Davin membasuh mukanya di kamar mandi. Aliran air dingin terasa menyejukkan tubuhnya yang panas. Bersentuhan secara intense dengan Angel seperti tadi membuatnya panas dingin. Kalau berada lebih lama lagi bersamanya Davin tidak bisa menjamin kalau mereka tetap berada dalam koridor yang seharusnya.Hingga detik ini Davin masih berusaha memercayai apa yang sudah dilakukannya. Semua mengalir seperti air. Tanpa ada niat dan direncanakan. Nalurinya sebagai lelakilah yang mendorong untuk melakukan hal tersebut. Menyadari terlalu lama berada di kamar mandi, Davin lantas keluar. Biasanya saat sedang turn on seperti ini Davin biasanya mengalihkan pada hal-hal positif seperti bertemu dengan orang banyak atau mencari kesibukan lainnya. Yang penting dia tidak boleh sendiri. Namun sekarang, dia hanya sendiri di kamarnya. Daripada berpikiran yang macam-macam, satu-satunya pilihan baginya adalah tidur. Davin berharap, bangun dari tidur nanti tubuhnya jauh lebih segar. Namun sebelum terlelap Davin m
Hari ketiga di Tokyo, Davin menghabiskan waktu mereka di Taman Shinjuku Gyoen yang merupakan spot wisata populer di Shinjuku. Taman kekaisaran yang dibangun sejak seratus tahun yang lalu itu dibagi menjadi 3 taman luas, yaitu taman ala Jepang, taman ala Inggris, dan taman ala Prancis. Sejak bertahun lalu hingga sekarang, taman ini selalu ramai dikunjungi oleh banyak wisatawan. Di dalam area taman ini dihiasi oleh lebih dari 10.000 tanaman, termasuk tanaman sakura dan maple, serta bunga mawar dan camelia yang selalu berbunga tergantung dengan musimnya. Kebetulan saat ini adalah musim semi, jadi momennya sangat tepat untuk menikmati Hanami atau ohanami. Yaitu, tradisi Jepang dalam menikmati keindahan bunga, khususnya bunga sakura. Mekarnya bunga sakura merupakan lambang kebahagiaan telah tibanya musim semi. Selain itu, hanami juga berarti piknik dengan menggelar tikar untuk pesta makan-makan di bawah pohon sakura. Angel dan Davin memilih berjalan-jalan di tengah-tengah taman Jepang. A
Sudah sejak tadi Angel menunjukkan muka masam. Lebih tepatnya sejak mereka keluar dari taman Shinjuku Gyoen. Dan Davin tidak tahu apa yang membuat Angel berubah tiba-tiba. Seperti ada yang merenggut kebahagiaannya secara mendadak. Sialnya lagi setiap ditanya Angel selalu bilang tidak apa-apa. Bagaimana Davin tidak bingung kalau begini caranya.“Ngel, kita beli kimono dulu ya?” ujar Davin saat mereka akan bertolak ke Shibuya.“Aku nggak suka pake kimono,” sahut Angel kepedean. Dia menyangka kalau Davin akan membelikan pakaian tradisional Jepang itu untuknya.Sayangnya Davin yang tidak peka malah berbicara terlalu jujur yang membuat Angel bertambah jengkel.“Ngel, bukan buat kamu kimononya, tapi untuk Vivian. Dia nitip beli sama aku.”“Oh…” Angel melipat muka sehingga terlihat semakin kusut.“Ngel, menurut kamu bagusnya yang mana? Kalian kan sama-sama perempuan, pastinya tahu dong mana yang bagus. Kali aja selera kamu dan Vivian sama.”Angel mendengkus kesal. Di dalam hati dia mengump
Angel mengatur nafasnya yang tersengal. Dia rasa butuh lebih banyak oksigen sekarang. Begitu pun dengan Davin yang berada di hadapannya. Sudah sejak tadi keduanya berpagutan bibir dengan tubuh saling mendekap. Detak jantung keduanya saling berpacu seolah ingin menunjukkan siapa yang paling kencang.“Ngel, aku balik ke kamar dulu, udah malam,” ujar Davin setelah melirik arlojinya.“Dave, nggak tidur di sini aja?” “Ap-apa?” Davin seketika tergagap sembari melirik ke arah tempat tidur.“A-aku takut sendiri, Dave.” Angel ikut tergagap begitu menyadari kata-katanya barusan.Davin menangkup kedua pipi Angel. Gadis itu tampak seperti anak kucing manis yang butuh perlindungan. Dia juga terlihat manja. Di balik sikap keras yang ditunjukkannya sebenarnya Angel itu rapuh. Dia butuh seseorang untuk melindunginya, mengayominya serta berbagi apa pun yang selama ini disimpannya sendiri.“Kenapa takut? Biasanya kamu juga sendiri kan? Nggak perlu ada yang ditakutin, Ngel…,” ucap Davin lembut.Iris ma
Angelica terbangun pagi itu. Tangannya mengusap-usap permukaan kasur. Namun hanya kosong yang didapatinya. Seingatnya tadi malam ada Davin di sebelahnya yang memeluknya dan mengusap-usap kepalanya.Lalu, di mana Davin sekarang?“Dave…! Dave…!” Angel memanggil Davin dari tempatnya berbaring sekarang. Sepasang mata bulatnya ikut berpendar menjelajahi setiap sudut kamar. Namun tetap tidak menemukan sosok lelaki itu, bahkan bayang-bayangnya sekali pun.Angel bangkit dari tidurnya. Perempuan itu lantas duduk sembari menyandarkan tubuh ke headboard. Dia butuh waktu sejenak untuk mengumpulkan nyawa.Angel turun dari ranjang setelahnya. Tempat pertama yang ditujunya adalah kamar mandi. Siapa tahu Davin ada di sana. Namun ternyata sama saja. Area kering dan area basah di ruangan itu kosong tak berpenghuni. Apa mungkin Davin sudah kembali ke kamarnya?Di kamarnya, Davin baru saja selesai mandi. Rambut kastanye-nya yang basah dan acak-acakan karena belum disisir membuatnya terlihat semakin me
“Percayalah, kita nggak akan pernah berpisah sampai kapan pun. Aku milikmu dan kamu milikku. Yang penting kita saling sayang dan percaya satu sama lain.” Kalimat itu yang dibisikkan Davin di telinga Angel beberapa saat sebelum mereka landing. Selama hampir delapan jam penerbangan Angelica nyaris tak lepas dari pelukan Davin. Lelaki itu mendekapnya, menempelkan bibir berkali-kali pada bagian mana pun yang dia inginkan. Seolah Angel adalah mainan baru baginya yang membuat ketagihan.“Besok aku akan bawa kamu ke kantor. Aku akan kenalin sama teman-temanku juga.” Davin menambahkan kalimatnya sambil mengusap pundak gadis muda dalam dekapannya. Semua sudah dia rencanakan dan berada dalam angan-angannya. Sudah terbayang olehnya ekspresi kaget, kagum dan tidak percaya orang-orang saat tahu dirinya menggandeng perempuan cantik. Dan maminya pasti akan senang kala mengetahui anak kesayangannya ternyata memilih perempuan yang dia restui.Angel tidak banyak bicara. Mulutnya yang sudah dicekoki ka
Sampai tengah malam Angel masih belum tidur. Gadis itu masih asyik bercerita dengan Tatiana. Angel menceritakan apa saja yang dialaminya selama di Tokyo. Tapi tentu saja melewatkan bagian di mana dia kehilangan tas serta hubungannya yang baru terjalin dengan Davin.“Selama kamu pergi papi kamu hampir tiap malam nggak bisa tidur.”“Halah… kamu juga kan?” timpal Bian tidak mau kalah. Sejujurnya, sebenarnya dirinya dan Tatiana terus gelisah selama Angelica pergi. Padahal dulu selama bertahun-tahun putri kesayangan itu tinggal di benua nan jauh di sana, tapi rasanya mereka tidak pernah sekhawatir ini.“Beneran kamu baik-baik aja selama di sana? Nggak ada yang ngeganggu sama godain kamu kan?” tanya Bian kurang yakin.“Nggak ada kok, Pi, Papi tenang aja ya…”“Ngel, papi kamu mau kita tidur bertiga malam ini,” ujar Tatiana menyampaikan keinginan Bian yang diungkapkannya kemarin malam.“Serius, Pi? Udah segede gini?” Angel mengernyit heran. Dulu setiap libur kuliah dan pulang ke rumah mereka
Rubicon merah itu meluncur mulus di jalan raya. Di belakang kemudi Davin duduk dengan menegakkan badan. Sedangkan tangannya dengan cetakan mengendalikan setir. Tujuannya sekarang adalah Danner Property, kantor sang kekasih.Kondisi lalu lintas yang ramai menempatkannya pada posisi yang tidak diuntungkan. Maklum saja, sekarang adalah jam-jam sibuk karena sudah saatnya makan siang. Dimana saat ini adalah waktu rehat sebagian besar pekerja kantoran. Dan kebanyakan dari mereka juga bertebaran memenuhi jalan.“Dave, jadi makan siangnya?” Davin membaca sebaris pesan singkat yang Angel kirimkan untuknya.“Kenapa? Udah nggak sabar ya pengen ketemu kekasih tampan?” balas Davin menyelipkan gurauan. Selama ini Davin memang jarang melempar candaan pada orang yang tidak benar-benar dekat dengannya. Namun bukan berarti dirinya adalah orang yang kaku. Tiga detik berikutnya balasan pesan dari Angel masuk ke ponselnya. Bukan kata-kata apalagi kalimat. Hanya sebua