Denny menjadi gugup dengan pertanyaan tersebut.Haruskah ia mengatakan hubungan mereka berdua yang telah kandas?"Saya, saya suaminya dari Jakarta, Pak.""Suaminya? Kok kamu nggak tahu rumah istri kamu? Yang bener aja? Apa kamu ngaku-ngaku jadi suaminya setelah dia kaya raya?" nyinyir pria itu. Ia merasa tak masuk akal karena suami tidak tahu rumah istrinya."Bukan begitu, Pak. Saya mau jemput, eh malah lupa jalannya.""Kalau begitu telpon saja nomernya. Dia pasti bisa menjelaskan dan memberi kamu lokasinya. Sekarang sudah bukan jamannya blusukan tanpa share lokasi.'Denny kebingungan menjawab cecaran pria itu. Memang sedikit mencurigakan, tapi ia harus berhasil mendapatkan rumah Mira."Iya, Pak. Hanya saja, ponselnya sepertinya mati. Oh ya, memangnya Mira yang bapak maksud itu kaya raya?""Iya, dia sangat kaya sekarang. Setahun yang lalu, kebunnya menghasilkan emas sangat banyak, sehingga dia kaya mendadak. Yang itu bukan?"Denny termenung,
Baru saja satu langkah masuk.ke dalam pagar, nenek Suminten malah berjalan keluar melongok keluar pagar mencari-cari ke arah mobil Denny yang terparkir di pinggir jalan, seperti mencari seseorang."Denny, mana Mira? Apa kamu pulang sendirian? Kenapa Mira nggak diajak? Nenek sudah kangen loh sama cucu nenek," kata wanita tua itu masih tetap berdiri di pagar. Wanita itu bahkan berjalan mengintip ke dalam mobil karena merasa ada yang kurang.Mendengar itu sontak Denny terkejut, ia berbalik melihat ke Nenek Suminten dengan gugup.Tujuannya bersusah payah ke desa adalah untuk menemui Mira karena sudah mencari keberadaan Mira di Jakarta tidak menemukannya. Dan sekarang, wanita itu ternyata belum pernah pulang ke rumah? Bagaimana kalau mereka ketahuan bercerai?'Astaga, apa yang harus aku katakan?' bisiknya dalam hati, merasa waspada dan gelisah."Eh, anu Nek, Mira tidak bisa ikut karena sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, dia menitipkan sesuatu untuk disampaikan pada
["Mi-Mira? Bukankah kamu Mira?"] suara Denny bergetar mendengar siapa yang menghubunginya.["Iya, Mas. Aku Mira. Kamu masih ingat suaraku dengan baik, Mas?] jawab Mira tenang.["Tentu saja Mira, tentu saja aku masih ingat dengan suaramu. Tapi... bagaimana kamu ..."]["Kenapa? Nenek baru saja menelponku, katanya dia heran dengan oleh-oleh yang aku kirimkan untuknya. Nenek tidak suka dengan dodol aroma durian, Mas. Dia bisa muntah kalau mencium aromanya. Itulah sebabnya nenek nelpon, bertanya apa aku tidak salah beli untuknya."] terang Mira. Sebab, si mbok memang kecewa dengan oleh-oleh tersebut dan merasa heran. Mira beralasan, kemungkinan besar karena Denny salah membeli.["Oh, maaf, Mira. Maaf kalau aku tidak pernah tahu. Aku kira, sama dengan nenekku yang sangat menyukai aroma durian."] katanya sedikit menyesal. Bodohnya selama ini ia tak perduli dengan oleh-oleh untuk keluarga Mira.["Jadi...apa yang kamu lakukan, Mas? Kenapa kamu ada di kampungku? Apa ka
Imas menunggu dengan gusar untuk mendapatkan balasan pesan dari Denny. Wanita itu akhirnya membanting ponselnya di sofa yang ia duduki. "Ada apa denganmu sebenarnya, Mas?" lirihnya merasa resah.Denny menghilang, dan Magdalena merahasiakan sesuatu darinya. Ia mulai curiga ada yang tidak beres. "Bu, Mas Denny nggak ada di kantor, nggak ada juga di rumahnya. Sebenarnya kemana sih mas Denny pergi?" tanya Imas pada Magdalena tadi pagi, ia sengaja datang mencari Denny untuk membahas kondisi tadi malam dimana ayahnya marah karena Denny tidak muncul.Ditanya begitu, Magdalena kelabakan."Eh, kerja... bukannya dia kerja, Imas?" jawab wanita itu dengan gugup. "Emangnya kemana lagi?'"Ini kan masih pagi, kerja kemana memangnya, Bu?""Oh, kalau itu..ibu nggak tahu Imas. Coba kamu telpon saja Denny, seharusnya dia menghubungi kamu, bukan?"Imas merasakan perbedaan dari sikap dan intonasi Magdalena. Itu artinya ada sesuatu yang belum terkuak."Baiklah,
Si Mbok mengira ucapan "sayang" itu untuk cucunya yang sangat disayanginya. Akan tetapi sebenarnya wanita tua itu tidak tahu apa yang terjadi."Mbok, saya juga sangat menyayangi Mira dan berharap Mira bahagia.""Ah, syukurlah. Allah memang tidak tidur. Bahkan dari sebab berkah Mira, kebun peninggalan orang tuanya menghasilkan banyak uang. Meskipun begitu, Mira tidak pernah menjadi orang yang sombong dan membanggakan kekayaannya. Dia masih sama, masih rendah hati dan suka menolong orang lain," kisah Si mbok membuat Denny semakin ingin tahu."Maksud Mbok, kebun itu sungguh banyak menghasilkan emas?"Ditanya seperti itu, si mbok malah menautkan alisnya karena heran. Ia heran, tak percaya kalau Denny tidak tahu menahu soal ladang emas itu.Rasanya tidak mungkin!"Denny, apa kamu tidak mempercayai istrimu sendiri?" di mbok menatap lekat pada Denny.***Imas merenung di kantin perusahaan. Ia merasa ada yang salah dengan Denny. Setelah percakapan singka
Sebenarnya Faza menyimpulkan kehidupan Imas yang menyedihkan. Wanita ini telah dinikahi seorang pria gay yang menjadikan dirinya sebagai seorang pelayan pasangan gay tersebut.Faza bisa merasakan kelamnya pandangan dan perasaan wanita ini terhadap sebuah pernikahan. Untuk itu, Imas merasa harus merebut Denny kembali dan menikahinya. Akan tetapi Faza ternyata tidak bisa merelakan hal itu.Ia masih berharap, takdir bisa menyatukan mereka.Di sisi lain, ia harus berusaha keras untuk Imas berada dalam posisinya, menjadi seorang wanita yang taat beragama, sesuai dengan kesadaran wanita itu sendiri, tanpa paksaan."Imas, apa kamu begitu mencintai Denny? Bahkan kamu sudah tahu kalau Denny sudah menikah dengan wanita baik seperti Mira?"Imas memiringkan kepalanya, menatap lekat Faza di sampingnya."Kamu bilang wanita baik barusan ini? Ck," Imas berdecak kesal."Iya, aku sangat mengenalnya karena sebenarnya dia teman sekolahku.""Apa? Teman sekolah kamu?
Akan tetapi bersama Faza adalah sesuatu yang berbeda. Baginya itu hanya hubungan seorang teman atau bahkan seperti seorang sahabat. Faza masih muda, masih lajang dan juga pria baik-baik. Kehidupan latar belakang keluarga juga sangat berbeda. Akan lebih baik kalau persahabatan itu adalah saling memahami satu sama yang lainnya."Aku mengerti, dan aku juga tidak bisa berharap lebih bukan?"Imas menatap bingung, "Apa maksudmu dengan berharap lebih?""Ah sudahlah, kita ke kios mie ayam dulu, aku sudah lapar banget," ujarnya dan menggandeng tangan Imas untuk pergi. Hati Imas bisa merasakan debaran halus yang merayap begitu mendesir. Ia merasa gelagat Faza mulai mencurigakan. Ia mulai mengingat kembali bagaimana Faza selalu memperlakukan dirinya.'Mungkinkah... pengakuan di hadapan kakeknya adalah keinginan yang sebenarnya?' batin Imas bergolak. 'Tidak, ini tidak bisa diteruskan atau semuanya menjadi berantakan!' Seketika Imas menghentikan langkahnya, menatap taja
Imas tertegun, mendengar ucapan Denny yang tidak seperti biasanya. Suara Denny terdengar tidak bersahabat dan terkesan marah. Ada apa sebenarnya?["Mas, apa maksud ucapan kamu ini? Bebas? Bebas seperti apa yang kamu maksudkan?"]["Jangan pura-pura nggak ngerti ya, aku penasaran, wanita seperti apakah kamu ini sebenarnya."]Imas semakin bingung, apa yang Denny pikirkan tentang dirinya?["Jangan berbelit-belit, Mas. Kamu bicara seolah kamu sedang marah denganku, tapi apa salahku?"]["Oh, jadi kamu nggak tahu ya apa salah kamu? Itulah nilai kamu sebenarnya, aku baru menyadari bahwa hidupmu terbiasa dengan kebebasan!"]Darah Denny mendidih sampai ke ubun-ubun sehingga ia memutuskan panggilan supaya bisa mengendalikan emosinya.Mengingat bagaimana melihat Imas bersama Faza dan bermesraan, hatinya mulai goyah."Aku akan membuat perhitungan denganmu Imas," gumamnya.Lalu ia melangkah pulang ke rumah yang dulu ia tempati bersama Imas. Tadinya Imas me