“Dave, gimana kalo besok kita dinner bareng, terus kamu ajak Angel sekalian,” ucap Adizty pagi itu saat mereka sarapan bersama. “Wah ide bagus tuh, Mi,” sahut Davin sambil mengunyah roti panggang yang beberapa saat lalu keluar dari microwave.“Bawa orang tuanya aja sekalian.” Kiano menimpali.“Apa nggak terlalu cepat, Pi? Davin sama Angel kan pacarannya msih baru.”“Apa salahnya, Yang? Malah bagus kan? Jadi kita bisa tahu siapa besan kita.” Kiano mengeluarkan argumennya. “Gimana, Dave?”Davin tidak langsung menjawab. Sesaat dia terdiam sembari memikirkan ide Kiano. Bukan idenya yang jadi perkara, tapi masalahnya, menurut Davin Bian kurang menyetujui hubungannya dengan Angel. Mulai dari pertemuan pertamanya di Danner Property, hingga saat mengantar kekasihnya itu kemarin malam respon Bian tidak begitu baik.“Pi, kayaknya aku setuju sama mami. Aku pikir terlalu cepat, Pi. Aku dan Angel baru akan mulai.”“Kayak yang Papi bilang tadi Dave, lebih cepat tahu akan lebih bagus.”“Ya udah, Pi
Dylan menyetir dengan perasaan galau. Sementara di sampingnya Gendiz duduk dengan membuang muka ke sebelah kiri. Mulutnya terkunci rapat. Sejak pulang dari rumah sakit tadi tak sepotong kata pun meluncur dari bibir tipisnya. Fakta yang baru saja dia ketahui serta kenyataan yang dihadapinya membuat Gendiz shock setengah mati. Perempuan itu merasa bagaikan ditampar dengan teramat keras hingga membuatnya sakit.Kenapa baru sekarang Dylan jujur padanya? Kenapa baru saat ini kekasihnya itu menceritakan segalanya? Kenapa Dylan terlalu pengecut untuk mengakuinya?Dylan menepi dan menghentikan Mercy silver metalik milik Gendiz di pinggir jalan, tepat di bawah pohon rindang. Dylan tahu mungkin Gendiz shock setelah mengetahui fakta mengenai dirinya. Tapi Dylan tidak ingin membiarkan masalah ini berlarut-larut. Dia bukanlah tipe orang yang suka menunda menyelesaikan suatu masalah dan membiarkannya mengambang tak berkejelasan.“Kenapa berhenti di sini?” Gendiz akhirny
“Papi nggak bisa datang, Ngel. Besok malam Papi ada acara.” Bian memberi jawaban penolakan saat Angelica menyampaikan undangan makan malam yang disampaikan Davin tadi siang padanya.“Ayolah, Pi, sekali ini aja kok, lagian maksudnya kan baik, biar Amy sama Papi bisa kenal sama orang tua Davin, nggak enak kalo sampai Papi nggak datang, nanti dibilang nggak menghargai sama orang tua Davin, Pi.”“Tapi Papi benar-benar nggak bisa, Ngel.” Bian bersikukuh dengan ucapannya, sedangkan Angel juga bersikeras dengan keinginannya.Angel kemudian beralih pada Tatiana. Harapannya begitu besar pada ibunya itu.“Kalo gitu Amy aja yang ngewakilin ya?” pintanya dengan muka memelas, tapi Bian segera menyela memberi jawaban. “Amy kamu nggak bisa juga, soalnya mau ikut sama Papi.”Tatiana lalu menoleh. Dia rasa mereka tidak ada janji apa pun dengan siapapun besok malam. Tapi Bian memberi isyarat dengan matanya yang membuat perempuan itu bergeming.
“Gendiz, kenapa diam saja?” Kiano tidak tahan lagi melihat anak perempuannya yang bungkam dan membuat pensaran semua orang.“Ngel, memangnya kamu tahu dari mana kalau Dylan sekarang menganggur?” Adizty bertanya pada Angelica.“Dylan itu sepupu saya, Mi, makanya saya tahu.”“Sepupu?” ucap Adizty dan Kiano bersamaan. Kali ini Angel yang menjadi pusat perhatian mereka.“Iya, Mi, Pi. Orang tua saya adalah orang tua angkat Dylan.”“Memangnya orang tua Dylan mana? Sudah meninggal?” tatap Kiano dengan pandangan ala detektif. Lelaki muda yang berani mendekati anak gadisnya itu semakin membuatnya penasaran.“Papanya Dylan sudah meninggal, kalau mamanya masih hidup, Pi.”“Terus, di mana dia sekarang?"“Di rumah sakit, Mi.”“Dia sakit? Sakit apa?” Adizty dan Kiano semakin tidak sabar. Keterangan Angel yang setengah-setengah membuat mereka semakin penasaran.“Di rumah sakit jiwa, Mi, Pi,” ucap Angel lugas.“Apa? Rumah sakit jiwa?” Pasangan harmonis itu sama-sama terkejut mendengar jawaban Angel y
“Gimana dinner-nya? Lancar?” tanya Tatiana setelah Angel berada di rumah.Angel menjatuhkan diri di sofa dengan tak bersemangat. Orang tuanya berutang banyak penjelasan padanya. Dan mereka harus menuntaskannya sekarang.Mami sama papi Davin katanya titip salam buat Amy sama Papi.”“Kamu aja kali yang ngarang-ngarang,” sahut Bian tidak percaya. Palingan Angel mengada-ada.“Aku nggak ngarang, Pi. Lagian apa gunanya?”Bian terdiam. Tapi Angel yang tidak melepaskan mata darinya membuatnya bertanya-tanya. “Ada apa, Ngel? Kenapa melihat Papi kayak gitu?”“Apa aja yang Papi sembunyiin dari aku?”Bian dan Tatiana saling berpandangan. Tidak mengerti apa yang dimaksud anak mereka.“Memang apa yang Papi sembunyiin dari kamu?” ujarnya sambil tertawa. Namun Angel tidak terpancing. “Seharusnya aku yang nanya sama Papi. Kenapa Papi tega nyembunyiin fakta ini?”“Fakta apa sih?”“Tentang tante Gladys. Kenapa Papi bohong sama aku?”Bian menghela nafas. Ekspresi wajahnya seketika berganti. Begitu pun
Kediaman keluarga Mahendra.Setelah acara makan malam tadi, Adizty masuk ke kamar Gendiz. Dia menemukan anak gadisnya itu sedang menelungkup di atas kasur. Terdengar isaknya yang samar. Perempuan itu lantas mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tangannya terulur mengusap punggung putrinya itu dengan teramat lembut.“Ndiz…”Gendiz tidak menghiraukan Adizty. Gadis itu terus mengalirkan air mata ke pipinya yang sudah basah sejak tadi. “Mami ngerti perasaan kamu, tapi kamu harus dengar dulu alasannya kenapa Mami dan papi melarang kamu berhubungan dengan Dylan.”Gendiz mulai merespon. Di sela-sela isak gadis itu pun berkata, “Mami dan papi sama piciknya. Nggak adil buat Dylan kalo Mami menggeneralisir dia seperti orang tuanya. Dylan itu baik banget. Dia beda dari cowok-cowok lainnya.”“Iya, Ndiz, Mami percaya, tapi kamu juga harus tahu asal usul Dylan sebenarnya. Mami juga percaya kalau kalian saling mencintai tapi cinta jangan membuat kamu buta, Ndiz…”“Memangnya apa yang mau Mami jel
Sarapan pagi ini di keluarga Mahendra tidak sehangat biasanya. Tidak ada candaan riang atau pun celotehan Gendiz yang biasanya menyemarakkan ruang makan. Gadis itu memang ikut sarapan pagi bersama kedua orang tua dan kakaknya, tapi dia lebih banyak diam dan menunduk. “Ndiz, masakan Mami nggak enak ya?” Davin pura-pura bertanya melihat Gendiz yang menekuk wajah. Davin memang sudah tahu semuanya setelah Adizty menceritakan padanya.“Enak kok,” jawab Gendiz sekenanya tanpa mengalihkan mata dari makanannya.“Kalo enak kenapa kayak nggak selera gitu?”“Aku udah kenyang.” Gendiz lantas berdiri dan meninggalkan ruang makan yang dilepas oleh tatapan penuh tanda tanya orang tua dan kakaknya.Kiano geleng-geleng kepala menyikapi tingkah sang putri. “Hanya gara-gara cowok sampe blingsatan, kayak nggak ada yang lain.” Lelaki itu berkomentar.Davin dan Adizty diam saja. Kalau Kiano sudah serius seperti saat ini mereka tidak berani menyanggah apalagi melawan.“Kamu juga, Dave, jangan lemah karena
Di balik pintu kamar mandi Dylan menyandarkan tubuhnya. Nafasnya terasa sesak sejak tadi. Hampir saja tadi mereka melakukannya walaupun keduanya sama-sama sudah lepas kontrol. Sedikit pun Dylan tidak ingin melanggar batas. Tapi dirinya tetaplah lelaki dewasa yang normal.Dylan kembali membasahkan tubuhnya dengan air dingin. Aura panas yang tadi menempel di badannya seketika luntur berganti dengan kesegaran yang mengaliri dan merasuki hingga ke dalam tulang. Nafasnya yang tadi sesak dan tidak beraturan pun kembali normal seperti sediakala. Dua puluh menit setelahnya, mereka sudah berada di dalam mobil menuju rumah Tatiana. Tidak seorang pun dari keduanya yang mengeluarkan suara. Tidak Dylan ataupun Gendiz. Keduanya merasa sama-sama canggung atas kejadian tadi.Gendiz merasa malu pada dirinya sendiri. Entah bagaimana tadi dia bisa terpancing perasaan. Untung saja kesadaran segera mendatanginya. Kalau tidak? Ah, entahlah.“Yang, kamu marah ya?” tanya Dylan dari belakang setir karena Gen
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa