Rubicon merah itu meluncur mulus di jalan raya. Di belakang kemudi Davin duduk dengan menegakkan badan. Sedangkan tangannya dengan cetakan mengendalikan setir. Tujuannya sekarang adalah Danner Property, kantor sang kekasih.
Kondisi lalu lintas yang ramai menempatkannya pada posisi yang tidak diuntungkan. Maklum saja, sekarang adalah jam-jam sibuk karena sudah saatnya makan siang. Dimana saat ini adalah waktu rehat sebagian besar pekerja kantoran. Dan kebanyakan dari mereka juga bertebaran memenuhi jalan.“Dave, jadi makan siangnya?” Davin membaca sebaris pesan singkat yang Angel kirimkan untuknya.“Kenapa? Udah nggak sabar ya pengen ketemu kekasih tampan?” balas Davin menyelipkan gurauan. Selama ini Davin memang jarang melempar candaan pada orang yang tidak benar-benar dekat dengannya. Namun bukan berarti dirinya adalah orang yang kaku.Tiga detik berikutnya balasan pesan dari Angel masuk ke ponselnya. Bukan kata-kata apalagi kalimat. Hanya sebuaKalau saja bukan karena pintu lift yang terbuka karena sudah tiba di lantai dasar mungkin Angel dan Davin belum akan saling melepaskan. Keduanya kemudian berjalan ke luar. Beberapa pasang mata yang melihat mereka memfokuskan perhatiannya pada rangkulan Davin di pinggang Angel. Mereka menduga-duga ada hubungan apa di antara keduanya.Angel menyunggingkan senyum begitu Davin membukakan pintu mobil untuknya dan memintanya masuk lantas menutupkannya kembali. Baru Davin yang memperlakukannya seperti tuan putri begini. Sepasang mata bulatnya kemudian mengawasi Davin yang memutari mobil dan masuk melalui pintu sebelah kanan.“Kita makan di mana, Dek?” Davin meminta pendapat sebelum menyalakan mesin.“Delicious aja, Dave.” Angel menyebutkan nama restoran tempat mereka pernah bertemu saat itu. Selain letaknya yang tidak terlalu jauh, jenis makanannya juga ramah di lidahnya.Tak lama kemudian jeep dengan warna eye catching itu sudah membelah jalan raya. Biasanya pada jam makan siang seperti ini
Di sela-sela kunyahannya Davin mencuri pandang pada Angel yang terlihat lahap menyantap makanannya. Davin mencoba membaca suasana hati Angel dengan mengamati ekspresi wajahnya. Davin memang sudah hafal karakter Angel sesungguhnya, tapi Davin tidak menyangka kalau Angel akan seberani tadi.Sampai selesai makan Angel tidak berkata apa pun sehingga membuat Davin menjadi salah tingkah harus bagaimana. Namun setelah berada di mobil, Angel meluapkan segalanya.“Dave, tindakan aku tadi bikin kamu malu ya?”Kalau ditanya malu atau tidaknya, tentu saja Davin malu menjadi pusat perhatian orang-orang. Pasti mereka berpikir yang macam-macam mengenai dirinya, Angel dan Vivian. Namun Davin tahu dia harus menjawab dengan bijak agar Angel tidak tersinggung.“Aku nggak malu, sikap kamu tadi sudah benar kok, tapi lain kali kalo bisa nggak usah pake tampar ya…”“Gimana aku nggak tampar, dia bilang aku murahan, padahal dia sendiri yang mau bukti. Lagian, aku ngelakuinnya cuma sama kamu kok.”Davin mengul
“Mau ke mana kamu, Dave?” Kiano bertanya heran melihat Davin yang sudah rapi jali.“Dia mau ketemu mertuanya, Pi.” Gendiz yang menjawab. Setelah berbicara dari hati ke hati tadi siang, Gendiz menghubungi Vivian dan menyampaikan keinginan Davin untuk bertemu dengan orang tuanya. Jelas saja Vivian langsung setuju karena memang hal itu yang sudah lama dia nantikan.“Pi, Mi, dan kamu, Ndiz, duduk dulu yuk!” Davin mengajak para orang tersayangnya duduk bersama. Ada sesuatu yang ingin dia jelaskan.“Ada apa? Jangan bilang kamu ngehamilin anak gadis orang terus kamu diminta tanggung jawab. Papi udah bilang sama kamu kan, kalo tebar benih hati-hati, jangan pake cinta dan jangan lupa pake pengaman.”“Astaga, Pi! Otak Papi kapan nggak gesreknya sih?” gerutu Davin kesal. Padahal dia sedang ingin bicara serius.Adizty tertawa dan mencubit lengan suaminya. Pun dengan Gendiz. Setiap hari ada saja ucapan dan tingkah Kiano yang mengocok perut mereka.“Ya udah, Dave, kamu mau ngomong apa?” Adizty mene
Davin tidak langsung pulang. Seperti niatnya tadi, dia ingin mampir dulu ke rumah Angel. Setelah masalah di rumah Vivian tadi mood-nya tiba-tiba saja memburuk. Yang Davin yakini sekarang, bertemu kekasihnya adalah mood booster yang ampuh baginya. Dalam kesendiriannya, Davin memikirkan yang baru saja terjadi. Sebegitu terobsesinya Vivian pada dirinya sampai-sampai mengarang cerita sendiri. Sebenarnya Davin juga kasihan pada Vivian. Tindakannya itu sedikit banyak terdorong oleh rasa tertekan akibat orang tuanya yang terus-terusan menuntutnya untuk segera menikah. Tapi apa boleh buat, cinta tidak bisa dipaksa, iya kan?Rumah Angel tampak sepi saat Davin tiba di sana. Hanya ada sepeda motor 250cc. Tapi tidak ada sebuah mobil pun di halamannya. Termasuk mobil Bian. Syukurlah. Itu artinya dia bisa sedikit leluasa karena bebas dari interogasi pria protektif itu. Atau jangan-jangan mobilnya sudah masuk ke garasi?Ah, sudahlah, walaupun ada Bian, Davin harus pandai-pandai menghadapinya. Davin
