Si Mbok mengira ucapan "sayang" itu untuk cucunya yang sangat disayanginya. Akan tetapi sebenarnya wanita tua itu tidak tahu apa yang terjadi."Mbok, saya juga sangat menyayangi Mira dan berharap Mira bahagia.""Ah, syukurlah. Allah memang tidak tidur. Bahkan dari sebab berkah Mira, kebun peninggalan orang tuanya menghasilkan banyak uang. Meskipun begitu, Mira tidak pernah menjadi orang yang sombong dan membanggakan kekayaannya. Dia masih sama, masih rendah hati dan suka menolong orang lain," kisah Si mbok membuat Denny semakin ingin tahu."Maksud Mbok, kebun itu sungguh banyak menghasilkan emas?"Ditanya seperti itu, si mbok malah menautkan alisnya karena heran. Ia heran, tak percaya kalau Denny tidak tahu menahu soal ladang emas itu.Rasanya tidak mungkin!"Denny, apa kamu tidak mempercayai istrimu sendiri?" di mbok menatap lekat pada Denny.***Imas merenung di kantin perusahaan. Ia merasa ada yang salah dengan Denny. Setelah percakapan singka
Sebenarnya Faza menyimpulkan kehidupan Imas yang menyedihkan. Wanita ini telah dinikahi seorang pria gay yang menjadikan dirinya sebagai seorang pelayan pasangan gay tersebut.Faza bisa merasakan kelamnya pandangan dan perasaan wanita ini terhadap sebuah pernikahan. Untuk itu, Imas merasa harus merebut Denny kembali dan menikahinya. Akan tetapi Faza ternyata tidak bisa merelakan hal itu.Ia masih berharap, takdir bisa menyatukan mereka.Di sisi lain, ia harus berusaha keras untuk Imas berada dalam posisinya, menjadi seorang wanita yang taat beragama, sesuai dengan kesadaran wanita itu sendiri, tanpa paksaan."Imas, apa kamu begitu mencintai Denny? Bahkan kamu sudah tahu kalau Denny sudah menikah dengan wanita baik seperti Mira?"Imas memiringkan kepalanya, menatap lekat Faza di sampingnya."Kamu bilang wanita baik barusan ini? Ck," Imas berdecak kesal."Iya, aku sangat mengenalnya karena sebenarnya dia teman sekolahku.""Apa? Teman sekolah kamu?
Akan tetapi bersama Faza adalah sesuatu yang berbeda. Baginya itu hanya hubungan seorang teman atau bahkan seperti seorang sahabat. Faza masih muda, masih lajang dan juga pria baik-baik. Kehidupan latar belakang keluarga juga sangat berbeda. Akan lebih baik kalau persahabatan itu adalah saling memahami satu sama yang lainnya."Aku mengerti, dan aku juga tidak bisa berharap lebih bukan?"Imas menatap bingung, "Apa maksudmu dengan berharap lebih?""Ah sudahlah, kita ke kios mie ayam dulu, aku sudah lapar banget," ujarnya dan menggandeng tangan Imas untuk pergi. Hati Imas bisa merasakan debaran halus yang merayap begitu mendesir. Ia merasa gelagat Faza mulai mencurigakan. Ia mulai mengingat kembali bagaimana Faza selalu memperlakukan dirinya.'Mungkinkah... pengakuan di hadapan kakeknya adalah keinginan yang sebenarnya?' batin Imas bergolak. 'Tidak, ini tidak bisa diteruskan atau semuanya menjadi berantakan!' Seketika Imas menghentikan langkahnya, menatap taja
Imas tertegun, mendengar ucapan Denny yang tidak seperti biasanya. Suara Denny terdengar tidak bersahabat dan terkesan marah. Ada apa sebenarnya?["Mas, apa maksud ucapan kamu ini? Bebas? Bebas seperti apa yang kamu maksudkan?"]["Jangan pura-pura nggak ngerti ya, aku penasaran, wanita seperti apakah kamu ini sebenarnya."]Imas semakin bingung, apa yang Denny pikirkan tentang dirinya?["Jangan berbelit-belit, Mas. Kamu bicara seolah kamu sedang marah denganku, tapi apa salahku?"]["Oh, jadi kamu nggak tahu ya apa salah kamu? Itulah nilai kamu sebenarnya, aku baru menyadari bahwa hidupmu terbiasa dengan kebebasan!"]Darah Denny mendidih sampai ke ubun-ubun sehingga ia memutuskan panggilan supaya bisa mengendalikan emosinya.Mengingat bagaimana melihat Imas bersama Faza dan bermesraan, hatinya mulai goyah."Aku akan membuat perhitungan denganmu Imas," gumamnya.Lalu ia melangkah pulang ke rumah yang dulu ia tempati bersama Imas. Tadinya Imas me
Hari pernikahan Imas yang semakin dekat, membuat Faza semakin terlihat cemas. Pria itu berdiri melamun di sebuah kafe dekat dengan perusahaan Denny, memikirkan bagaimana ia bisa menghapus perasaannya pada wanita itu, haruskah ia menyerah begitu saja?Secara kebetulan juga, Denny melihat Faza di kejauhan dari mobilnya. Lalu iapun turun dan berjalan mendekati Faza di kafe tersebut.Denny melihat bagaimana wajah Faza yang terlihat muram dan termenung sendiri.Setelah dekat,"Aku jadi penasaran, laki-laki macam kamu ini sepertinya selalu terobsesi dengan istriku dan sekarang dengan calon istriku," kata Denny membuyarkan lamunan Faza. "Hei bung, sadar dikit dong, berhati-hati kalau kamu main api," lanjut Denny menyindir.Faza masih belum merespon, ia tidak pernah berpikir Denny mengetahui kalau mereka, antara dirinya dengan Imas, sering bersama-sama.'Ataukah Denny memang mengetahui sesuatu?' batinnya."Kalau saja bisa, aku akan memintanya darimu.""H
"Oh, tentu saja... tentu saja," gagapnya mempersilahkan wanita itu untuk duduk.Sementara wanita itu masih menatapnya dengan senyuman bahagia. Terlihat bagaimana ia merindukan pria di hadapannya."Beberapa hari ini, aku mencarimu, tapi katanya kamu keluar kota," kata wanita bernama Alisya itu masih dengan senyuman."Mencariku? Kenapa?"Alisya tersenyum menangkap kegugupan Denny. Ia tahu, Denny pasti tidak akan bisa melupakan kejadian waktu itu. Akan tetapi, sebenarnya dirinya lebih dari menderita karenanya."Kamu masih membenciku, Denny. Bahkan setelah sekian lama," lirihnya sedih."Ah, bukan begitu, Alisya. Aku samasekali tidak membencimu...akan tetapi aku sangat terkejut karena setelah sekian lama kamu tiba-tiba datang ke kantorku. Ini sedikit...ehmm, tiba-tiba." Denny merasa canggung, kehadiran Alisya memang sangat mengejutkan dirinya.Alisya menyeret bangku di hadapan Denny dan duduk dengan tenang. Lalu ia mengedarkan pandangannya ke seluruh
Beberapa detik kemudian, Denny menyadari keberadaan Imas. Akan tetapi ia malah memiliki ide untuk mengambil kesempatan tersebut."Alisya, pasang yang bagus dan sedikit kencang," ujarnya memberikan respon pada Alisya."Hmm, tentu saja. Ini sangat bagus Denny, kau sangat tampan dengan dasi ini. Kapan-kapan aku akan membelinya lagi untukmu," cicitnya senang karena mendapatkan respon bagus dari Denny."Ah, ada apa dengan warna rambutmu sekarang, Alisya. Tapi kamu memang cocok dengan warna coklat ini," ujarnya lagi, dan tangannya sengaja menyentuh puncak kepala Alisya dengan lembut. Alisya sedikit terkejut, ia tak mengerti mengapa Denny sekarang bersikap sangat lembut kepadanya. Setitik harapan seperti tumbuh di hatinya. Seperti jamur yang tumbuh di musim penghujan, Alisya merasa sikap Denny membuatnya berharap lebih."Denny, jadi... jujur saja, aku kecewa kamu mau menikah," ujar Alisya kemudian."Ada apa dengan menikah? Itu bukan berarti apa-apa, Alisya. Me
Alisya tak menggubris, ia hanya perduli dengan bagaimana ia bisa mendekati Denny. Ia bahkan belum memutuskan apakah ia hanya terobsesi ataukah sebuah cinta, melainkan ia harus mencobanya."Kita lihat Denny, apa ini cinta atau obsesi. Tapi..aku jelas tidak menyukai pernikahan kalian."Denny merenung sebentar, sama dengannya, ia mulai tidak menyukai pernikahannya. Akan tetapi memiliki cara untuk memberi pelajaran Imas tanpa melibatkan gadis gila ini, batinnya."Baiklah, Alisya. Kita akan bicarakan hal ini besok. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan.""Uhm, apa aku bisa mengunjungi kamu lagi, besok?""Kenapa tidak? Kita adalah teman bukan?"Alisya berdiri, mengambil Tote bag yang tadi diletakkan di atas meja kerja Denny. Gadis semampai dengan rambut coklat yang tergerai panjang itu terlihat ayu dan menawan meski hanya riasan sederhana. "Baiklah, aku akan pulang dan kembali lagi esok hari. Jangan lupa, kamu berjanji membawaku makan soto dag