Sudahlah, untuk apa kembali memikirkan neraka itu. Lebih baik menikmati hidup sendiri tanpa beban apapun. Tapi... apakah mungkin merahasiakan darah daging Denny? Bukankah itu kekejaman? batinnya terus terusik.Selama empat tahun, selalu menjadi bulan-bulanan keluarga Denny, bagaimana ia akan berterus terang sehingga hidupnya kembali berantakan?"Mira? Kenapa? Kok kamu kayak orang bingung?" Neny menatap Mira sedikit heran karena Mira malah melamun."Ah, enggak Neny, ayo ke dalam, ada Faza menungguku. Dan kamu, apa kamu nggak mau pendekatan sama Faza?"Neny meremas tangan Mira."Kamu ini ngomong apa sih? Kamu kan tahu, Faza samasekali tidak melihatku, itu sama saja seperti dulu. Sudahlah, ayo kita ke depan."Mereka menemui Faza di ruang tamu."Kamu memang kelihatan kurang sehat, Mira. Gimana, kamu nggak apa-apa kan?""Iya, nggak apa-apa kok. Paling cuma kelelahan. Dan kamu, apa ada rencana kembali ke Jakarta?"Faza kembali menatap ponselnya. "E
Semua sudah terputus begitu saja. Jangankan mendapatkan pesan, nomornya saja mungkin sudah diblokir.Tiba-tiba rasa rindu menyeruak di hatinya. Iapun menyambar ponselnya, mencoba menekan tombol call pada sebuah nomor anonymous. Ya, itu adalah nomor Mira yang ia sembunyikan dari Imas.Seperti biasa, nomor itu tidak lagi bisa dihubungi.Saat sedang termenung, sebuah pesan masuk di ponselnya. Pesan itu adalah pesan gambar dari seseorang."Imas? Pak Faza? Apa yang sedang mereka lakukan?"Hati Denny terguncang hebat. Saat melihat siapa yang ada di foto-foto tersebut. Mereka adalah Imas, bersama Imas di sebuah restoran di atas kolam. Mereka terlihat sangat ceria dan tertawa bersama."Apakah mereka memang saling berhubungan? Ah, tidak mungkin. Imas sudah bertunangan denganku, mana mungkin dia macem-macem," katanya pada diri sendiri."Dasar Agus, sukanya emang julid. Itu pasti karena dia sekarang tahu kalau aku sebenya dalah suami Mira, temannya," lanjutnya
"Sayangnya, itu cuma harapanku semata, sedangkan kamu akan segera menjadi istri orang lain. Bukankah begitu?"Tangan Imas mengepal kuat, entah mengapa sensasi debaran di jantungnya semakin memburu."Kamu sudah tahu itu, dan kamu bermain-main dengan perasaan aku? Bagaimana kalau aku ternyata terbawa rayuan kamu, apa kamu siap menanggung resikonya?"Kali ini Faza menyambar telapak tangan Imas."Aku Faza, aku tidak pernah memiliki wanita yang membuatku terus memikirkannya seperti ini, aku telah memikirkan berulang kali semuanya. Aku sudah bilang, aku selalu ingin di sampingmu, sementara aku tahu kamu adalah tunangan Denny, apa kamu pikir aku bermain-main?"Imas menarik tangannya dari genggaman Faza, hatinya semakin tak karuan."Faza, aku akan memikirkannya. Masalah pakaian ini, aku akan mencobanya, tapi kalau aku tidak suka, please jangan pernah memaksaku, oke?"Setelah itu Imas memasukkan pakaian itu ke dalam kantong plastik."Oh ya, aku akan memba
