada siapapun olehnya. Tatapan sosok seorang ibu.

Rino yakin jika Nona Auri telah mengetahui misinya dan apa yang tengah terjadi pada Lucy akhir-akhir ini. Sehingga ia memperlakukan Lucy dengan baik dan lembut.

Meskipun ibu Lucy lebih tua dibandingkan Nona Auri, namun mereka memiliki sosok dan aura yang sama. Pernahkah mereka bertemu sebelumnya? Atau mungkin saling mengenal?

Sepertinya tidak mungkin, tempat tinggal mereka berbeda jauh. Hampir tidak mungkin untuk saling mengenal.

“Apakah kau mau? Aku yakin kau sudah menahannya begitu lama. Aku masih memiliki beberapa kantong lagi.”

Rino berdiri di tepi ranjang lainnya, pandangan mereka bertemu satu sama lain. “Maaf, apakah maksud Anda?” ia berkata seraya tersenyum canggung. Ia benar-benar tak memiliki  pikiran yang baik saat ini.

Ia melihat ke arah Rino di seberang ranjang Lucy, tersenyum dengan perlahan. Lelaki muda itu tampak seolah-olah menjadi seorang yang kehilangan jati dirinya di mata Nona Auri. Ia sudah hanyut dengan dunia ini, mengikuti semua yang terjadi di sini, ia telah berbaur dengan baik.

Sedangkan Nona Auri juga mencoba menghilangkan jati dirinya, berbaur dengan dunia lain. Sama seperti Rino.

Nona Auri mengalihkan pandangannya, mencari di dalam tasnya yang penuh dengan perlengkapan medis. Mengambil beberapa kantong berwarna merah, menyodorkannya kepada Rino.

Rasanya ia telah kehilangan kendali. Ia mengambil kantong merah itu tanpa disadari. Pupil matanya membesar. Bertahun-tahun lamanya ia sudah tak melihat hal seperti ini. Ini kesempatan yang buruk. Ia tak mungkin melakukannya ketika Lucy dalam kondisi seperti ini.

Wanita itu tersenyum, ia tak pernah melihat kegilaan yang sebentar lagi meluap. Gerak-gerik pria muda itu mengatakan ia akan melakukannya. Tetapi, tiba-tiba ia melihat ke arah Lucy. Senyumnya memudar. Bagaimana jika gadis ini tiba-tiba tersadar?

Ini bisa jadi masalah besar. Aku akan punah jika gadis ini bangun.

Sementara Rino kini telah kehilangan kesadarannya. Ia berusaha keras menahan hal ini selama bertahun-tahun, ia tak mungkin kembali jika misi ini belum berakhir. Ia memegang erat dua kantong merah itu. Belum ada tindakan lain saat ini.

“Rino!” Ia tak merespon panggilan Nona Auri. Wanita itu beranjak dari tempat di mana ia duduk. Berjalan perlahan menuju ke arah Rino, di sisi lain ia tampak tertekan.

Tepukkan di bahu Rino menyadarkannya dan mengembalikan kendali tubuhnya. “Saya tidak tahu apa yang membebanimu, tetapi jika kamu mau melakukannya, pergilah sesaat dari sini. Saya khawatir gadis ini akan terbangun tiba-tiba.”

Hembusan napas menerpa kedua  kantong di tangannya. “Kamu bingung, ‘kan? Jika kamu merasa tertekan, akan saya ambil kembali,” ujar Nona Auri seraya mengambil alih kembali dua kantong itu.

Ia tersenyum tegar setelahnya, “Cukup sulit bagi saya untuk berhenti dan terbiasa saat itu, sehingga cukup mengkhawatirkan jika saya melakukannya lagi. Saya takut melukai sang terpilih karena harus berada di dekatnya. Cukup sulit juga untuk melakukannya di sini, di sini berbeda dengan di Rusia.”

Pada awalnya ia melakukannya karena misi ini, misi untuk kepentingan kumpulan. Tetapi, saat ini, ia melakukan semua ini untuk Lucy.

“Apakah kamu menyukai gadis ini?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari bibir Nona Auri. Rino terbelalak menatap wajah wanita itu. Bagaimana mungkin ia menyimpulkan hal itu secepat ini?

Pipinya memerah, ia tersipu hingga menundukkan wajahnya. Tetapi, ia juga khawatir bagaimana jika nanti Nona Auri memberitahu Ketua. Rino masih belum memiliki keberanian sebesar itu diusia yang baru menginjak dewasa seperti ini.

“Melihat tingkahmu, ini semua membuat saya ya-“

“Maaf, tetapi, ini tidak seperti yang Anda pikirkan.”

Wanita itu tersenyum kepada lelaki muda di depannya yang masih sedikit labil ini. Ia tahu bahwa Rino takut jika ini sampai terdengar oleh Ketua. “Tak mengapa. Aku akan merahasiakan ini darinya. Hanya di antara kita. Saya yakin kamu tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun.”

“Saya tidak begitu yakin tentang bagaimana perasaan saya.” Kemerahan di pipinya menghilang.

Semua perintah itu membuatnya melupakan perasaannya sendiri, kebahagiaan yang ia inginkan. Rino pikir ia harus membalas budi kepada Ketua dan kumpulan. Alasan terbesar mengapa ia melakukan misi ini.

“Anggap saja diriku ini adalah ibumu juga, kamu bisa menceritakan semuanya jika kamu mau. Selama berada di sini, kamu sendirian,” tutur Nona Auri dengan lembutnya.

Ia mendudukkan Rino di sebelahnya, di tepi ranjang tempat Lucy terbaring tak sadarkan diri.

Berusaha membantu. Itu yang tengah dilakukan Nona Auri. Ia merasa iba kepada pria muda di sampingnya ini. Hidupnya cukup malang.

Ibu. Rino tak pernah bertemu ibunya. Sedari kecil ia telah berada dalam kumpulan dan selalu dalam pengawasan Ketua. Lucy juga baru saja kehilangan ibunya. Air matanya ingin meloloskan diri dari matanya, namun tertahan oleh keyakinan Rino untuk selalu tegar.

“Bolehkah kita berbicara secara semi-formal dan saya memanggil Anda Ibu?” Meskipun belum selama Rino dalam kumpulan, Nona Auri sudah mengetahui cerita Rino karena ia adalah yang paling dekat dengan Ketua.

Ia tersenyum kembali, memberikan  pelangi dalam hati Rino yang tengah mendung. Mengangguk dengan tulus kepada Rino.

Aku merasa aman dan nyaman. Aku tahu dia belum menikah, apalagi memiliki anak, tetapi ia memiliki aura keibuan yang bagus. “Terima kasih banyak, No-, emm Ibu.” Mereka saling berbalas senyuman untuk pertama kalinya dengan suasana yang berbeda.

Wanita itu mencoba membuat Rino senyaman mungkin. Mereka belum pernah berbincang-bincang dengan waktu lama sebelumnya, ini waktu yang pas.

“Bagaiamana jika aku benar-benar menyukai Lucy?” tanya Rino sedikit malu. Ia sendiri juga tak tahu jawabannya.

Nona Auri tersenyum. “Semua pasti ada jalannya. Mencintai itu wajar. Jangan sakiti perasaanmu, meskipun ini hal terpenting pun taruhannya. Bukankah dia juga memiliki darah yang sama?”

“Aku rasa begitu. Tetapi, kasta kami sangat berbeda. Ketua pasti tak akan membiarkannya. Apalagi dia memiliki tiga unsur.”

Nona Auri menghela napas, lalu menoleh ke arah Lucy di belakang mereka. Bulu mata gadis itu sangat cantik, lekuk bibirnya juga sangat menawan. Ia terlihat seperti Putri Tidur. Lalu menoleh ke arah Rino, dialah pangerannya.

“Jika boleh jujur, kalian sangat cocok,” ujarnya menggoda Rino yang pipinya sebentar lagi akan memerah.

“Ah, entahlah.”

Nona Auri terkekeh dengan anggunnya, menutup mulutnya. Ia juga sangat manis dan hangat. “Semuanya tergantung kedua belah pihak. Yang saling mencintai. Meskipun Lucy masih sangat muda untuk memikirkan hal seperti ini. Tampaknya ia juga tak tertarik dengan cinta.”

“Ya, itulah masalahnya. Aku akan tersakiti jika mencintai orang yang tak membalas cintaku. Atau mungkin juga ia telah mencintai orang lain.”

“Hei! Es bisa meleleh kau tahu?”

“Aku tahu, Bu,” Rino berkata dengan sedikit canda.

“Bukan begitu. Bayangkan es itu adalah Lucy, kamu adalah gelas, dan suhu panas adalah usaha, pembuktian dan kehangatan cintamu. Bukankkah es-nya akan meleleh dan tertampung oleh gelas? And you got that.”

Related chapters

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sembilan

    Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?

    Last Updated : 2021-11-28
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sepuluh

    Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu

    Last Updated : 2022-01-05
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sebelas

    “Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka

    Last Updated : 2022-01-08
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Dua Belas

    “Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu

    Last Updated : 2022-01-11
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tiga Belas

    Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga

    Last Updated : 2022-02-06
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Empat Belas

    Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.

    Last Updated : 2022-03-21
  • Who Am I: Past Lives   Bagian Lima Belas

    Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan

    Last Updated : 2023-08-01
  • Who Am I: Past Lives   Prolog

    Tanah mulai menutupi kayu pembatas yang melindungi tubuh seseorang yang telah terbungkus kain putih di sana. Hujan kecil yang turun membuat prosesnya sedikit rumit, karena air mengubah sebagian kecil tanah menjadi lumpur dan genangan air ada di mana-mana. Langit tampak turut menuangkan kesedihannya. Tiba-tiba saja ia merubah suasananya sesuka hati, tak ada tenda penutup yang disiapkan. Hujan yang turun sebenarnya hanyalah butiran kecil dengan presentase dua belas persen dibandingkan dengan yang tersimpan di langit. Tetapi tetap saja itu mengganggu. Pemakaman ini tampak semakin menyedihkan. Semua orang bertahan di bawah hujan kecil itu. Pakaian mereka juga setengah basah karena hujannya. Hanya suara rintik hujan, tangisan dan cangkul yang terdengar, tak ada percakapan di antara mereka semua. Semua kerabat, berlinang air mata sama halnya seperti langit hari ini. Keranjang bunga juga sudah disiapkan. Berada di genggaman beberapa pelawat dan

    Last Updated : 2021-08-17

Latest chapter

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Lima Belas

    Trotoar tampak basah dan berair. Warnanya menggelap. Tetesan kecil air hujan terjatuh terus-menerus di atasnya. Tak ada yang tahu hingga kapan hujan ini akan berakhir.Lucy berjalan di atas trotoar untuk menuju ke sekolahnya. Ia membalut seragam yang dikenakannya dengan sweater. Kali ini sweater-nya sama seperti cuaca ini. Kata RAIN tercetak di bagian belakangnya. Ia berjalan di bawah perlindungan payung transparan yang dibawanya.Ia menarik napas panjang. Udaranya sangat basah dan segar. Dedaunan-dedaunan bergoyang di rantingnya berkat tetesan hujan itu.Udara dengan oksigen segar kembali ia hirup. Sensasi dingin mengalir dari hidung ke selang tenggorokan menuju paru-paru. Sangat menenangkan. Jalan raya di sebelahnya juga sedikit sepi.Beberapa orang mungkin akan terlambat karena hujan. Tetapi tidak untuk Lucy. Ia begitu menikmati hujan ini.Percikan kecil mengiringi setiap langkahnya, ia berusaha sehati-hati mungkin agar seragamnya tak basah. Pandangannya selalu mengarah ke pijakan

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Empat Belas

    Rino menatapnya dari perbatasan ruang keluarga dan dapur yang sekaligus terdapat meja makan. Lucy duduk di kursi, memandangi ke bawah kursi di ujung meja. Bekas di mana darahnya seharusnya ada.Lucy duduk di kursi yang hanya diberi cat pelapis, sehingga warnanya terlihat natural, enam kursi dengan satu meja putih berukuran dua kali 1 meter.Di belakangnya terdapat kitchen set berwarna hitam, kompor listrik tiga tungku, westafel, lemari penyimpanan, dan mesin cuci otomatis bawaan. Serta barang elektronik dapur lainnya berada di sana. Tertata rapi, ruangan dapur dibersihkan secara keseluruhan.Sedari tadi Rino tak mengeluarkan suara apapun. Hanya membuntuti Lucy mengenang kembali peristiwa itu. Gadis itu mulai tampak tegar. Raut wajahnya sendu namun ia tak menangis lagi seperti hari itu. Mungkin perasaan tak rela dan semua tentang ibunya telah mengalir bersama air mata itu.Lucy terus saja memandangi lantai yang kini bersih telah bersih itu.

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tiga Belas

    Pintu mobil tergeser perlahan, menampakkan gadis kecil yang tengah berdiri di sana, menunggu pintu mobil terbuka sempurna.Ia memakai gaun yang sama seperti hari itu, hari pemakaman ibunya lalu. Kali ini langit sedang berbaik hati untuk menampakkan diri, sepatu Reika tak akan terkotori oleh lumpu lagi. Ia melangkah turun perlahan dengan tangan yang menggenggam tangan Nenek.Perasaan bahagia menyelimuti hati Reika. Ia berharap Ibu menunggunya di sana, telah terbangun. Sehingga ia bisa mengajak ibunya pulang. Ia berjalan penuh binar selagi menginjakkan kaki ke tanah pemakaman itu.Sementara Kakek dan Nenek tampak sangat gelisah. Senyuman palsu untuk Reika tak bisa menutupi kegelisahan di mata mereka berdua.Ini adalah kedua kalinya gadis kecil itu pergi ke pemakaman. “Kakek. Rupanya banyak yang tertidur di sini ya?” ujarnya seraya menatap setiap nisan secara bergantian.Reika sudah bisa membaca, namun ia tak mengerti apa arti tangga

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Dua Belas

    “Aku tidak tahu jika kau pandai memasak,” ujarnya sebelum melahap potongan besar omelet yang masih hangat. “Ya... meskipun hanya ini, tetapi lumayan,” lanjut Rino.Lucy tersenyum seraya memainkan garpu dan sendok di omelet miliknya. “Aku dulu sangat menyukai ini... menyukai buatan Ibuku.”Rino tahu dengan jelas bahwa gadis itu memasak ini karena merindukan mendiang ibunya. Kini entah mengapa ia merasa tak enak hati kepada Lucy. Ia memandangi piringnya yang masih separuh kosong. Lalu ke Lucy.“Oh, iya, aku mengingatnya. Ibumu juga pernah membuatkannya satu untukku.” Rino teringat pada saat ibu Lucy mengajaknya makan malam bersama saat mengantar Lucy pulang.Awalnya ia menolaknya, namun ibu Lucy terus menawari dan membujuknya terus-terusan. Rino merasa tak enak hati, dan akhirnya menyetujuinya.Memang rasanya sangat enak meskipun hanya omelet, buatan ibu Lucy sangat lembut.Karena Lucy masih pemu

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sebelas

    “Jadi, apa yang kau katakan itu benar?” tanya seorang gadis yang terus berjalan perlahan, menatapi setiap langkah yang akan ia pijak, entah menuju kemana.Di tangan kanannya masih tergantung tangan Rino yang terus menggenggamnya erat. Pandangannya terus ke depan, ke jalanan yang gelap dengan sedikit pendar lampu jalanan. Berada di depan gadis yang sebenarnya masih lemah, namun egonya kuat. Mereka berjalan di tengah sunyinya malam.Angin malam berhembus perlahan, sedikit mengguncang kehangatan dari dalam tubuh Lucy. Ia mengernyit.Rino hanya terus menatap ke depan, pikirannya tak terkendali. Antara khawatir dan tersipu menyadari bahwa ia bersama seorang gadis muda. Gadis yang mulai memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.Sesekali ia melirik ke genggaman tangannya dengan Lucy, dan mulai berdegup.“Ayo kita makan dulu,” ujar Rino tanpa menoleh ke belekang, pada gadis itu.Lucy berpaling terkejut ke arah Rino, tak menyangka

