“Mau ke mana kamu, Dave?” Kiano bertanya heran melihat Davin yang sudah rapi jali.“Dia mau ketemu mertuanya, Pi.” Gendiz yang menjawab. Setelah berbicara dari hati ke hati tadi siang, Gendiz menghubungi Vivian dan menyampaikan keinginan Davin untuk bertemu dengan orang tuanya. Jelas saja Vivian langsung setuju karena memang hal itu yang sudah lama dia nantikan.“Pi, Mi, dan kamu, Ndiz, duduk dulu yuk!” Davin mengajak para orang tersayangnya duduk bersama. Ada sesuatu yang ingin dia jelaskan.“Ada apa? Jangan bilang kamu ngehamilin anak gadis orang terus kamu diminta tanggung jawab. Papi udah bilang sama kamu kan, kalo tebar benih hati-hati, jangan pake cinta dan jangan lupa pake pengaman.”“Astaga, Pi! Otak Papi kapan nggak gesreknya sih?” gerutu Davin kesal. Padahal dia sedang ingin bicara serius.Adizty tertawa dan mencubit lengan suaminya. Pun dengan Gendiz. Setiap hari ada saja ucapan dan tingkah Kiano yang mengocok perut mereka.“Ya udah, Dave, kamu mau ngomong apa?” Adizty mene
Davin tidak langsung pulang. Seperti niatnya tadi, dia ingin mampir dulu ke rumah Angel. Setelah masalah di rumah Vivian tadi mood-nya tiba-tiba saja memburuk. Yang Davin yakini sekarang, bertemu kekasihnya adalah mood booster yang ampuh baginya. Dalam kesendiriannya, Davin memikirkan yang baru saja terjadi. Sebegitu terobsesinya Vivian pada dirinya sampai-sampai mengarang cerita sendiri. Sebenarnya Davin juga kasihan pada Vivian. Tindakannya itu sedikit banyak terdorong oleh rasa tertekan akibat orang tuanya yang terus-terusan menuntutnya untuk segera menikah. Tapi apa boleh buat, cinta tidak bisa dipaksa, iya kan?Rumah Angel tampak sepi saat Davin tiba di sana. Hanya ada sepeda motor 250cc. Tapi tidak ada sebuah mobil pun di halamannya. Termasuk mobil Bian. Syukurlah. Itu artinya dia bisa sedikit leluasa karena bebas dari interogasi pria protektif itu. Atau jangan-jangan mobilnya sudah masuk ke garasi?Ah, sudahlah, walaupun ada Bian, Davin harus pandai-pandai menghadapinya. Davin
Hari semakin gelap saat Davin dan Angel masih berkeliling. Bukan karena malam yang menua tapi karena mendung hitam yang menggayut di langit. Pertanda sebentar lagi hujan akan turun. Mereka tidak tahu apa saat ini semesta sedang merestui atau malah sebaliknya.“Dek, kayaknya bakalan hujan deh,” ujar Davin pada Angel yang sejak tadi tak lepas memeluk tubuhnya dan menyandarkan kepala ke punggungnya.“Terus gimana, Dave?” Angel menengadahkan kepala menatap langit.“Kita berhenti dulu ya?” Davin meminta pendapat.“Berhenti di mana?”“Ntar, aku lihat dulu.”Tanpa terasa ternyata mereka sudah berada jauh dari rumah. Jalan yang tadi ramai sekarang hanya dilintasi satu dua kendaraan. Padahal maksud awal hanya keliling di dekat rumah Angel.Tetesan air langit mulai turun dan jatuh ke bumi. Dari yang awalnya kecil pelan-pelan menjelma menjadi hujan deras dan besar. Kilat ikut menunjukkan wujudnya. Begitu juga dengan petir yang mulai bersahutan. Angel bergidik, merapatkan tubuh dan mengeratkan
Bian dan Tatiana ternyata sudah menunggu Angel sejak tadi. Rasa cemas yang tak terhingga terlihat jelas di wajah keduanya.“Ternyata kamu,” desis Bian saat melihat Davin.“Maaf, Om, Tante, saya baru bisa mengantar Angel sekarang. Tadi kejebak hujan,” ujar Davin merasa bersalah. Terlebih lagi saat melihat muka Bian yang khawatir. Davin bahkan melupakan sapaan formalnya pada lelaki itu.“Tahu mau hujan kenapa masih kelayapan?” “Tadinya sebelum berangkat nggak hujan, Om.”“Kamu ini kayak nggak ada waktu lain aja. Angel itu nggak biasa kena angin malam. Kalo dia sakit gimana? Lagian tadi siang kalian kan udah ketemuan.”“Bi, sudahlah, nggak usah dijadiin masalah.” Tatiana menengahi Bian yang terus mengomel. Dari tadi suaminya itu terus berkicau karena tak menemukan anak kesayangannya begitu dia pulang ke rumah. Terlebih saat mengetahui Angel pergi bersama laki-laki. Padahal Tatiana sudah menjelaskan berkali-kali kalau Angel itu sudah dewasa dan semua akan baik-baik saja. “Dave, masuk du
