Sarapan pagi ini di keluarga Mahendra tidak sehangat biasanya. Tidak ada candaan riang atau pun celotehan Gendiz yang biasanya menyemarakkan ruang makan. Gadis itu memang ikut sarapan pagi bersama kedua orang tua dan kakaknya, tapi dia lebih banyak diam dan menunduk. “Ndiz, masakan Mami nggak enak ya?” Davin pura-pura bertanya melihat Gendiz yang menekuk wajah. Davin memang sudah tahu semuanya setelah Adizty menceritakan padanya.“Enak kok,” jawab Gendiz sekenanya tanpa mengalihkan mata dari makanannya.“Kalo enak kenapa kayak nggak selera gitu?”“Aku udah kenyang.” Gendiz lantas berdiri dan meninggalkan ruang makan yang dilepas oleh tatapan penuh tanda tanya orang tua dan kakaknya.Kiano geleng-geleng kepala menyikapi tingkah sang putri. “Hanya gara-gara cowok sampe blingsatan, kayak nggak ada yang lain.” Lelaki itu berkomentar.Davin dan Adizty diam saja. Kalau Kiano sudah serius seperti saat ini mereka tidak berani menyanggah apalagi melawan.“Kamu juga, Dave, jangan lemah karena
Di balik pintu kamar mandi Dylan menyandarkan tubuhnya. Nafasnya terasa sesak sejak tadi. Hampir saja tadi mereka melakukannya walaupun keduanya sama-sama sudah lepas kontrol. Sedikit pun Dylan tidak ingin melanggar batas. Tapi dirinya tetaplah lelaki dewasa yang normal.Dylan kembali membasahkan tubuhnya dengan air dingin. Aura panas yang tadi menempel di badannya seketika luntur berganti dengan kesegaran yang mengaliri dan merasuki hingga ke dalam tulang. Nafasnya yang tadi sesak dan tidak beraturan pun kembali normal seperti sediakala. Dua puluh menit setelahnya, mereka sudah berada di dalam mobil menuju rumah Tatiana. Tidak seorang pun dari keduanya yang mengeluarkan suara. Tidak Dylan ataupun Gendiz. Keduanya merasa sama-sama canggung atas kejadian tadi.Gendiz merasa malu pada dirinya sendiri. Entah bagaimana tadi dia bisa terpancing perasaan. Untung saja kesadaran segera mendatanginya. Kalau tidak? Ah, entahlah.“Yang, kamu marah ya?” tanya Dylan dari belakang setir karena Gen
Malam itu, seperti permintaan Bian, Davin datang ke rumahnya. Kali ini sambutan Bian jauh lebih ramah dari yang sudah-sudah.“Akhirnya kamu datang juga, Dave.”“Iya, Om. Angel bilang Om meminta saya untuk datang.”“Iya, yuk masuk dulu!” Bian merangkul punggung Davin seperti seorang bapak pada anaknya. Begitu hangat dan penuh sayang.‘Kayaknya aku harus ngucapin makasih sama papi,’ batin Davin. “Om baru saja telepon papi kamu. Terus, besok kita mau ketemuan.” Bian memberitahu isi obrolan singkatnya tadi.“Mau lamaran besok memangnya, Om?” tanya Davin terkejut. Apa memang harus secepat ini? Mereka baru dua minggu pacaran, padahal.Bian terkekeh. “Ya bukanlah! Kamu nggak sabaran amat,” ucapnya yang membuat Davin jadi malu. “Bukan nggak sabar, Om, saya kan cuma nanya,” ujar Davin meluruskan.Obrolan mereka terjeda ketika asisten rumah tangga Bian datang mengantar air minum.“Minum dulu, Dave.” B
“Aku nggak ikut, Mi.” Gendiz menolak saat semuanya akan berangkat ke rumah Angel hari itu. “Ayolah, Ndiz, cuma sebentar kok, lagian kamu ngapain sendirian di rumah?” Adizty yang baru saja selesai mengoles maskara ke bulu matanya membujuk Gendiz.“Aku pengen tidur, Mi, capek, ngantuk juga.”“Memangnya kamu habis ngapain? Ini kan tanggal merah.” Kiano ikut menyela karena Gendiz tetap bersikukuh dengan keinginannya. “Pokoknya semua harus ikut,” perintahnya tak terbantah.“Ada atau nggak ada aku acaranya tetap jalan kan, Pi?”“Sejak kapan kamu bisa membantah?” “Sudahlah, Ndiz, ikut aja yuk! Lagian nanti keluarga Angel akan menjadi keluarga kita juga.”“Papi kenapa sih, Mi, marah-marah mulu?” tanya Gendiz setelah Kiano berlalu dari hadapan mereka.“Entahlah, mungkin papi kamu lagi banyak pikiran. Makanya jangan ngelawan dulu. Sekarang ganti baju kamu, Ndiz, sebentar lagi kita pergi.”Pada akhirnya Gendiz menyerah karena Adizty terus mendesaknya. Gadis itu berlalu ke kamarnya. Mengganti p
