Baru saja satu langkah masuk.ke dalam pagar, nenek Suminten malah berjalan keluar melongok keluar pagar mencari-cari ke arah mobil Denny yang terparkir di pinggir jalan, seperti mencari seseorang."Denny, mana Mira? Apa kamu pulang sendirian? Kenapa Mira nggak diajak? Nenek sudah kangen loh sama cucu nenek," kata wanita tua itu masih tetap berdiri di pagar. Wanita itu bahkan berjalan mengintip ke dalam mobil karena merasa ada yang kurang.Mendengar itu sontak Denny terkejut, ia berbalik melihat ke Nenek Suminten dengan gugup.Tujuannya bersusah payah ke desa adalah untuk menemui Mira karena sudah mencari keberadaan Mira di Jakarta tidak menemukannya. Dan sekarang, wanita itu ternyata belum pernah pulang ke rumah? Bagaimana kalau mereka ketahuan bercerai?'Astaga, apa yang harus aku katakan?' bisiknya dalam hati, merasa waspada dan gelisah."Eh, anu Nek, Mira tidak bisa ikut karena sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, dia menitipkan sesuatu untuk disampaikan pada
["Mi-Mira? Bukankah kamu Mira?"] suara Denny bergetar mendengar siapa yang menghubunginya.["Iya, Mas. Aku Mira. Kamu masih ingat suaraku dengan baik, Mas?] jawab Mira tenang.["Tentu saja Mira, tentu saja aku masih ingat dengan suaramu. Tapi... bagaimana kamu ..."]["Kenapa? Nenek baru saja menelponku, katanya dia heran dengan oleh-oleh yang aku kirimkan untuknya. Nenek tidak suka dengan dodol aroma durian, Mas. Dia bisa muntah kalau mencium aromanya. Itulah sebabnya nenek nelpon, bertanya apa aku tidak salah beli untuknya."] terang Mira. Sebab, si mbok memang kecewa dengan oleh-oleh tersebut dan merasa heran. Mira beralasan, kemungkinan besar karena Denny salah membeli.["Oh, maaf, Mira. Maaf kalau aku tidak pernah tahu. Aku kira, sama dengan nenekku yang sangat menyukai aroma durian."] katanya sedikit menyesal. Bodohnya selama ini ia tak perduli dengan oleh-oleh untuk keluarga Mira.["Jadi...apa yang kamu lakukan, Mas? Kenapa kamu ada di kampungku? Apa ka
Imas menunggu dengan gusar untuk mendapatkan balasan pesan dari Denny. Wanita itu akhirnya membanting ponselnya di sofa yang ia duduki. "Ada apa denganmu sebenarnya, Mas?" lirihnya merasa resah.Denny menghilang, dan Magdalena merahasiakan sesuatu darinya. Ia mulai curiga ada yang tidak beres. "Bu, Mas Denny nggak ada di kantor, nggak ada juga di rumahnya. Sebenarnya kemana sih mas Denny pergi?" tanya Imas pada Magdalena tadi pagi, ia sengaja datang mencari Denny untuk membahas kondisi tadi malam dimana ayahnya marah karena Denny tidak muncul.Ditanya begitu, Magdalena kelabakan."Eh, kerja... bukannya dia kerja, Imas?" jawab wanita itu dengan gugup. "Emangnya kemana lagi?'"Ini kan masih pagi, kerja kemana memangnya, Bu?""Oh, kalau itu..ibu nggak tahu Imas. Coba kamu telpon saja Denny, seharusnya dia menghubungi kamu, bukan?"Imas merasakan perbedaan dari sikap dan intonasi Magdalena. Itu artinya ada sesuatu yang belum terkuak."Baiklah,
Si Mbok mengira ucapan "sayang" itu untuk cucunya yang sangat disayanginya. Akan tetapi sebenarnya wanita tua itu tidak tahu apa yang terjadi."Mbok, saya juga sangat menyayangi Mira dan berharap Mira bahagia.""Ah, syukurlah. Allah memang tidak tidur. Bahkan dari sebab berkah Mira, kebun peninggalan orang tuanya menghasilkan banyak uang. Meskipun begitu, Mira tidak pernah menjadi orang yang sombong dan membanggakan kekayaannya. Dia masih sama, masih rendah hati dan suka menolong orang lain," kisah Si mbok membuat Denny semakin ingin tahu."Maksud Mbok, kebun itu sungguh banyak menghasilkan emas?"Ditanya seperti itu, si mbok malah menautkan alisnya karena heran. Ia heran, tak percaya kalau Denny tidak tahu menahu soal ladang emas itu.Rasanya tidak mungkin!"Denny, apa kamu tidak mempercayai istrimu sendiri?" di mbok menatap lekat pada Denny.***Imas merenung di kantin perusahaan. Ia merasa ada yang salah dengan Denny. Setelah percakapan singka
Sebenarnya Faza menyimpulkan kehidupan Imas yang menyedihkan. Wanita ini telah dinikahi seorang pria gay yang menjadikan dirinya sebagai seorang pelayan pasangan gay tersebut.Faza bisa merasakan kelamnya pandangan dan perasaan wanita ini terhadap sebuah pernikahan. Untuk itu, Imas merasa harus merebut Denny kembali dan menikahinya. Akan tetapi Faza ternyata tidak bisa merelakan hal itu.Ia masih berharap, takdir bisa menyatukan mereka.Di sisi lain, ia harus berusaha keras untuk Imas berada dalam posisinya, menjadi seorang wanita yang taat beragama, sesuai dengan kesadaran wanita itu sendiri, tanpa paksaan."Imas, apa kamu begitu mencintai Denny? Bahkan kamu sudah tahu kalau Denny sudah menikah dengan wanita baik seperti Mira?"Imas memiringkan kepalanya, menatap lekat Faza di sampingnya."Kamu bilang wanita baik barusan ini? Ck," Imas berdecak kesal."Iya, aku sangat mengenalnya karena sebenarnya dia teman sekolahku.""Apa? Teman sekolah kamu?
Akan tetapi bersama Faza adalah sesuatu yang berbeda. Baginya itu hanya hubungan seorang teman atau bahkan seperti seorang sahabat. Faza masih muda, masih lajang dan juga pria baik-baik. Kehidupan latar belakang keluarga juga sangat berbeda. Akan lebih baik kalau persahabatan itu adalah saling memahami satu sama yang lainnya."Aku mengerti, dan aku juga tidak bisa berharap lebih bukan?"Imas menatap bingung, "Apa maksudmu dengan berharap lebih?""Ah sudahlah, kita ke kios mie ayam dulu, aku sudah lapar banget," ujarnya dan menggandeng tangan Imas untuk pergi. Hati Imas bisa merasakan debaran halus yang merayap begitu mendesir. Ia merasa gelagat Faza mulai mencurigakan. Ia mulai mengingat kembali bagaimana Faza selalu memperlakukan dirinya.'Mungkinkah... pengakuan di hadapan kakeknya adalah keinginan yang sebenarnya?' batin Imas bergolak. 'Tidak, ini tidak bisa diteruskan atau semuanya menjadi berantakan!' Seketika Imas menghentikan langkahnya, menatap taja
Imas tertegun, mendengar ucapan Denny yang tidak seperti biasanya. Suara Denny terdengar tidak bersahabat dan terkesan marah. Ada apa sebenarnya?["Mas, apa maksud ucapan kamu ini? Bebas? Bebas seperti apa yang kamu maksudkan?"]["Jangan pura-pura nggak ngerti ya, aku penasaran, wanita seperti apakah kamu ini sebenarnya."]Imas semakin bingung, apa yang Denny pikirkan tentang dirinya?["Jangan berbelit-belit, Mas. Kamu bicara seolah kamu sedang marah denganku, tapi apa salahku?"]["Oh, jadi kamu nggak tahu ya apa salah kamu? Itulah nilai kamu sebenarnya, aku baru menyadari bahwa hidupmu terbiasa dengan kebebasan!"]Darah Denny mendidih sampai ke ubun-ubun sehingga ia memutuskan panggilan supaya bisa mengendalikan emosinya.Mengingat bagaimana melihat Imas bersama Faza dan bermesraan, hatinya mulai goyah."Aku akan membuat perhitungan denganmu Imas," gumamnya.Lalu ia melangkah pulang ke rumah yang dulu ia tempati bersama Imas. Tadinya Imas me
Hari pernikahan Imas yang semakin dekat, membuat Faza semakin terlihat cemas. Pria itu berdiri melamun di sebuah kafe dekat dengan perusahaan Denny, memikirkan bagaimana ia bisa menghapus perasaannya pada wanita itu, haruskah ia menyerah begitu saja?Secara kebetulan juga, Denny melihat Faza di kejauhan dari mobilnya. Lalu iapun turun dan berjalan mendekati Faza di kafe tersebut.Denny melihat bagaimana wajah Faza yang terlihat muram dan termenung sendiri.Setelah dekat,"Aku jadi penasaran, laki-laki macam kamu ini sepertinya selalu terobsesi dengan istriku dan sekarang dengan calon istriku," kata Denny membuyarkan lamunan Faza. "Hei bung, sadar dikit dong, berhati-hati kalau kamu main api," lanjut Denny menyindir.Faza masih belum merespon, ia tidak pernah berpikir Denny mengetahui kalau mereka, antara dirinya dengan Imas, sering bersama-sama.'Ataukah Denny memang mengetahui sesuatu?' batinnya."Kalau saja bisa, aku akan memintanya darimu.""H
Sugesti di masa kecil yang absurd seperti potongan kenangan yang unik untuk diingat.Seperti bagaimana biji semangka yang tertelan akan tumbuh dan berakar di dalam perut, mengeluarkan tangkai dan daun dari telinganya dan hidung lalu berbuah di puncak kepala. Begitulah seorang anak digiring dalam sebuah pemikiran tak masuk akal bahkan hanya karena sebuah nama."Apa kau terpengaruh?""Tentu saja. Sepertinya itu berhasil karena aku percaya dengan ibuku. Hahaha," Denny tergelak lagi karena konyolnya pemikiran saat itu.Mereka terlihat serasi dan bahagia."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Denny kemudian melihat Mira meminta pendapat soal rencana yang sebenarnya sudah mereka buat."Uhmm pertama, aku mau buat adik untuk Azrah, ini adalah tujuan yang paling bagus untuk dilakukan. Apa aku salah?""Haish... selalu saja cari keuntungan."Denny hanya nyengir, sementara ia tetap fokus berkendara."Rencana kedua adalah membangun usaha toko di pasar tradisional dan selanjutnya akan menjadi
Mira dan juga Denny sangat panik dan segera membawa Marina ketempat yang nyaman di dalam mobil.Mereka membawa pulang wanita itu dan memindahkannya ke kamar.Mira sangat iba melihatnya. Ia bisa merasakan Marina sangat terluka. Ia sangat mengerti bahwa Marina sangat mencintai Dika."Mira, sejak tadi kau melamun, apa yang kamu pikirkan?" tegur Denny karena Mira hanya termenung menatap wajah Marina."Selalu ada yang membuat wanita terluka sampai seperti ini. Apakah lelaki nggak tahu kalau wanita itu cuma makhluk yang lemah. Saat mencintai, dia sangat mudah dikhianati. Saat setia, pria tidak menyadari dan saat terluka ia hanya bisa menangis menyalahkan dirinya sendiri yang tak sempurna. Hanya saja, meskipun sangat lemah...wanita mampu bertahan dalam situasi seperti ini," ujarnya pelan, seolah mengenang apa yang dialaminya dulu.Saat itu Denny mengabaikan segala yang ia miliki. Cinta dan ketabahannya harus berakhir dengan selembar surat cerai.Akan tetapi Marina...dia mendapat selembar sur
"Aku membebaskan kamu, tapi kamu kembalikan kerugian yang sudah kamu tumbukan sejak awal, bagaimana?""Hah, omong kosong! Kau kira aku percaya?""Tidak. Kau tidak perlu percaya. Karen aku juga yakin kamu tidak punya uang untuk melakukannya. Kau kan cuma bisa memeras perempuan, mana mungkin bisa kembalikan uang sebanyak itu. Tapi...aku bisa sih mengurangi dakwaan soal pemerasan kamu yang terakhir, dengan syarat kamu ikuti permainan kami."Dika meremas tangannya kuat, sebab, dakwaan soal pemerasan uang itu berbuntut panjang. Marina minta uang itu dikembalikan tiga kali lipat berikut biaya persalinannya kelak."Aku tidak memeras, tapi dia yang memberikan.""Marina juga mendapatkan tamparan keras darimu, apa itu juga bisa dilaporkan tindak kekerasan? Ah Dika, sangat banyak catatan kriminal yang kau lakukan," ejek Denny. "Mungkin hukuman lima belas tahun penjara tidak cukup untuk kamu.""Jadi apa maumu?!" kali ini Dika terlihat menyerah.Denny tersenyum menang. Ia sudah membaca gelagat Dik
Seperti yang dikatakan Mira, polisi memang sudah berhasil meringkus Dika sehingga mereka mendapatkan pemberitahuan keesokan harinya.Mira segera menemui Marina dan menceritakan apa yang telah ia lakukan untuk Dika."Marina, aku minta maaf karena terpaksa menguntit kepergian kamu ke bank. Dan inilah akhirnya, kami memutuskan penyelesaian dengan polisi saja.*Marina menunduk dalam. Sepertinya ia ragu menyetujui tindakan Mira."Kau masih menyukai Dika, Marina? Apakah pria itu layak untuk wanita sebaik kamu?"Marina masih tak menjawab. Dilema di hatinya saat ini adalah soal harga dirinya yang hancur. Bagaimana mungkin ia melahirkan tanpa seorang suami, apa yang akan ia lakukan?"Kau berpikir bahwa Dika akan menikahi kamu, Marina? Itu tidak mungkin, Marina. Tidak semudah itu untuk memiliki suami yang baik seperti yang kita inginkan.""Tapi Bu....saya butuh status, meskipun hanya seorang janda, bukan sampah seperti ini," isaknya kemudian. "Saya masih tak mengerti, apakah kesalahan ini semua
Mereka sepakat untuk menguntit kemana Marina pergi. Dan benar saja, Marina memang datang mengambil uang di sebuah Bank. Mereka bahkan bisa memperkirakan berapa jumlah uang yang diambil Marina di bank tersebut."Kenapa Marina membutuhkan uang sebanyak itu?" gumam Mira yang sempat didengar Denny."Sudahlah, kita hanya butuh menguntit apa yang sebenarnya ia lakukan."Tak lama kemudian, wanita itu menuju sebuah restoran kecil di pinggir jalan tak jauh dari bank itu.Denny dan Mira tetap menguntit dan memperhatikan gerak gerik Marina yang terlihat gelisah seperti menunggu seseorang.Dan ternyata tak lama kemudian, seorang pria berhodie mendekati dan duduk di hadapan Marina.Marina menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada yang melihat pertemuan mereka. Marina tahu, ini tidak benar, tapi ia ingin mengungkapkan perasaannya pada pria itu saat ini."Heh, kau datang juga akhirnya," bisik pria itu menatap puas wanita di hadapannya. "Benar, aku datang dan membawa apa yang kau minta, Mas."
Suasana semakin riuh saat mengetahui bahwa Mira adalah orang yang paling berkuasa di perusahaan tersebut.Apa ini? Mereka semakin tak percaya. Bagaimana mungkin Denny yang begitu keras dalam berusaha ternyata tidak memiliki apapun di perusahaan.Begitu juga Danu. Ia semakin tak mengerti bagaimana mungkin keluarga mereka hanya memiliki tidak lebih dari dua puluh persen saham? Kemana uang yang mereka miliki selama ini? Apakah ada suatu permainan yang dimainkan Denny untuk mengalihkan hartanya kepada istrinya?Itulah sebabnya kenapa Denny begitu berat melepaskan perusahaan itu untuknya!Dan karena kenyataan itu, Danu sangat marah lalu iapun segera keluar ruangan untuk mencari udara segar."Mas, aku minta maaf perihal Mira tadi, tapi bukankah itu yang mas Danu inginkan? Mas Danu ingin menerima tanggung jawab ini dan istriku tidak mempermasalahkannya. Untuk itu, aku juga tidak masalah." "Kenapa kau berubah pikiran? Apa kau sudah merasa cukup puas dengan permainan kamu? Kalian mengalihkan
Marina tahu, ia telah bersalah, tapi untuk kali ini saja, ia akan menuruti kemauan Dika. Ia ingin bernapas sejenak dan setidaknya tidak merepotkan Mira untuk menghadapi Dika. Selain itu, keluarganya akan merasa aman dari gangguan Dika."Sungguh, Bu. Sungguh tidak terjadi apapun denganku. Aku hanya menangis karena merindukan keluarga sehingga terasa bengkak wajahku karena menangis," ujar Marina beralasan.Meskipun tak sepenuhnya percaya, Mira menerima saja alasan Marina."Baiklah, kalau begitu cepatlah beristirahat, dan jangan lupa untuk minum vitamin kehamilan supaya tubuhmu tidak terlalu lemah.""Baik, Bu. Terimakasih."***Hari ini, Denny mengadakan pertemuan dewan direksi masalah perwakilan direktur perusahaan yang akan dipegang Danu. Ia harus memberikan pengumuman dan penyerahan alih tugas sementara. Selagi menyiapkan, Danu datang dengan wajah kesal seperti biasa."Apa maksudmu dengan alih tugas sementara? Apa kau pikir aku selemah itu?" protesnya dengan melempar map berisi undan
Marina menahan perih teramat sangat, sedangkan hatinya lebih dari itu. Ingin rasanya ia mengambil pisau yang terselip di pinggang Dika lalu menghujam pria itu dengannya. Tapi ia merasa lemah dan takut dengan bentuk kekerasan seperti itu."Marina, kau harus mengambil langkah yang bagus untuk mengambil kekayaan Denny. Anggap saja tidak perlu buru-buru, sedikit demi sedikit juga bisa kita mulai. Kau tentu bisa melakukannya."Wanita itu masih dalam memegangi pipinya yang terasa panas, ia hanya mendengar ucapan Dika dengan ketidak pastian."Sekarang aku butuh uang lima juta saja untuk membeli motor bekas, tapi bulan depan aku harus membeli motor yang baru, bagaimana, ini adil untuk kita bukan?"Kali ini Marina menatap tajam tak percaya pada pria yang di hadapannya. Ia tak percaya Dika hanyalah monster bertubuh manusia tampan. Sisi hidupnya sangat gelap maka ia tidak akan mau berada di lingkup hidup pria ini sampai kapanpun."Kenapa? Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kau kira aku tidak
Denny mendengus, "Andaikan itu mudah bagiku, aku memilih untuk bersikap tidak perduli. Tapi bagaimana lagi jika itu sudah menyangkut istri cantikku?""Hehe, menggombal ya? Sudah baikan?" tanya Mira lembut. Tangannya menjangkau rahang suaminya dengan kasih sayang.Ya, ia memang akan merasa lebih baik dengan pelukan dan senyuman Mira yang indah. Akan tetapi setelah ia kembali dalam polemik hidupnya, ia merasa sangat ingin berlari dalam pelukan wanita ini. "Tentu saja. Aku akan semakin baik kalau kau selalu seperti ini, selalu bersikap lembut dan tersenyum.""Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke desa saja, Mas. Dan...aku sangat setuju kalau kamu menyerahkan perusahaan ini untuk Mas Danu."Atas ucapan Mira itu, Denny membelalakkan matanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa Mira tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini."Kenapa kita harus ke Desa? Apakah semudah itu menyerahkan perusahaan pada Mas Danu?""Iya, Mas. Setidaknya berikan kesempatan untuk mas Danu bangkit seperti kamu,. berik