“Papi nggak bisa datang, Ngel. Besok malam Papi ada acara.” Bian memberi jawaban penolakan saat Angelica menyampaikan undangan makan malam yang disampaikan Davin tadi siang padanya.
“Ayolah, Pi, sekali ini aja kok, lagian maksudnya kan baik, biar Amy sama Papi bisa kenal sama orang tua Davin, nggak enak kalo sampai Papi nggak datang, nanti dibilang nggak menghargai sama orang tua Davin, Pi.”“Tapi Papi benar-benar nggak bisa, Ngel.” Bian bersikukuh dengan ucapannya, sedangkan Angel juga bersikeras dengan keinginannya.Angel kemudian beralih pada Tatiana. Harapannya begitu besar pada ibunya itu.“Kalo gitu Amy aja yang ngewakilin ya?” pintanya dengan muka memelas, tapi Bian segera menyela memberi jawaban.“Amy kamu nggak bisa juga, soalnya mau ikut sama Papi.”Tatiana lalu menoleh. Dia rasa mereka tidak ada janji apa pun dengan siapapun besok malam. Tapi Bian memberi isyarat dengan matanya yang membuat perempuan itu bergeming.“Gendiz, kenapa diam saja?” Kiano tidak tahan lagi melihat anak perempuannya yang bungkam dan membuat pensaran semua orang.“Ngel, memangnya kamu tahu dari mana kalau Dylan sekarang menganggur?” Adizty bertanya pada Angelica.“Dylan itu sepupu saya, Mi, makanya saya tahu.”“Sepupu?” ucap Adizty dan Kiano bersamaan. Kali ini Angel yang menjadi pusat perhatian mereka.“Iya, Mi, Pi. Orang tua saya adalah orang tua angkat Dylan.”“Memangnya orang tua Dylan mana? Sudah meninggal?” tatap Kiano dengan pandangan ala detektif. Lelaki muda yang berani mendekati anak gadisnya itu semakin membuatnya penasaran.“Papanya Dylan sudah meninggal, kalau mamanya masih hidup, Pi.”“Terus, di mana dia sekarang?"“Di rumah sakit, Mi.”“Dia sakit? Sakit apa?” Adizty dan Kiano semakin tidak sabar. Keterangan Angel yang setengah-setengah membuat mereka semakin penasaran.“Di rumah sakit jiwa, Mi, Pi,” ucap Angel lugas.“Apa? Rumah sakit jiwa?” Pasangan harmonis itu sama-sama terkejut mendengar jawaban Angel y
“Gimana dinner-nya? Lancar?” tanya Tatiana setelah Angel berada di rumah.Angel menjatuhkan diri di sofa dengan tak bersemangat. Orang tuanya berutang banyak penjelasan padanya. Dan mereka harus menuntaskannya sekarang.Mami sama papi Davin katanya titip salam buat Amy sama Papi.”“Kamu aja kali yang ngarang-ngarang,” sahut Bian tidak percaya. Palingan Angel mengada-ada.“Aku nggak ngarang, Pi. Lagian apa gunanya?”Bian terdiam. Tapi Angel yang tidak melepaskan mata darinya membuatnya bertanya-tanya. “Ada apa, Ngel? Kenapa melihat Papi kayak gitu?”“Apa aja yang Papi sembunyiin dari aku?”Bian dan Tatiana saling berpandangan. Tidak mengerti apa yang dimaksud anak mereka.“Memang apa yang Papi sembunyiin dari kamu?” ujarnya sambil tertawa. Namun Angel tidak terpancing. “Seharusnya aku yang nanya sama Papi. Kenapa Papi tega nyembunyiin fakta ini?”“Fakta apa sih?”“Tentang tante Gladys. Kenapa Papi bohong sama aku?”Bian menghela nafas. Ekspresi wajahnya seketika berganti. Begitu pun
Kediaman keluarga Mahendra.Setelah acara makan malam tadi, Adizty masuk ke kamar Gendiz. Dia menemukan anak gadisnya itu sedang menelungkup di atas kasur. Terdengar isaknya yang samar. Perempuan itu lantas mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tangannya terulur mengusap punggung putrinya itu dengan teramat lembut.“Ndiz…”Gendiz tidak menghiraukan Adizty. Gadis itu terus mengalirkan air mata ke pipinya yang sudah basah sejak tadi. “Mami ngerti perasaan kamu, tapi kamu harus dengar dulu alasannya kenapa Mami dan papi melarang kamu berhubungan dengan Dylan.”Gendiz mulai merespon. Di sela-sela isak gadis itu pun berkata, “Mami dan papi sama piciknya. Nggak adil buat Dylan kalo Mami menggeneralisir dia seperti orang tuanya. Dylan itu baik banget. Dia beda dari cowok-cowok lainnya.”“Iya, Ndiz, Mami percaya, tapi kamu juga harus tahu asal usul Dylan sebenarnya. Mami juga percaya kalau kalian saling mencintai tapi cinta jangan membuat kamu buta, Ndiz…”“Memangnya apa yang mau Mami jel
Sarapan pagi ini di keluarga Mahendra tidak sehangat biasanya. Tidak ada candaan riang atau pun celotehan Gendiz yang biasanya menyemarakkan ruang makan. Gadis itu memang ikut sarapan pagi bersama kedua orang tua dan kakaknya, tapi dia lebih banyak diam dan menunduk. “Ndiz, masakan Mami nggak enak ya?” Davin pura-pura bertanya melihat Gendiz yang menekuk wajah. Davin memang sudah tahu semuanya setelah Adizty menceritakan padanya.“Enak kok,” jawab Gendiz sekenanya tanpa mengalihkan mata dari makanannya.“Kalo enak kenapa kayak nggak selera gitu?”“Aku udah kenyang.” Gendiz lantas berdiri dan meninggalkan ruang makan yang dilepas oleh tatapan penuh tanda tanya orang tua dan kakaknya.Kiano geleng-geleng kepala menyikapi tingkah sang putri. “Hanya gara-gara cowok sampe blingsatan, kayak nggak ada yang lain.” Lelaki itu berkomentar.Davin dan Adizty diam saja. Kalau Kiano sudah serius seperti saat ini mereka tidak berani menyanggah apalagi melawan.“Kamu juga, Dave, jangan lemah karena
Di balik pintu kamar mandi Dylan menyandarkan tubuhnya. Nafasnya terasa sesak sejak tadi. Hampir saja tadi mereka melakukannya walaupun keduanya sama-sama sudah lepas kontrol. Sedikit pun Dylan tidak ingin melanggar batas. Tapi dirinya tetaplah lelaki dewasa yang normal.Dylan kembali membasahkan tubuhnya dengan air dingin. Aura panas yang tadi menempel di badannya seketika luntur berganti dengan kesegaran yang mengaliri dan merasuki hingga ke dalam tulang. Nafasnya yang tadi sesak dan tidak beraturan pun kembali normal seperti sediakala. Dua puluh menit setelahnya, mereka sudah berada di dalam mobil menuju rumah Tatiana. Tidak seorang pun dari keduanya yang mengeluarkan suara. Tidak Dylan ataupun Gendiz. Keduanya merasa sama-sama canggung atas kejadian tadi.Gendiz merasa malu pada dirinya sendiri. Entah bagaimana tadi dia bisa terpancing perasaan. Untung saja kesadaran segera mendatanginya. Kalau tidak? Ah, entahlah.“Yang, kamu marah ya?” tanya Dylan dari belakang setir karena Gen
Malam itu, seperti permintaan Bian, Davin datang ke rumahnya. Kali ini sambutan Bian jauh lebih ramah dari yang sudah-sudah.“Akhirnya kamu datang juga, Dave.”“Iya, Om. Angel bilang Om meminta saya untuk datang.”“Iya, yuk masuk dulu!” Bian merangkul punggung Davin seperti seorang bapak pada anaknya. Begitu hangat dan penuh sayang.‘Kayaknya aku harus ngucapin makasih sama papi,’ batin Davin. “Om baru saja telepon papi kamu. Terus, besok kita mau ketemuan.” Bian memberitahu isi obrolan singkatnya tadi.“Mau lamaran besok memangnya, Om?” tanya Davin terkejut. Apa memang harus secepat ini? Mereka baru dua minggu pacaran, padahal.Bian terkekeh. “Ya bukanlah! Kamu nggak sabaran amat,” ucapnya yang membuat Davin jadi malu. “Bukan nggak sabar, Om, saya kan cuma nanya,” ujar Davin meluruskan.Obrolan mereka terjeda ketika asisten rumah tangga Bian datang mengantar air minum.“Minum dulu, Dave.” B
“Aku nggak ikut, Mi.” Gendiz menolak saat semuanya akan berangkat ke rumah Angel hari itu. “Ayolah, Ndiz, cuma sebentar kok, lagian kamu ngapain sendirian di rumah?” Adizty yang baru saja selesai mengoles maskara ke bulu matanya membujuk Gendiz.“Aku pengen tidur, Mi, capek, ngantuk juga.”“Memangnya kamu habis ngapain? Ini kan tanggal merah.” Kiano ikut menyela karena Gendiz tetap bersikukuh dengan keinginannya. “Pokoknya semua harus ikut,” perintahnya tak terbantah.“Ada atau nggak ada aku acaranya tetap jalan kan, Pi?”“Sejak kapan kamu bisa membantah?” “Sudahlah, Ndiz, ikut aja yuk! Lagian nanti keluarga Angel akan menjadi keluarga kita juga.”“Papi kenapa sih, Mi, marah-marah mulu?” tanya Gendiz setelah Kiano berlalu dari hadapan mereka.“Entahlah, mungkin papi kamu lagi banyak pikiran. Makanya jangan ngelawan dulu. Sekarang ganti baju kamu, Ndiz, sebentar lagi kita pergi.”Pada akhirnya Gendiz menyerah karena Adizty terus mendesaknya. Gadis itu berlalu ke kamarnya. Mengganti p
Semuanya sekarang sudah berada di ruang makan. Mereka berkumpul mengelilingi meja makan. Aneka hidangan lezat sudah tersaji dan siap untuk disantap.“Nanti kamu harus belajar masak sama amy biar bisa jadi istri yang baik,” celetuk Bian yang dia tujukan pada Angelica.“Nggak gitu-gitu amat lah, Bi, urusan dapur bisa belakangan, yang penting masalah kasur beres dulu.” Kiano menimpali.“Buat ngasur juga butuh tenaga kali!” “Itu sih gampang, kalo memang udah jadwalnya nggak makan berhari-hari juga bakalan kuat kok.”“Hahaha…”Entah sudah berapa kali keduanya menghidupkan suasana dengan obrolan konyol mereka. Sedangkan para istri dan anak-anak lebih banyak mendengarkan. Keduanya seperti melepas rindu dan bernostalgia mengulang masa lalu mereka.“Dave, Angel, jadi maunya kalian acaranya kira-kira kapan?” Bian berubah serius bertanya pada keduanya.“Acara yang mana, Om?” tanya Davin menanggapi pertanyaan Bian yang rancu.“Acara lamaran.”“Kalo aku terserah Angel aja, Om, maunya kapan.”“Ngg