Semuanya sekarang sudah berada di ruang makan. Mereka berkumpul mengelilingi meja makan. Aneka hidangan lezat sudah tersaji dan siap untuk disantap.“Nanti kamu harus belajar masak sama amy biar bisa jadi istri yang baik,” celetuk Bian yang dia tujukan pada Angelica.“Nggak gitu-gitu amat lah, Bi, urusan dapur bisa belakangan, yang penting masalah kasur beres dulu.” Kiano menimpali.“Buat ngasur juga butuh tenaga kali!” “Itu sih gampang, kalo memang udah jadwalnya nggak makan berhari-hari juga bakalan kuat kok.”“Hahaha…”Entah sudah berapa kali keduanya menghidupkan suasana dengan obrolan konyol mereka. Sedangkan para istri dan anak-anak lebih banyak mendengarkan. Keduanya seperti melepas rindu dan bernostalgia mengulang masa lalu mereka.“Dave, Angel, jadi maunya kalian acaranya kira-kira kapan?” Bian berubah serius bertanya pada keduanya.“Acara yang mana, Om?” tanya Davin menanggapi pertanyaan Bian yang rancu.“Acara lamaran.”“Kalo aku terserah Angel aja, Om, maunya kapan.”“Ngg
“Apa sih maksud Papi bilang udah punya calon buat aku?” protes Gendiz ketika mereka sudah sampai di rumah.“Itu adalah cara Papi untuk menolak secara halus biar dia nggak sakit hati,” jawab Kiano sambil lalu dan buru-buru menuju kamarnya.“Tapi itu sama artinya dengan bohong, Pi.”“Bohong demi kebaikan apa salahnya?”“Tapi yang Papi lakukan itu bukan untuk kebaikan, malah ngerusak hubungan aku sama Dylan.”“Daripada kamu yang dirusak, pilih mana hayo?” ujar Kiano sambil membuka baju hingga menampakkan dadanya yang bidang serta perutnya yang rata. “Eh kamu ngapain di sini, mau mesum ya?” sambungnya kala menyadari kehadiran Gendiz di kamarnya. Ternyata anaknya itu mengekorinya sampai ke kamar.“Dylan nggak ngerusak aku, Pi. Papi salah. Aku nggak nyangka kalo Papi bakal otoriter kayak gini,” kecam Gendiz dengan wajah dan suara sedih. “Papi bukannya otoriter, Ndiz, tapi Papi hanya mengingatkan. Lagian pacar kamu itu nggak nunjukin effort apa-apa. Sekadar sapaan basa-basi juga nggak ada.
Hari yang ditunggu-tunggu itu pun sudah di depan mata. Apalagi kalau bukan acara lamaran Davin dan Angel. Rencananya besok acara itu akan diadakan di Delta hotel yang merupakan hotel legend milik keluarga Mahendra. Meskipun sudah menyerahkan semua proses penyelenggaraannya pada pihak ketiga atau wedding organizer, tapi kedua keluarga itu tetap merasa waswas sebelum acara selesai sepenuhnya. Khawatir akan ada pengacau.Angelica hari ini tetap kerja seperti biasanya, begitu pula dengan Davin, meskipun besok mereka akan menghadapi hari besar yang akan menjadi gerbang kelanjutan hubungan mereka ke depannya.“Ngel, kamu sibuk ya? Tadi orang butik telepon tapi nggak kamu angkat, katanya baju kamu sudah selesai.” Tatiana memberitahu saat menelepon Angel ke telepon kantor.“Ya ampun, aku lupa ganti profil handphone, My, kayaknya masih silent mode deh, soalnya tadi aku baru habis meeting.”“Oh gitu, Amy kira ada apa. Ya udah, nanti jangan lupa kamu ambil ya!”“Iya, My, nanti aku bareng Davin k
Dylan yang baru saja datang dari toilet terkejut melihat ponselnya ada di tangan Angel. Menyadari tatapan herannya Angel pun memberitahu.“Lan, tadi Gendiz telepon.”“Oh ya?”“Iya, Lan, baru aja sebelum kamu datang. Ini handphone kamu, tadi aku nemu di jok.” Angel memberikan gawai Dylan kembali.Dylan membuka call register. Ada panggilan masuk dari Gendiz dengan durasi percakapan sekitar tiga menit. Lumayan lama untuk sekadar basa-basi kalau sendainya Angel mengatakan pada Gendiz bahwa dirinya sedang ke toilet. Dylan lalu memutuskan untuk menelepon balik kekasihnya itu. Hanya dalam sekali nada tunggu Gendiz sudah menjawab telepon darinya.“Lan, kamu ke mana aja? Kenapa kamu nggak jawab telepon aku? Kenapa handphone kamu ada di Angel?” cerocosan panjang Gendiz memenuhi gendang telinga Dylan.Dylan tersenyum simpul. “Jadi pertanyaan yang mana dulu mau aku jawab?”“Semuanya.” Suara Gendiz terdengar jengkel. “Okay, aku jawab satu-satu ya… Pertama, tadi aku ke toilet, terus handphoneku t