Hari semakin gelap saat Davin dan Angel masih berkeliling. Bukan karena malam yang menua tapi karena mendung hitam yang menggayut di langit. Pertanda sebentar lagi hujan akan turun. Mereka tidak tahu apa saat ini semesta sedang merestui atau malah sebaliknya.“Dek, kayaknya bakalan hujan deh,” ujar Davin pada Angel yang sejak tadi tak lepas memeluk tubuhnya dan menyandarkan kepala ke punggungnya.“Terus gimana, Dave?” Angel menengadahkan kepala menatap langit.“Kita berhenti dulu ya?” Davin meminta pendapat.“Berhenti di mana?”“Ntar, aku lihat dulu.”Tanpa terasa ternyata mereka sudah berada jauh dari rumah. Jalan yang tadi ramai sekarang hanya dilintasi satu dua kendaraan. Padahal maksud awal hanya keliling di dekat rumah Angel.Tetesan air langit mulai turun dan jatuh ke bumi. Dari yang awalnya kecil pelan-pelan menjelma menjadi hujan deras dan besar. Kilat ikut menunjukkan wujudnya. Begitu juga dengan petir yang mulai bersahutan. Angel bergidik, merapatkan tubuh dan mengeratkan
Bian dan Tatiana ternyata sudah menunggu Angel sejak tadi. Rasa cemas yang tak terhingga terlihat jelas di wajah keduanya.“Ternyata kamu,” desis Bian saat melihat Davin.“Maaf, Om, Tante, saya baru bisa mengantar Angel sekarang. Tadi kejebak hujan,” ujar Davin merasa bersalah. Terlebih lagi saat melihat muka Bian yang khawatir. Davin bahkan melupakan sapaan formalnya pada lelaki itu.“Tahu mau hujan kenapa masih kelayapan?” “Tadinya sebelum berangkat nggak hujan, Om.”“Kamu ini kayak nggak ada waktu lain aja. Angel itu nggak biasa kena angin malam. Kalo dia sakit gimana? Lagian tadi siang kalian kan udah ketemuan.”“Bi, sudahlah, nggak usah dijadiin masalah.” Tatiana menengahi Bian yang terus mengomel. Dari tadi suaminya itu terus berkicau karena tak menemukan anak kesayangannya begitu dia pulang ke rumah. Terlebih saat mengetahui Angel pergi bersama laki-laki. Padahal Tatiana sudah menjelaskan berkali-kali kalau Angel itu sudah dewasa dan semua akan baik-baik saja. “Dave, masuk du
“Dave, gimana kalo besok kita dinner bareng, terus kamu ajak Angel sekalian,” ucap Adizty pagi itu saat mereka sarapan bersama. “Wah ide bagus tuh, Mi,” sahut Davin sambil mengunyah roti panggang yang beberapa saat lalu keluar dari microwave.“Bawa orang tuanya aja sekalian.” Kiano menimpali.“Apa nggak terlalu cepat, Pi? Davin sama Angel kan pacarannya msih baru.”“Apa salahnya, Yang? Malah bagus kan? Jadi kita bisa tahu siapa besan kita.” Kiano mengeluarkan argumennya. “Gimana, Dave?”Davin tidak langsung menjawab. Sesaat dia terdiam sembari memikirkan ide Kiano. Bukan idenya yang jadi perkara, tapi masalahnya, menurut Davin Bian kurang menyetujui hubungannya dengan Angel. Mulai dari pertemuan pertamanya di Danner Property, hingga saat mengantar kekasihnya itu kemarin malam respon Bian tidak begitu baik.“Pi, kayaknya aku setuju sama mami. Aku pikir terlalu cepat, Pi. Aku dan Angel baru akan mulai.”“Kayak yang Papi bilang tadi Dave, lebih cepat tahu akan lebih bagus.”“Ya udah, Pi
Dylan menyetir dengan perasaan galau. Sementara di sampingnya Gendiz duduk dengan membuang muka ke sebelah kiri. Mulutnya terkunci rapat. Sejak pulang dari rumah sakit tadi tak sepotong kata pun meluncur dari bibir tipisnya. Fakta yang baru saja dia ketahui serta kenyataan yang dihadapinya membuat Gendiz shock setengah mati. Perempuan itu merasa bagaikan ditampar dengan teramat keras hingga membuatnya sakit.Kenapa baru sekarang Dylan jujur padanya? Kenapa baru saat ini kekasihnya itu menceritakan segalanya? Kenapa Dylan terlalu pengecut untuk mengakuinya?Dylan menepi dan menghentikan Mercy silver metalik milik Gendiz di pinggir jalan, tepat di bawah pohon rindang. Dylan tahu mungkin Gendiz shock setelah mengetahui fakta mengenai dirinya. Tapi Dylan tidak ingin membiarkan masalah ini berlarut-larut. Dia bukanlah tipe orang yang suka menunda menyelesaikan suatu masalah dan membiarkannya mengambang tak berkejelasan.“Kenapa berhenti di sini?” Gendiz akhirny
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa