Merasa dikhianati dan terluka, merasa benci dan cemburu, mewarnai hari-hari Mira yang sepi. Dan itu semakin menjadi jika teringat dengan bayinya yang mungkin akan lahir tanpa seorang ayah."Suatu saat nanti, jika aku bertemu dengan Denny, aku berharap perasaan benci ini sudah hilang. Aku berharap perasaan marah juga sudah tidak ada lagi, itu karena aku telah berjanji kepadanya untuk melakukannya, Yuli. Aku berjanji untuk tidak membenci dan mengatakan sesuatu yang buruk tentang dia, ayah bayi ini. Aku akan menepati tanpa penyesalan. Kecuali satu hal, dimana aku mungkin akan melanggar satu janji."Yuli mulai merasa Mira hanyut dalam kesedihannya. Ia tak tahan melihatnya, Mira mulai terlihat payah dengan perutnya yang semakin membesar, ia tahu itu tidak mudah. Lalu dengan refleks tangannya merangkul wanita itu, memberikan sedikit ketenangan untuk Mira."Sudahlah, Mira. Jangan terlalu dipikirkan. Kalau kamu cengeng begini, kata orang anak kamu nantinya juga cengeng loh.
"Kamu sangat sesuai dengan riasan ini. Lebih anggun dan menawan," ujarnya sambil menyelipkan anak rambut yang sempat menyembul lebih banyak, karena hijab yang dikenakan Imas memang bukan hijab yang sesungguhnya."Aish, kamu ini pinter menggombal ya," Imas terkikik dengan pujian Faza. Sambil berjalan memasuki mobil, mereka saling melemparkan senyuman.Denny yang bersembunyi di balik pepohonan, hanya bisa mengepalkan tangannya. Kali ini ia bisa merasakan, bagaimana tatapan Faza menatap penuh sayang pada calon tunangannya."Sial kamu Faza, kamu selalu saja menjadi orang yang menjadi masalah dalam hubunganku? Bahkan dengan Mira, kau juga berusaha menggodanya bukan? Ya, selama ini kamu selalu saja muncul diantara kami!" kesalnya."Dan kau Imas, apa yang kamu lakukan di belakangku? Kenapa kamu melakukan semua ini setelah apa yang terjadi?"Denny tak mengerti apa maksud Imas pergi dari rumah sementara mereka berjanji untuk bertemu dengan ayahnya. Sejak tadi ia lupa
Faza cemas, ia berharap Imas akan menyetujui apa yang ia inginkan. Kalau tidak, semua akan menjadi berantakan."Bagaimana, apakah kamu ternyata tidak siap untuk menjadi istri Faza?""Oh enggak, bukan begitu. Saya...ehmm saya siap.""Yes," Faza berdesis, seperti kejatuhan rezeki nomplok. "Faza, kamu dengar, dia bersedia menjadi istrimu, yang berarti kamu harus juga siap menanggung semua resikonya."Faza tersenyum, menyetujui syarat yang diberikan kakeknya.Usai acara tersebut, mereka berpamitan. Imas melempar penutup kepala asal di mobil seketika. Ia sangat kesal karena harus berperan menjadi calon istri Faza."Hei bocah! Kalau becanda jangan kelewatan ya! Kamu bikin aku mau mati berdiri, Faza!" teriak Imas memaki Faza. "Kamu lihat nggak sih gimana muka-muka keluarga kamu itu menguliti aku? Kamu liat nggak kalau kakek kamu menginterogasi aku nggak ada habisnya?!"Imas tak berhenti mengoceh, sampai-sampai tak menyadari kemana Faza sedang memb
'Ya Tuhan, tolong aku,' bisik hati Imas karena tidak bisa lari lagi dari jebakan Faza. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti permainan Faza.Setelah mereka duduk di hadapan sang kakek, keadaan semakin menegang. Bisik-bisik keluarga itu masih terdengar di telinga Imas."Oh, gegara perempuan ini ya Faza nggak mau dijodohkan dengan Aulia? Meskipun lebih cantik, sepertinya dia nggak sebanding dengan Aulia. Buat apa cantik kalau nggak jadi wanita taat," celotehan itu mengalir begitu saja di telinga Imas.'Heh, sial! Kalau saja aku tidak di ruangan ini, aku pasti sudah mendamprat orang yang meremehkan aku, memangnya siapa dia berhak mengomentari aku?' Pemberontakan dalam hatinya membuat tangannya meremas kuat."Iya, Mas Faza paling sudah kena pelet sama perempuan ini. Aku dengar dia itu seorang janda loh," sahut yang lainnya.Cuping telinga Imas memanas, baru kali ini ia direndahkan habis-habisan. Sepertinya cara pandang seseorang yang berbeda, membu
