Semua sudah terputus begitu saja. Jangankan mendapatkan pesan, nomornya saja mungkin sudah diblokir.Tiba-tiba rasa rindu menyeruak di hatinya. Iapun menyambar ponselnya, mencoba menekan tombol call pada sebuah nomor anonymous. Ya, itu adalah nomor Mira yang ia sembunyikan dari Imas.Seperti biasa, nomor itu tidak lagi bisa dihubungi.Saat sedang termenung, sebuah pesan masuk di ponselnya. Pesan itu adalah pesan gambar dari seseorang."Imas? Pak Faza? Apa yang sedang mereka lakukan?"Hati Denny terguncang hebat. Saat melihat siapa yang ada di foto-foto tersebut. Mereka adalah Imas, bersama Imas di sebuah restoran di atas kolam. Mereka terlihat sangat ceria dan tertawa bersama."Apakah mereka memang saling berhubungan? Ah, tidak mungkin. Imas sudah bertunangan denganku, mana mungkin dia macem-macem," katanya pada diri sendiri."Dasar Agus, sukanya emang julid. Itu pasti karena dia sekarang tahu kalau aku sebenya dalah suami Mira, temannya," lanjutnya
"Sayangnya, itu cuma harapanku semata, sedangkan kamu akan segera menjadi istri orang lain. Bukankah begitu?"Tangan Imas mengepal kuat, entah mengapa sensasi debaran di jantungnya semakin memburu."Kamu sudah tahu itu, dan kamu bermain-main dengan perasaan aku? Bagaimana kalau aku ternyata terbawa rayuan kamu, apa kamu siap menanggung resikonya?"Kali ini Faza menyambar telapak tangan Imas."Aku Faza, aku tidak pernah memiliki wanita yang membuatku terus memikirkannya seperti ini, aku telah memikirkan berulang kali semuanya. Aku sudah bilang, aku selalu ingin di sampingmu, sementara aku tahu kamu adalah tunangan Denny, apa kamu pikir aku bermain-main?"Imas menarik tangannya dari genggaman Faza, hatinya semakin tak karuan."Faza, aku akan memikirkannya. Masalah pakaian ini, aku akan mencobanya, tapi kalau aku tidak suka, please jangan pernah memaksaku, oke?"Setelah itu Imas memasukkan pakaian itu ke dalam kantong plastik."Oh ya, aku akan memba
Wajah Denny yang gugup tak seperti biasa, membuat Imas dan Magdalena sedikit curiga.Sementara Denny menggenggam erat kertas di tangannya, lalu menyembunyikan benda tersebut di saku celananya.Sebisa mungkin menyembunyikan ekspresi tidak biasa, iapun melangkah mendekati Imas."Mas, darimana? Aku menunggumu pulang, tapi malah belum sampai rumah," sapa Imas saat Denny sudah di teras."Eh, aku mampir rumah sebentar. Sudah lama nggak nengok rumah. Rencana ambil liburan mau bersih-bersih," kilahnya."Ooh, kamu bisa ajak aku kalau mau bersih-bersih rumah itu, Mas.""Enggak perlu, aku bisa sendiri, Kok. Dan kamu dari mana saja tadi? Ada acara apa?"Dalam hati, Denny ingin tahu apa yang dikerjakan Imas bersama Faza di sebuah restoran, bahkan informasi dari Agus, mereka cukup lama dan terlihat akrab di restoran tersebut."Ouh, cuma makan di restoran, sama temen.""Temen?""Iya, temen, kenapa sih? Cemburu?""Hmm, tentu saja kalau itu teman lela
Apa yang harus ia lakukan, jika ternyata foto itu adalah satu-satunya penghubung antara dirinya dengan kebenaran? Apa yang harus ia lakukan jika foto itu adalah satu-satunya bukti bahwa Mira telah mengandung darah dagingnya?Apa yang dikatakan ibunya membuatnya frustasi, antara memberikan atau tidak memberikan meskipun hanya selembar kertas yang sudah kotor."Ibu, ini cuma kertas. Ini bukanlah sesuatu yang akan membahayakan hubunganku dengan Imas. Percayalah," tolak Denny saat Magdalena berusaha merebut kertas USG tersebut."Denny, jangan meremehkan hal seperti ini. Kamu tidak boleh menyimpannya samasekali. Sudahlah, lupakan Mira dan apapun yang berkaitan dengannya. Mengertilah, ini sangat tidak ada perlunya!""Mas Denny, kertas apa sebenarnya yang sedang kamu pegang?" Deg!Kemunculan Imas yang tiba-tiba membuat mereka terdiam dan membeku.Magdalena seketika melebarkan matanya karena tidak menyangka Imas akan kembali dan melihat apa yang mereka laku
Merasa dikhianati dan terluka, merasa benci dan cemburu, mewarnai hari-hari Mira yang sepi. Dan itu semakin menjadi jika teringat dengan bayinya yang mungkin akan lahir tanpa seorang ayah."Suatu saat nanti, jika aku bertemu dengan Denny, aku berharap perasaan benci ini sudah hilang. Aku berharap perasaan marah juga sudah tidak ada lagi, itu karena aku telah berjanji kepadanya untuk melakukannya, Yuli. Aku berjanji untuk tidak membenci dan mengatakan sesuatu yang buruk tentang dia, ayah bayi ini. Aku akan menepati tanpa penyesalan. Kecuali satu hal, dimana aku mungkin akan melanggar satu janji."Yuli mulai merasa Mira hanyut dalam kesedihannya. Ia tak tahan melihatnya, Mira mulai terlihat payah dengan perutnya yang semakin membesar, ia tahu itu tidak mudah. Lalu dengan refleks tangannya merangkul wanita itu, memberikan sedikit ketenangan untuk Mira."Sudahlah, Mira. Jangan terlalu dipikirkan. Kalau kamu cengeng begini, kata orang anak kamu nantinya juga cengeng loh.
"Kamu sangat sesuai dengan riasan ini. Lebih anggun dan menawan," ujarnya sambil menyelipkan anak rambut yang sempat menyembul lebih banyak, karena hijab yang dikenakan Imas memang bukan hijab yang sesungguhnya."Aish, kamu ini pinter menggombal ya," Imas terkikik dengan pujian Faza. Sambil berjalan memasuki mobil, mereka saling melemparkan senyuman.Denny yang bersembunyi di balik pepohonan, hanya bisa mengepalkan tangannya. Kali ini ia bisa merasakan, bagaimana tatapan Faza menatap penuh sayang pada calon tunangannya."Sial kamu Faza, kamu selalu saja menjadi orang yang menjadi masalah dalam hubunganku? Bahkan dengan Mira, kau juga berusaha menggodanya bukan? Ya, selama ini kamu selalu saja muncul diantara kami!" kesalnya."Dan kau Imas, apa yang kamu lakukan di belakangku? Kenapa kamu melakukan semua ini setelah apa yang terjadi?"Denny tak mengerti apa maksud Imas pergi dari rumah sementara mereka berjanji untuk bertemu dengan ayahnya. Sejak tadi ia lupa
Faza cemas, ia berharap Imas akan menyetujui apa yang ia inginkan. Kalau tidak, semua akan menjadi berantakan."Bagaimana, apakah kamu ternyata tidak siap untuk menjadi istri Faza?""Oh enggak, bukan begitu. Saya...ehmm saya siap.""Yes," Faza berdesis, seperti kejatuhan rezeki nomplok. "Faza, kamu dengar, dia bersedia menjadi istrimu, yang berarti kamu harus juga siap menanggung semua resikonya."Faza tersenyum, menyetujui syarat yang diberikan kakeknya.Usai acara tersebut, mereka berpamitan. Imas melempar penutup kepala asal di mobil seketika. Ia sangat kesal karena harus berperan menjadi calon istri Faza."Hei bocah! Kalau becanda jangan kelewatan ya! Kamu bikin aku mau mati berdiri, Faza!" teriak Imas memaki Faza. "Kamu lihat nggak sih gimana muka-muka keluarga kamu itu menguliti aku? Kamu liat nggak kalau kakek kamu menginterogasi aku nggak ada habisnya?!"Imas tak berhenti mengoceh, sampai-sampai tak menyadari kemana Faza sedang memb
'Ya Tuhan, tolong aku,' bisik hati Imas karena tidak bisa lari lagi dari jebakan Faza. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti permainan Faza.Setelah mereka duduk di hadapan sang kakek, keadaan semakin menegang. Bisik-bisik keluarga itu masih terdengar di telinga Imas."Oh, gegara perempuan ini ya Faza nggak mau dijodohkan dengan Aulia? Meskipun lebih cantik, sepertinya dia nggak sebanding dengan Aulia. Buat apa cantik kalau nggak jadi wanita taat," celotehan itu mengalir begitu saja di telinga Imas.'Heh, sial! Kalau saja aku tidak di ruangan ini, aku pasti sudah mendamprat orang yang meremehkan aku, memangnya siapa dia berhak mengomentari aku?' Pemberontakan dalam hatinya membuat tangannya meremas kuat."Iya, Mas Faza paling sudah kena pelet sama perempuan ini. Aku dengar dia itu seorang janda loh," sahut yang lainnya.Cuping telinga Imas memanas, baru kali ini ia direndahkan habis-habisan. Sepertinya cara pandang seseorang yang berbeda, membu