Wajah Denny yang gugup tak seperti biasa, membuat Imas dan Magdalena sedikit curiga.Sementara Denny menggenggam erat kertas di tangannya, lalu menyembunyikan benda tersebut di saku celananya.Sebisa mungkin menyembunyikan ekspresi tidak biasa, iapun melangkah mendekati Imas."Mas, darimana? Aku menunggumu pulang, tapi malah belum sampai rumah," sapa Imas saat Denny sudah di teras."Eh, aku mampir rumah sebentar. Sudah lama nggak nengok rumah. Rencana ambil liburan mau bersih-bersih," kilahnya."Ooh, kamu bisa ajak aku kalau mau bersih-bersih rumah itu, Mas.""Enggak perlu, aku bisa sendiri, Kok. Dan kamu dari mana saja tadi? Ada acara apa?"Dalam hati, Denny ingin tahu apa yang dikerjakan Imas bersama Faza di sebuah restoran, bahkan informasi dari Agus, mereka cukup lama dan terlihat akrab di restoran tersebut."Ouh, cuma makan di restoran, sama temen.""Temen?""Iya, temen, kenapa sih? Cemburu?""Hmm, tentu saja kalau itu teman lela
Apa yang harus ia lakukan, jika ternyata foto itu adalah satu-satunya penghubung antara dirinya dengan kebenaran? Apa yang harus ia lakukan jika foto itu adalah satu-satunya bukti bahwa Mira telah mengandung darah dagingnya?Apa yang dikatakan ibunya membuatnya frustasi, antara memberikan atau tidak memberikan meskipun hanya selembar kertas yang sudah kotor."Ibu, ini cuma kertas. Ini bukanlah sesuatu yang akan membahayakan hubunganku dengan Imas. Percayalah," tolak Denny saat Magdalena berusaha merebut kertas USG tersebut."Denny, jangan meremehkan hal seperti ini. Kamu tidak boleh menyimpannya samasekali. Sudahlah, lupakan Mira dan apapun yang berkaitan dengannya. Mengertilah, ini sangat tidak ada perlunya!""Mas Denny, kertas apa sebenarnya yang sedang kamu pegang?" Deg!Kemunculan Imas yang tiba-tiba membuat mereka terdiam dan membeku.Magdalena seketika melebarkan matanya karena tidak menyangka Imas akan kembali dan melihat apa yang mereka laku
Merasa dikhianati dan terluka, merasa benci dan cemburu, mewarnai hari-hari Mira yang sepi. Dan itu semakin menjadi jika teringat dengan bayinya yang mungkin akan lahir tanpa seorang ayah."Suatu saat nanti, jika aku bertemu dengan Denny, aku berharap perasaan benci ini sudah hilang. Aku berharap perasaan marah juga sudah tidak ada lagi, itu karena aku telah berjanji kepadanya untuk melakukannya, Yuli. Aku berjanji untuk tidak membenci dan mengatakan sesuatu yang buruk tentang dia, ayah bayi ini. Aku akan menepati tanpa penyesalan. Kecuali satu hal, dimana aku mungkin akan melanggar satu janji."Yuli mulai merasa Mira hanyut dalam kesedihannya. Ia tak tahan melihatnya, Mira mulai terlihat payah dengan perutnya yang semakin membesar, ia tahu itu tidak mudah. Lalu dengan refleks tangannya merangkul wanita itu, memberikan sedikit ketenangan untuk Mira."Sudahlah, Mira. Jangan terlalu dipikirkan. Kalau kamu cengeng begini, kata orang anak kamu nantinya juga cengeng loh.
"Kamu sangat sesuai dengan riasan ini. Lebih anggun dan menawan," ujarnya sambil menyelipkan anak rambut yang sempat menyembul lebih banyak, karena hijab yang dikenakan Imas memang bukan hijab yang sesungguhnya."Aish, kamu ini pinter menggombal ya," Imas terkikik dengan pujian Faza. Sambil berjalan memasuki mobil, mereka saling melemparkan senyuman.Denny yang bersembunyi di balik pepohonan, hanya bisa mengepalkan tangannya. Kali ini ia bisa merasakan, bagaimana tatapan Faza menatap penuh sayang pada calon tunangannya."Sial kamu Faza, kamu selalu saja menjadi orang yang menjadi masalah dalam hubunganku? Bahkan dengan Mira, kau juga berusaha menggodanya bukan? Ya, selama ini kamu selalu saja muncul diantara kami!" kesalnya."Dan kau Imas, apa yang kamu lakukan di belakangku? Kenapa kamu melakukan semua ini setelah apa yang terjadi?"Denny tak mengerti apa maksud Imas pergi dari rumah sementara mereka berjanji untuk bertemu dengan ayahnya. Sejak tadi ia lupa
Faza cemas, ia berharap Imas akan menyetujui apa yang ia inginkan. Kalau tidak, semua akan menjadi berantakan."Bagaimana, apakah kamu ternyata tidak siap untuk menjadi istri Faza?""Oh enggak, bukan begitu. Saya...ehmm saya siap.""Yes," Faza berdesis, seperti kejatuhan rezeki nomplok. "Faza, kamu dengar, dia bersedia menjadi istrimu, yang berarti kamu harus juga siap menanggung semua resikonya."Faza tersenyum, menyetujui syarat yang diberikan kakeknya.Usai acara tersebut, mereka berpamitan. Imas melempar penutup kepala asal di mobil seketika. Ia sangat kesal karena harus berperan menjadi calon istri Faza."Hei bocah! Kalau becanda jangan kelewatan ya! Kamu bikin aku mau mati berdiri, Faza!" teriak Imas memaki Faza. "Kamu lihat nggak sih gimana muka-muka keluarga kamu itu menguliti aku? Kamu liat nggak kalau kakek kamu menginterogasi aku nggak ada habisnya?!"Imas tak berhenti mengoceh, sampai-sampai tak menyadari kemana Faza sedang memb
Sugesti di masa kecil yang absurd seperti potongan kenangan yang unik untuk diingat.Seperti bagaimana biji semangka yang tertelan akan tumbuh dan berakar di dalam perut, mengeluarkan tangkai dan daun dari telinganya dan hidung lalu berbuah di puncak kepala. Begitulah seorang anak digiring dalam sebuah pemikiran tak masuk akal bahkan hanya karena sebuah nama."Apa kau terpengaruh?""Tentu saja. Sepertinya itu berhasil karena aku percaya dengan ibuku. Hahaha," Denny tergelak lagi karena konyolnya pemikiran saat itu.Mereka terlihat serasi dan bahagia."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Denny kemudian melihat Mira meminta pendapat soal rencana yang sebenarnya sudah mereka buat."Uhmm pertama, aku mau buat adik untuk Azrah, ini adalah tujuan yang paling bagus untuk dilakukan. Apa aku salah?""Haish... selalu saja cari keuntungan."Denny hanya nyengir, sementara ia tetap fokus berkendara."Rencana kedua adalah membangun usaha toko di pasar tradisional dan selanjutnya akan menjadi
Mira dan juga Denny sangat panik dan segera membawa Marina ketempat yang nyaman di dalam mobil.Mereka membawa pulang wanita itu dan memindahkannya ke kamar.Mira sangat iba melihatnya. Ia bisa merasakan Marina sangat terluka. Ia sangat mengerti bahwa Marina sangat mencintai Dika."Mira, sejak tadi kau melamun, apa yang kamu pikirkan?" tegur Denny karena Mira hanya termenung menatap wajah Marina."Selalu ada yang membuat wanita terluka sampai seperti ini. Apakah lelaki nggak tahu kalau wanita itu cuma makhluk yang lemah. Saat mencintai, dia sangat mudah dikhianati. Saat setia, pria tidak menyadari dan saat terluka ia hanya bisa menangis menyalahkan dirinya sendiri yang tak sempurna. Hanya saja, meskipun sangat lemah...wanita mampu bertahan dalam situasi seperti ini," ujarnya pelan, seolah mengenang apa yang dialaminya dulu.Saat itu Denny mengabaikan segala yang ia miliki. Cinta dan ketabahannya harus berakhir dengan selembar surat cerai.Akan tetapi Marina...dia mendapat selembar sur
"Aku membebaskan kamu, tapi kamu kembalikan kerugian yang sudah kamu tumbukan sejak awal, bagaimana?""Hah, omong kosong! Kau kira aku percaya?""Tidak. Kau tidak perlu percaya. Karen aku juga yakin kamu tidak punya uang untuk melakukannya. Kau kan cuma bisa memeras perempuan, mana mungkin bisa kembalikan uang sebanyak itu. Tapi...aku bisa sih mengurangi dakwaan soal pemerasan kamu yang terakhir, dengan syarat kamu ikuti permainan kami."Dika meremas tangannya kuat, sebab, dakwaan soal pemerasan uang itu berbuntut panjang. Marina minta uang itu dikembalikan tiga kali lipat berikut biaya persalinannya kelak."Aku tidak memeras, tapi dia yang memberikan.""Marina juga mendapatkan tamparan keras darimu, apa itu juga bisa dilaporkan tindak kekerasan? Ah Dika, sangat banyak catatan kriminal yang kau lakukan," ejek Denny. "Mungkin hukuman lima belas tahun penjara tidak cukup untuk kamu.""Jadi apa maumu?!" kali ini Dika terlihat menyerah.Denny tersenyum menang. Ia sudah membaca gelagat Dik
Seperti yang dikatakan Mira, polisi memang sudah berhasil meringkus Dika sehingga mereka mendapatkan pemberitahuan keesokan harinya.Mira segera menemui Marina dan menceritakan apa yang telah ia lakukan untuk Dika."Marina, aku minta maaf karena terpaksa menguntit kepergian kamu ke bank. Dan inilah akhirnya, kami memutuskan penyelesaian dengan polisi saja.*Marina menunduk dalam. Sepertinya ia ragu menyetujui tindakan Mira."Kau masih menyukai Dika, Marina? Apakah pria itu layak untuk wanita sebaik kamu?"Marina masih tak menjawab. Dilema di hatinya saat ini adalah soal harga dirinya yang hancur. Bagaimana mungkin ia melahirkan tanpa seorang suami, apa yang akan ia lakukan?"Kau berpikir bahwa Dika akan menikahi kamu, Marina? Itu tidak mungkin, Marina. Tidak semudah itu untuk memiliki suami yang baik seperti yang kita inginkan.""Tapi Bu....saya butuh status, meskipun hanya seorang janda, bukan sampah seperti ini," isaknya kemudian. "Saya masih tak mengerti, apakah kesalahan ini semua
Mereka sepakat untuk menguntit kemana Marina pergi. Dan benar saja, Marina memang datang mengambil uang di sebuah Bank. Mereka bahkan bisa memperkirakan berapa jumlah uang yang diambil Marina di bank tersebut."Kenapa Marina membutuhkan uang sebanyak itu?" gumam Mira yang sempat didengar Denny."Sudahlah, kita hanya butuh menguntit apa yang sebenarnya ia lakukan."Tak lama kemudian, wanita itu menuju sebuah restoran kecil di pinggir jalan tak jauh dari bank itu.Denny dan Mira tetap menguntit dan memperhatikan gerak gerik Marina yang terlihat gelisah seperti menunggu seseorang.Dan ternyata tak lama kemudian, seorang pria berhodie mendekati dan duduk di hadapan Marina.Marina menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada yang melihat pertemuan mereka. Marina tahu, ini tidak benar, tapi ia ingin mengungkapkan perasaannya pada pria itu saat ini."Heh, kau datang juga akhirnya," bisik pria itu menatap puas wanita di hadapannya. "Benar, aku datang dan membawa apa yang kau minta, Mas."
Suasana semakin riuh saat mengetahui bahwa Mira adalah orang yang paling berkuasa di perusahaan tersebut.Apa ini? Mereka semakin tak percaya. Bagaimana mungkin Denny yang begitu keras dalam berusaha ternyata tidak memiliki apapun di perusahaan.Begitu juga Danu. Ia semakin tak mengerti bagaimana mungkin keluarga mereka hanya memiliki tidak lebih dari dua puluh persen saham? Kemana uang yang mereka miliki selama ini? Apakah ada suatu permainan yang dimainkan Denny untuk mengalihkan hartanya kepada istrinya?Itulah sebabnya kenapa Denny begitu berat melepaskan perusahaan itu untuknya!Dan karena kenyataan itu, Danu sangat marah lalu iapun segera keluar ruangan untuk mencari udara segar."Mas, aku minta maaf perihal Mira tadi, tapi bukankah itu yang mas Danu inginkan? Mas Danu ingin menerima tanggung jawab ini dan istriku tidak mempermasalahkannya. Untuk itu, aku juga tidak masalah." "Kenapa kau berubah pikiran? Apa kau sudah merasa cukup puas dengan permainan kamu? Kalian mengalihkan
Marina tahu, ia telah bersalah, tapi untuk kali ini saja, ia akan menuruti kemauan Dika. Ia ingin bernapas sejenak dan setidaknya tidak merepotkan Mira untuk menghadapi Dika. Selain itu, keluarganya akan merasa aman dari gangguan Dika."Sungguh, Bu. Sungguh tidak terjadi apapun denganku. Aku hanya menangis karena merindukan keluarga sehingga terasa bengkak wajahku karena menangis," ujar Marina beralasan.Meskipun tak sepenuhnya percaya, Mira menerima saja alasan Marina."Baiklah, kalau begitu cepatlah beristirahat, dan jangan lupa untuk minum vitamin kehamilan supaya tubuhmu tidak terlalu lemah.""Baik, Bu. Terimakasih."***Hari ini, Denny mengadakan pertemuan dewan direksi masalah perwakilan direktur perusahaan yang akan dipegang Danu. Ia harus memberikan pengumuman dan penyerahan alih tugas sementara. Selagi menyiapkan, Danu datang dengan wajah kesal seperti biasa."Apa maksudmu dengan alih tugas sementara? Apa kau pikir aku selemah itu?" protesnya dengan melempar map berisi undan
Marina menahan perih teramat sangat, sedangkan hatinya lebih dari itu. Ingin rasanya ia mengambil pisau yang terselip di pinggang Dika lalu menghujam pria itu dengannya. Tapi ia merasa lemah dan takut dengan bentuk kekerasan seperti itu."Marina, kau harus mengambil langkah yang bagus untuk mengambil kekayaan Denny. Anggap saja tidak perlu buru-buru, sedikit demi sedikit juga bisa kita mulai. Kau tentu bisa melakukannya."Wanita itu masih dalam memegangi pipinya yang terasa panas, ia hanya mendengar ucapan Dika dengan ketidak pastian."Sekarang aku butuh uang lima juta saja untuk membeli motor bekas, tapi bulan depan aku harus membeli motor yang baru, bagaimana, ini adil untuk kita bukan?"Kali ini Marina menatap tajam tak percaya pada pria yang di hadapannya. Ia tak percaya Dika hanyalah monster bertubuh manusia tampan. Sisi hidupnya sangat gelap maka ia tidak akan mau berada di lingkup hidup pria ini sampai kapanpun."Kenapa? Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kau kira aku tidak
Denny mendengus, "Andaikan itu mudah bagiku, aku memilih untuk bersikap tidak perduli. Tapi bagaimana lagi jika itu sudah menyangkut istri cantikku?""Hehe, menggombal ya? Sudah baikan?" tanya Mira lembut. Tangannya menjangkau rahang suaminya dengan kasih sayang.Ya, ia memang akan merasa lebih baik dengan pelukan dan senyuman Mira yang indah. Akan tetapi setelah ia kembali dalam polemik hidupnya, ia merasa sangat ingin berlari dalam pelukan wanita ini. "Tentu saja. Aku akan semakin baik kalau kau selalu seperti ini, selalu bersikap lembut dan tersenyum.""Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke desa saja, Mas. Dan...aku sangat setuju kalau kamu menyerahkan perusahaan ini untuk Mas Danu."Atas ucapan Mira itu, Denny membelalakkan matanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa Mira tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini."Kenapa kita harus ke Desa? Apakah semudah itu menyerahkan perusahaan pada Mas Danu?""Iya, Mas. Setidaknya berikan kesempatan untuk mas Danu bangkit seperti kamu,. berik