“Dave, gimana kalo besok kita dinner bareng, terus kamu ajak Angel sekalian,” ucap Adizty pagi itu saat mereka sarapan bersama. “Wah ide bagus tuh, Mi,” sahut Davin sambil mengunyah roti panggang yang beberapa saat lalu keluar dari microwave.“Bawa orang tuanya aja sekalian.” Kiano menimpali.“Apa nggak terlalu cepat, Pi? Davin sama Angel kan pacarannya msih baru.”“Apa salahnya, Yang? Malah bagus kan? Jadi kita bisa tahu siapa besan kita.” Kiano mengeluarkan argumennya. “Gimana, Dave?”Davin tidak langsung menjawab. Sesaat dia terdiam sembari memikirkan ide Kiano. Bukan idenya yang jadi perkara, tapi masalahnya, menurut Davin Bian kurang menyetujui hubungannya dengan Angel. Mulai dari pertemuan pertamanya di Danner Property, hingga saat mengantar kekasihnya itu kemarin malam respon Bian tidak begitu baik.“Pi, kayaknya aku setuju sama mami. Aku pikir terlalu cepat, Pi. Aku dan Angel baru akan mulai.”“Kayak yang Papi bilang tadi Dave, lebih cepat tahu akan lebih bagus.”“Ya udah, Pi
Dylan menyetir dengan perasaan galau. Sementara di sampingnya Gendiz duduk dengan membuang muka ke sebelah kiri. Mulutnya terkunci rapat. Sejak pulang dari rumah sakit tadi tak sepotong kata pun meluncur dari bibir tipisnya. Fakta yang baru saja dia ketahui serta kenyataan yang dihadapinya membuat Gendiz shock setengah mati. Perempuan itu merasa bagaikan ditampar dengan teramat keras hingga membuatnya sakit.Kenapa baru sekarang Dylan jujur padanya? Kenapa baru saat ini kekasihnya itu menceritakan segalanya? Kenapa Dylan terlalu pengecut untuk mengakuinya?Dylan menepi dan menghentikan Mercy silver metalik milik Gendiz di pinggir jalan, tepat di bawah pohon rindang. Dylan tahu mungkin Gendiz shock setelah mengetahui fakta mengenai dirinya. Tapi Dylan tidak ingin membiarkan masalah ini berlarut-larut. Dia bukanlah tipe orang yang suka menunda menyelesaikan suatu masalah dan membiarkannya mengambang tak berkejelasan.“Kenapa berhenti di sini?” Gendiz akhirny
“Papi nggak bisa datang, Ngel. Besok malam Papi ada acara.” Bian memberi jawaban penolakan saat Angelica menyampaikan undangan makan malam yang disampaikan Davin tadi siang padanya.“Ayolah, Pi, sekali ini aja kok, lagian maksudnya kan baik, biar Amy sama Papi bisa kenal sama orang tua Davin, nggak enak kalo sampai Papi nggak datang, nanti dibilang nggak menghargai sama orang tua Davin, Pi.”“Tapi Papi benar-benar nggak bisa, Ngel.” Bian bersikukuh dengan ucapannya, sedangkan Angel juga bersikeras dengan keinginannya.Angel kemudian beralih pada Tatiana. Harapannya begitu besar pada ibunya itu.“Kalo gitu Amy aja yang ngewakilin ya?” pintanya dengan muka memelas, tapi Bian segera menyela memberi jawaban. “Amy kamu nggak bisa juga, soalnya mau ikut sama Papi.”Tatiana lalu menoleh. Dia rasa mereka tidak ada janji apa pun dengan siapapun besok malam. Tapi Bian memberi isyarat dengan matanya yang membuat perempuan itu bergeming.
“Gendiz, kenapa diam saja?” Kiano tidak tahan lagi melihat anak perempuannya yang bungkam dan membuat pensaran semua orang.“Ngel, memangnya kamu tahu dari mana kalau Dylan sekarang menganggur?” Adizty bertanya pada Angelica.“Dylan itu sepupu saya, Mi, makanya saya tahu.”“Sepupu?” ucap Adizty dan Kiano bersamaan. Kali ini Angel yang menjadi pusat perhatian mereka.“Iya, Mi, Pi. Orang tua saya adalah orang tua angkat Dylan.”“Memangnya orang tua Dylan mana? Sudah meninggal?” tatap Kiano dengan pandangan ala detektif. Lelaki muda yang berani mendekati anak gadisnya itu semakin membuatnya penasaran.“Papanya Dylan sudah meninggal, kalau mamanya masih hidup, Pi.”“Terus, di mana dia sekarang?"“Di rumah sakit, Mi.”“Dia sakit? Sakit apa?” Adizty dan Kiano semakin tidak sabar. Keterangan Angel yang setengah-setengah membuat mereka semakin penasaran.“Di rumah sakit jiwa, Mi, Pi,” ucap Angel lugas.“Apa? Rumah sakit jiwa?” Pasangan harmonis itu sama-sama terkejut mendengar jawaban Angel y