Rasanya tak percaya harus berhadapan dengan pemuda gila.Meskipun ia menyukai Faza, akan tetapi itu bukanlah sebuah komitmen. Ia tak berencana untuk serius dengan pria itu. Banyak hal.yang sudah ia pertimbangkan masak-masak, terutama karena Denny dan dirinya telah sepakat untuk menikah setelah perceraian.Akan tetapi ia tidak memungkiri perasaannya yang semakin nyaman dengan kehadiran Faza.***Setelah Denny berusaha mencari keberadaan Mira di Jakarta dan tidak menemukannya, Denny berinisiatif untuk mencari Mira di Desa. Ia yakin, Mira pasti ada di Desa kalau memang dia dalam kondisi hamil.Maka dari itu ia harus segera pergi ke desa dan membawa segala macam oleh-oleh untuk keluarga Mira dan juga Mira sendiri."Hmm, kamu pasti akan sangat terkejut dengan kedatanganku, Mira. Aku akan datang untuk melihat bagaimana anakku tumbuh bersamamu. Kamu tidak bisa lagi menyembunyikan dariku karena itu adalah anakku."Gemelitik rasa menggugah Denny sebagai seora
Denny menjadi gugup dengan pertanyaan tersebut.Haruskah ia mengatakan hubungan mereka berdua yang telah kandas?"Saya, saya suaminya dari Jakarta, Pak.""Suaminya? Kok kamu nggak tahu rumah istri kamu? Yang bener aja? Apa kamu ngaku-ngaku jadi suaminya setelah dia kaya raya?" nyinyir pria itu. Ia merasa tak masuk akal karena suami tidak tahu rumah istrinya."Bukan begitu, Pak. Saya mau jemput, eh malah lupa jalannya.""Kalau begitu telpon saja nomernya. Dia pasti bisa menjelaskan dan memberi kamu lokasinya. Sekarang sudah bukan jamannya blusukan tanpa share lokasi.'Denny kebingungan menjawab cecaran pria itu. Memang sedikit mencurigakan, tapi ia harus berhasil mendapatkan rumah Mira."Iya, Pak. Hanya saja, ponselnya sepertinya mati. Oh ya, memangnya Mira yang bapak maksud itu kaya raya?""Iya, dia sangat kaya sekarang. Setahun yang lalu, kebunnya menghasilkan emas sangat banyak, sehingga dia kaya mendadak. Yang itu bukan?"Denny termenung,
Baru saja satu langkah masuk.ke dalam pagar, nenek Suminten malah berjalan keluar melongok keluar pagar mencari-cari ke arah mobil Denny yang terparkir di pinggir jalan, seperti mencari seseorang."Denny, mana Mira? Apa kamu pulang sendirian? Kenapa Mira nggak diajak? Nenek sudah kangen loh sama cucu nenek," kata wanita tua itu masih tetap berdiri di pagar. Wanita itu bahkan berjalan mengintip ke dalam mobil karena merasa ada yang kurang.Mendengar itu sontak Denny terkejut, ia berbalik melihat ke Nenek Suminten dengan gugup.Tujuannya bersusah payah ke desa adalah untuk menemui Mira karena sudah mencari keberadaan Mira di Jakarta tidak menemukannya. Dan sekarang, wanita itu ternyata belum pernah pulang ke rumah? Bagaimana kalau mereka ketahuan bercerai?'Astaga, apa yang harus aku katakan?' bisiknya dalam hati, merasa waspada dan gelisah."Eh, anu Nek, Mira tidak bisa ikut karena sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, dia menitipkan sesuatu untuk disampaikan pada
["Mi-Mira? Bukankah kamu Mira?"] suara Denny bergetar mendengar siapa yang menghubunginya.["Iya, Mas. Aku Mira. Kamu masih ingat suaraku dengan baik, Mas?] jawab Mira tenang.["Tentu saja Mira, tentu saja aku masih ingat dengan suaramu. Tapi... bagaimana kamu ..."]["Kenapa? Nenek baru saja menelponku, katanya dia heran dengan oleh-oleh yang aku kirimkan untuknya. Nenek tidak suka dengan dodol aroma durian, Mas. Dia bisa muntah kalau mencium aromanya. Itulah sebabnya nenek nelpon, bertanya apa aku tidak salah beli untuknya."] terang Mira. Sebab, si mbok memang kecewa dengan oleh-oleh tersebut dan merasa heran. Mira beralasan, kemungkinan besar karena Denny salah membeli.["Oh, maaf, Mira. Maaf kalau aku tidak pernah tahu. Aku kira, sama dengan nenekku yang sangat menyukai aroma durian."] katanya sedikit menyesal. Bodohnya selama ini ia tak perduli dengan oleh-oleh untuk keluarga Mira.["Jadi...apa yang kamu lakukan, Mas? Kenapa kamu ada di kampungku? Apa ka