"Kamu sangat sesuai dengan riasan ini. Lebih anggun dan menawan," ujarnya sambil menyelipkan anak rambut yang sempat menyembul lebih banyak, karena hijab yang dikenakan Imas memang bukan hijab yang sesungguhnya."Aish, kamu ini pinter menggombal ya," Imas terkikik dengan pujian Faza. Sambil berjalan memasuki mobil, mereka saling melemparkan senyuman.Denny yang bersembunyi di balik pepohonan, hanya bisa mengepalkan tangannya. Kali ini ia bisa merasakan, bagaimana tatapan Faza menatap penuh sayang pada calon tunangannya."Sial kamu Faza, kamu selalu saja menjadi orang yang menjadi masalah dalam hubunganku? Bahkan dengan Mira, kau juga berusaha menggodanya bukan? Ya, selama ini kamu selalu saja muncul diantara kami!" kesalnya."Dan kau Imas, apa yang kamu lakukan di belakangku? Kenapa kamu melakukan semua ini setelah apa yang terjadi?"Denny tak mengerti apa maksud Imas pergi dari rumah sementara mereka berjanji untuk bertemu dengan ayahnya. Sejak tadi ia lupa
Faza cemas, ia berharap Imas akan menyetujui apa yang ia inginkan. Kalau tidak, semua akan menjadi berantakan."Bagaimana, apakah kamu ternyata tidak siap untuk menjadi istri Faza?""Oh enggak, bukan begitu. Saya...ehmm saya siap.""Yes," Faza berdesis, seperti kejatuhan rezeki nomplok. "Faza, kamu dengar, dia bersedia menjadi istrimu, yang berarti kamu harus juga siap menanggung semua resikonya."Faza tersenyum, menyetujui syarat yang diberikan kakeknya.Usai acara tersebut, mereka berpamitan. Imas melempar penutup kepala asal di mobil seketika. Ia sangat kesal karena harus berperan menjadi calon istri Faza."Hei bocah! Kalau becanda jangan kelewatan ya! Kamu bikin aku mau mati berdiri, Faza!" teriak Imas memaki Faza. "Kamu lihat nggak sih gimana muka-muka keluarga kamu itu menguliti aku? Kamu liat nggak kalau kakek kamu menginterogasi aku nggak ada habisnya?!"Imas tak berhenti mengoceh, sampai-sampai tak menyadari kemana Faza sedang memb
'Ya Tuhan, tolong aku,' bisik hati Imas karena tidak bisa lari lagi dari jebakan Faza. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti permainan Faza.Setelah mereka duduk di hadapan sang kakek, keadaan semakin menegang. Bisik-bisik keluarga itu masih terdengar di telinga Imas."Oh, gegara perempuan ini ya Faza nggak mau dijodohkan dengan Aulia? Meskipun lebih cantik, sepertinya dia nggak sebanding dengan Aulia. Buat apa cantik kalau nggak jadi wanita taat," celotehan itu mengalir begitu saja di telinga Imas.'Heh, sial! Kalau saja aku tidak di ruangan ini, aku pasti sudah mendamprat orang yang meremehkan aku, memangnya siapa dia berhak mengomentari aku?' Pemberontakan dalam hatinya membuat tangannya meremas kuat."Iya, Mas Faza paling sudah kena pelet sama perempuan ini. Aku dengar dia itu seorang janda loh," sahut yang lainnya.Cuping telinga Imas memanas, baru kali ini ia direndahkan habis-habisan. Sepertinya cara pandang seseorang yang berbeda, membu
Rasanya tak percaya harus berhadapan dengan pemuda gila.Meskipun ia menyukai Faza, akan tetapi itu bukanlah sebuah komitmen. Ia tak berencana untuk serius dengan pria itu. Banyak hal.yang sudah ia pertimbangkan masak-masak, terutama karena Denny dan dirinya telah sepakat untuk menikah setelah perceraian.Akan tetapi ia tidak memungkiri perasaannya yang semakin nyaman dengan kehadiran Faza.***Setelah Denny berusaha mencari keberadaan Mira di Jakarta dan tidak menemukannya, Denny berinisiatif untuk mencari Mira di Desa. Ia yakin, Mira pasti ada di Desa kalau memang dia dalam kondisi hamil.Maka dari itu ia harus segera pergi ke desa dan membawa segala macam oleh-oleh untuk keluarga Mira dan juga Mira sendiri."Hmm, kamu pasti akan sangat terkejut dengan kedatanganku, Mira. Aku akan datang untuk melihat bagaimana anakku tumbuh bersamamu. Kamu tidak bisa lagi menyembunyikan dariku karena itu adalah anakku."Gemelitik rasa menggugah Denny sebagai seora
Denny menjadi gugup dengan pertanyaan tersebut.Haruskah ia mengatakan hubungan mereka berdua yang telah kandas?"Saya, saya suaminya dari Jakarta, Pak.""Suaminya? Kok kamu nggak tahu rumah istri kamu? Yang bener aja? Apa kamu ngaku-ngaku jadi suaminya setelah dia kaya raya?" nyinyir pria itu. Ia merasa tak masuk akal karena suami tidak tahu rumah istrinya."Bukan begitu, Pak. Saya mau jemput, eh malah lupa jalannya.""Kalau begitu telpon saja nomernya. Dia pasti bisa menjelaskan dan memberi kamu lokasinya. Sekarang sudah bukan jamannya blusukan tanpa share lokasi.'Denny kebingungan menjawab cecaran pria itu. Memang sedikit mencurigakan, tapi ia harus berhasil mendapatkan rumah Mira."Iya, Pak. Hanya saja, ponselnya sepertinya mati. Oh ya, memangnya Mira yang bapak maksud itu kaya raya?""Iya, dia sangat kaya sekarang. Setahun yang lalu, kebunnya menghasilkan emas sangat banyak, sehingga dia kaya mendadak. Yang itu bukan?"Denny termenung,
Baru saja satu langkah masuk.ke dalam pagar, nenek Suminten malah berjalan keluar melongok keluar pagar mencari-cari ke arah mobil Denny yang terparkir di pinggir jalan, seperti mencari seseorang."Denny, mana Mira? Apa kamu pulang sendirian? Kenapa Mira nggak diajak? Nenek sudah kangen loh sama cucu nenek," kata wanita tua itu masih tetap berdiri di pagar. Wanita itu bahkan berjalan mengintip ke dalam mobil karena merasa ada yang kurang.Mendengar itu sontak Denny terkejut, ia berbalik melihat ke Nenek Suminten dengan gugup.Tujuannya bersusah payah ke desa adalah untuk menemui Mira karena sudah mencari keberadaan Mira di Jakarta tidak menemukannya. Dan sekarang, wanita itu ternyata belum pernah pulang ke rumah? Bagaimana kalau mereka ketahuan bercerai?'Astaga, apa yang harus aku katakan?' bisiknya dalam hati, merasa waspada dan gelisah."Eh, anu Nek, Mira tidak bisa ikut karena sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, dia menitipkan sesuatu untuk disampaikan pada
["Mi-Mira? Bukankah kamu Mira?"] suara Denny bergetar mendengar siapa yang menghubunginya.["Iya, Mas. Aku Mira. Kamu masih ingat suaraku dengan baik, Mas?] jawab Mira tenang.["Tentu saja Mira, tentu saja aku masih ingat dengan suaramu. Tapi... bagaimana kamu ..."]["Kenapa? Nenek baru saja menelponku, katanya dia heran dengan oleh-oleh yang aku kirimkan untuknya. Nenek tidak suka dengan dodol aroma durian, Mas. Dia bisa muntah kalau mencium aromanya. Itulah sebabnya nenek nelpon, bertanya apa aku tidak salah beli untuknya."] terang Mira. Sebab, si mbok memang kecewa dengan oleh-oleh tersebut dan merasa heran. Mira beralasan, kemungkinan besar karena Denny salah membeli.["Oh, maaf, Mira. Maaf kalau aku tidak pernah tahu. Aku kira, sama dengan nenekku yang sangat menyukai aroma durian."] katanya sedikit menyesal. Bodohnya selama ini ia tak perduli dengan oleh-oleh untuk keluarga Mira.["Jadi...apa yang kamu lakukan, Mas? Kenapa kamu ada di kampungku? Apa ka
Imas menunggu dengan gusar untuk mendapatkan balasan pesan dari Denny. Wanita itu akhirnya membanting ponselnya di sofa yang ia duduki. "Ada apa denganmu sebenarnya, Mas?" lirihnya merasa resah.Denny menghilang, dan Magdalena merahasiakan sesuatu darinya. Ia mulai curiga ada yang tidak beres. "Bu, Mas Denny nggak ada di kantor, nggak ada juga di rumahnya. Sebenarnya kemana sih mas Denny pergi?" tanya Imas pada Magdalena tadi pagi, ia sengaja datang mencari Denny untuk membahas kondisi tadi malam dimana ayahnya marah karena Denny tidak muncul.Ditanya begitu, Magdalena kelabakan."Eh, kerja... bukannya dia kerja, Imas?" jawab wanita itu dengan gugup. "Emangnya kemana lagi?'"Ini kan masih pagi, kerja kemana memangnya, Bu?""Oh, kalau itu..ibu nggak tahu Imas. Coba kamu telpon saja Denny, seharusnya dia menghubungi kamu, bukan?"Imas merasakan perbedaan dari sikap dan intonasi Magdalena. Itu artinya ada sesuatu yang belum terkuak."Baiklah,
Sugesti di masa kecil yang absurd seperti potongan kenangan yang unik untuk diingat.Seperti bagaimana biji semangka yang tertelan akan tumbuh dan berakar di dalam perut, mengeluarkan tangkai dan daun dari telinganya dan hidung lalu berbuah di puncak kepala. Begitulah seorang anak digiring dalam sebuah pemikiran tak masuk akal bahkan hanya karena sebuah nama."Apa kau terpengaruh?""Tentu saja. Sepertinya itu berhasil karena aku percaya dengan ibuku. Hahaha," Denny tergelak lagi karena konyolnya pemikiran saat itu.Mereka terlihat serasi dan bahagia."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Denny kemudian melihat Mira meminta pendapat soal rencana yang sebenarnya sudah mereka buat."Uhmm pertama, aku mau buat adik untuk Azrah, ini adalah tujuan yang paling bagus untuk dilakukan. Apa aku salah?""Haish... selalu saja cari keuntungan."Denny hanya nyengir, sementara ia tetap fokus berkendara."Rencana kedua adalah membangun usaha toko di pasar tradisional dan selanjutnya akan menjadi
Mira dan juga Denny sangat panik dan segera membawa Marina ketempat yang nyaman di dalam mobil.Mereka membawa pulang wanita itu dan memindahkannya ke kamar.Mira sangat iba melihatnya. Ia bisa merasakan Marina sangat terluka. Ia sangat mengerti bahwa Marina sangat mencintai Dika."Mira, sejak tadi kau melamun, apa yang kamu pikirkan?" tegur Denny karena Mira hanya termenung menatap wajah Marina."Selalu ada yang membuat wanita terluka sampai seperti ini. Apakah lelaki nggak tahu kalau wanita itu cuma makhluk yang lemah. Saat mencintai, dia sangat mudah dikhianati. Saat setia, pria tidak menyadari dan saat terluka ia hanya bisa menangis menyalahkan dirinya sendiri yang tak sempurna. Hanya saja, meskipun sangat lemah...wanita mampu bertahan dalam situasi seperti ini," ujarnya pelan, seolah mengenang apa yang dialaminya dulu.Saat itu Denny mengabaikan segala yang ia miliki. Cinta dan ketabahannya harus berakhir dengan selembar surat cerai.Akan tetapi Marina...dia mendapat selembar sur
"Aku membebaskan kamu, tapi kamu kembalikan kerugian yang sudah kamu tumbukan sejak awal, bagaimana?""Hah, omong kosong! Kau kira aku percaya?""Tidak. Kau tidak perlu percaya. Karen aku juga yakin kamu tidak punya uang untuk melakukannya. Kau kan cuma bisa memeras perempuan, mana mungkin bisa kembalikan uang sebanyak itu. Tapi...aku bisa sih mengurangi dakwaan soal pemerasan kamu yang terakhir, dengan syarat kamu ikuti permainan kami."Dika meremas tangannya kuat, sebab, dakwaan soal pemerasan uang itu berbuntut panjang. Marina minta uang itu dikembalikan tiga kali lipat berikut biaya persalinannya kelak."Aku tidak memeras, tapi dia yang memberikan.""Marina juga mendapatkan tamparan keras darimu, apa itu juga bisa dilaporkan tindak kekerasan? Ah Dika, sangat banyak catatan kriminal yang kau lakukan," ejek Denny. "Mungkin hukuman lima belas tahun penjara tidak cukup untuk kamu.""Jadi apa maumu?!" kali ini Dika terlihat menyerah.Denny tersenyum menang. Ia sudah membaca gelagat Dik
Seperti yang dikatakan Mira, polisi memang sudah berhasil meringkus Dika sehingga mereka mendapatkan pemberitahuan keesokan harinya.Mira segera menemui Marina dan menceritakan apa yang telah ia lakukan untuk Dika."Marina, aku minta maaf karena terpaksa menguntit kepergian kamu ke bank. Dan inilah akhirnya, kami memutuskan penyelesaian dengan polisi saja.*Marina menunduk dalam. Sepertinya ia ragu menyetujui tindakan Mira."Kau masih menyukai Dika, Marina? Apakah pria itu layak untuk wanita sebaik kamu?"Marina masih tak menjawab. Dilema di hatinya saat ini adalah soal harga dirinya yang hancur. Bagaimana mungkin ia melahirkan tanpa seorang suami, apa yang akan ia lakukan?"Kau berpikir bahwa Dika akan menikahi kamu, Marina? Itu tidak mungkin, Marina. Tidak semudah itu untuk memiliki suami yang baik seperti yang kita inginkan.""Tapi Bu....saya butuh status, meskipun hanya seorang janda, bukan sampah seperti ini," isaknya kemudian. "Saya masih tak mengerti, apakah kesalahan ini semua
Mereka sepakat untuk menguntit kemana Marina pergi. Dan benar saja, Marina memang datang mengambil uang di sebuah Bank. Mereka bahkan bisa memperkirakan berapa jumlah uang yang diambil Marina di bank tersebut."Kenapa Marina membutuhkan uang sebanyak itu?" gumam Mira yang sempat didengar Denny."Sudahlah, kita hanya butuh menguntit apa yang sebenarnya ia lakukan."Tak lama kemudian, wanita itu menuju sebuah restoran kecil di pinggir jalan tak jauh dari bank itu.Denny dan Mira tetap menguntit dan memperhatikan gerak gerik Marina yang terlihat gelisah seperti menunggu seseorang.Dan ternyata tak lama kemudian, seorang pria berhodie mendekati dan duduk di hadapan Marina.Marina menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada yang melihat pertemuan mereka. Marina tahu, ini tidak benar, tapi ia ingin mengungkapkan perasaannya pada pria itu saat ini."Heh, kau datang juga akhirnya," bisik pria itu menatap puas wanita di hadapannya. "Benar, aku datang dan membawa apa yang kau minta, Mas."
Suasana semakin riuh saat mengetahui bahwa Mira adalah orang yang paling berkuasa di perusahaan tersebut.Apa ini? Mereka semakin tak percaya. Bagaimana mungkin Denny yang begitu keras dalam berusaha ternyata tidak memiliki apapun di perusahaan.Begitu juga Danu. Ia semakin tak mengerti bagaimana mungkin keluarga mereka hanya memiliki tidak lebih dari dua puluh persen saham? Kemana uang yang mereka miliki selama ini? Apakah ada suatu permainan yang dimainkan Denny untuk mengalihkan hartanya kepada istrinya?Itulah sebabnya kenapa Denny begitu berat melepaskan perusahaan itu untuknya!Dan karena kenyataan itu, Danu sangat marah lalu iapun segera keluar ruangan untuk mencari udara segar."Mas, aku minta maaf perihal Mira tadi, tapi bukankah itu yang mas Danu inginkan? Mas Danu ingin menerima tanggung jawab ini dan istriku tidak mempermasalahkannya. Untuk itu, aku juga tidak masalah." "Kenapa kau berubah pikiran? Apa kau sudah merasa cukup puas dengan permainan kamu? Kalian mengalihkan
Marina tahu, ia telah bersalah, tapi untuk kali ini saja, ia akan menuruti kemauan Dika. Ia ingin bernapas sejenak dan setidaknya tidak merepotkan Mira untuk menghadapi Dika. Selain itu, keluarganya akan merasa aman dari gangguan Dika."Sungguh, Bu. Sungguh tidak terjadi apapun denganku. Aku hanya menangis karena merindukan keluarga sehingga terasa bengkak wajahku karena menangis," ujar Marina beralasan.Meskipun tak sepenuhnya percaya, Mira menerima saja alasan Marina."Baiklah, kalau begitu cepatlah beristirahat, dan jangan lupa untuk minum vitamin kehamilan supaya tubuhmu tidak terlalu lemah.""Baik, Bu. Terimakasih."***Hari ini, Denny mengadakan pertemuan dewan direksi masalah perwakilan direktur perusahaan yang akan dipegang Danu. Ia harus memberikan pengumuman dan penyerahan alih tugas sementara. Selagi menyiapkan, Danu datang dengan wajah kesal seperti biasa."Apa maksudmu dengan alih tugas sementara? Apa kau pikir aku selemah itu?" protesnya dengan melempar map berisi undan
Marina menahan perih teramat sangat, sedangkan hatinya lebih dari itu. Ingin rasanya ia mengambil pisau yang terselip di pinggang Dika lalu menghujam pria itu dengannya. Tapi ia merasa lemah dan takut dengan bentuk kekerasan seperti itu."Marina, kau harus mengambil langkah yang bagus untuk mengambil kekayaan Denny. Anggap saja tidak perlu buru-buru, sedikit demi sedikit juga bisa kita mulai. Kau tentu bisa melakukannya."Wanita itu masih dalam memegangi pipinya yang terasa panas, ia hanya mendengar ucapan Dika dengan ketidak pastian."Sekarang aku butuh uang lima juta saja untuk membeli motor bekas, tapi bulan depan aku harus membeli motor yang baru, bagaimana, ini adil untuk kita bukan?"Kali ini Marina menatap tajam tak percaya pada pria yang di hadapannya. Ia tak percaya Dika hanyalah monster bertubuh manusia tampan. Sisi hidupnya sangat gelap maka ia tidak akan mau berada di lingkup hidup pria ini sampai kapanpun."Kenapa? Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kau kira aku tidak
Denny mendengus, "Andaikan itu mudah bagiku, aku memilih untuk bersikap tidak perduli. Tapi bagaimana lagi jika itu sudah menyangkut istri cantikku?""Hehe, menggombal ya? Sudah baikan?" tanya Mira lembut. Tangannya menjangkau rahang suaminya dengan kasih sayang.Ya, ia memang akan merasa lebih baik dengan pelukan dan senyuman Mira yang indah. Akan tetapi setelah ia kembali dalam polemik hidupnya, ia merasa sangat ingin berlari dalam pelukan wanita ini. "Tentu saja. Aku akan semakin baik kalau kau selalu seperti ini, selalu bersikap lembut dan tersenyum.""Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke desa saja, Mas. Dan...aku sangat setuju kalau kamu menyerahkan perusahaan ini untuk Mas Danu."Atas ucapan Mira itu, Denny membelalakkan matanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa Mira tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini."Kenapa kita harus ke Desa? Apakah semudah itu menyerahkan perusahaan pada Mas Danu?""Iya, Mas. Setidaknya berikan kesempatan untuk mas Danu bangkit seperti kamu,. berik