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sepuluh

    Angin berhembus sepoi di luar jendela, malam itu semakin indah dengan bintang-bintangnya, namun tidak dengan adanya bulan. Langit yang gelap seolah berkedip menggunakan bintangnya secara bergantian.Sementara di dalam ruangan, terasa hangat berkat pemanas yang terpasang dalam ruang. Rino dengan perlahan mengelap sisa air mata di pipi Lucy. Gadis itu menutup matanya dengan patuh, dan Rino berfokus pada apa yang ia lakukan.Gadis itu kebobolan air mata lagi.“Aku menelpon perawat kepercayaan keluargaku. Dia wanita muda yang hebat,” ujarnya setelah selesai mengeringkan air mata Lucy. Secara bersamaan ia menatap serius sekaligus iba kepada gadis yang masih terbaring menutup matanya, tampak begitu tenang.Ia menghela napas sambil duduk dengan tegar di tepi ranjang, terus menatap Lucy. Rino mendadak sering melihat air mata Lucy akhir-akhir ini. Gadis itu mulai rapuh.Lucy juga tak bisa mengontrol air matanya, semua yang terjadi terasa begitu

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Sembilan

    Tik Tik Tik Suara itu terus terdengar di telinganya. Dalam kegelapan ini, ia menegakkan tubuhnya, menutup mata, mencoba mengenali suara yang terus berulang itu, yang mengisi ruangan. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada benda. Tak ada matahari. Hanya ada sedikit redupan yang entah darimana asalnya, hanya tempat ia berdiri, dan begitu banyak kegelapan yang tak berujung. Lucy tak tahu harus berkata apa, tubuhnya mulai terasa dingin dan perlahan terasa membengkak. Apakah tetesan itu adalah waktu? Tubuhnya tak bisa bergerak seperti yang diperintahkan sinyal otaknya, bahkan untuk membuka mata. Sehingga kakinya menopang tubuhnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya bisa berdiam dalam kegelapan yang entah di mana ia berada. Hanya suara tetasan air dengan skala kecil yang mengisi telinganya. Ia terus berdiam di sana tanpa bisa melakukan apapun. Banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Apakah aku telah mati?

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Delapan

    “Maafkan saya, tetapi ....” Ia menggigit bibir bagian bawah terus-menerus saat melihat Lucy yang masih belum sadarkan diri, terus-menerus diotak-atik oleh seorang wanita yang hampir menginjak usia 30 tahun. Ia baru saja tiba di sini, 15 menit setelah mendapat telepon dari Rino. Wanita itu mengeluarkan satu-persatu barang medis dari dalam tasnya. Hal pertama yang ia lakukan kepada Lucy adalah mengecek tensi darah. Ia sudah mendengar semuanya, kemungkinan besar gadis itu kekurangan sel darah merah dalam tubuhnya. Rino terus mengawasi di sisi lain. Berharap ini tak akan menjadi lebih buruk. Tanpa perlawanan, gadis itu akan diberikan cairan infus dan penambah darah di kantong itu. Ruangan itu mendadak menjadi seperti ruang rawat inap sama seperti di rumah sakit. Rambutnya digulung rapi ke belakang, tampak cokelat berkilau. Ia memakai baret cokelat polos dengan gaun ala vintage berwarna putih dengan renda cokelat. Parasnya cukup menawan, namun ia

  • Who Am I: Past Lives   Bagian Tujuh

    “Makanlah, Lucy. Kau akan pergi sangat jauh jika begini terus,” tuturnya dengan penuh kekhawatiran di dalam suaranya. Rino menyiapkan semua jenis makanan, dari buah, camilan hingga bubur dan beberapa lainnya. Tersedia di meja. Tetapi, gadis itu tetap memilih diam, memandang ke luar jendela, duduk bersandar pada tepi dinding di atas kasur dan memegangi sebotol air mineral. Di bawah kasur banyak bekas botol air mineral yang di minum Lucy terus menerus selama tiga hari mereka di sana. Rino terus berusaha membujuk gadis itu juga mengonsumsi karbohidrat daripada hidrogen. Lucy masih tetap diam meskipun sudah bergerak dan berdiam kesana-kemari, memilih tempat yang nyaman untuk menyendiri tetapi Rino selalu mengganggunya. Dan selama tiga hari itu, Rino kenyang oleh perasaan terabaikan. Ia teringat kembali di mana ia pertama kali ia mencoba menjadi teman Lucy. Itu lebih parah dari ini. Di antara semua kata ‘hai’ yang Rino ucapkan, ada satu yang hampir m

DMCA.com Protection Status