Dylan yang baru saja datang dari toilet terkejut melihat ponselnya ada di tangan Angel. Menyadari tatapan herannya Angel pun memberitahu.“Lan, tadi Gendiz telepon.”“Oh ya?”“Iya, Lan, baru aja sebelum kamu datang. Ini handphone kamu, tadi aku nemu di jok.” Angel memberikan gawai Dylan kembali.Dylan membuka call register. Ada panggilan masuk dari Gendiz dengan durasi percakapan sekitar tiga menit. Lumayan lama untuk sekadar basa-basi kalau sendainya Angel mengatakan pada Gendiz bahwa dirinya sedang ke toilet. Dylan lalu memutuskan untuk menelepon balik kekasihnya itu. Hanya dalam sekali nada tunggu Gendiz sudah menjawab telepon darinya.“Lan, kamu ke mana aja? Kenapa kamu nggak jawab telepon aku? Kenapa handphone kamu ada di Angel?” cerocosan panjang Gendiz memenuhi gendang telinga Dylan.Dylan tersenyum simpul. “Jadi pertanyaan yang mana dulu mau aku jawab?”“Semuanya.” Suara Gendiz terdengar jengkel. “Okay, aku jawab satu-satu ya… Pertama, tadi aku ke toilet, terus handphoneku t
"Pulang-pulang cemberut gini, anak Amy kenapa sih?” Tatiana menyambut Angel yang baru saja tiba diantar Dylan.“Aku capek, My,” jawab Angel sembari menyisipkan rambutnya ke belakang telinga.“Kan udah Amy bilang, nggak usah terlalu sibuk. Bajunya gimana?”“Bagus, My, aku suka,” jawab Angel seadanya.“Kalo bagus kenapa masih cemberut? Coba Amy lihat!”Angel memberikan paper bag di tangannya pada Tatiana lantas berlalu ke kamarnya. Tatiana bertanya-tanya sendiri apa yang telah terjadi pada anaknya itu melihat sikapnya yang tidak biasa. Menjatuhkan diri ke kasurnya, Angel menghubungi kembali Davin yang dari tadi tidak merespon panggilan darinya. Dan hasilnya sama saja.‘Davin nyebelin banget. Sibuknya udah kek ngalahin pejabat,’ kecam Angel melempar pelan gawainya ke permukaan kasur. Padahal banyak yang ingin Angel ceritakan pada Davin malam ini.“Angel…” Ketukan Tatiana di pintu kamar disertai seruan yang memanggil namanya membuat Angel tidak jadi memejamkan mata.“Ya, My…”“Amy boleh
Halaman belakang Delta hotel yang luas pagi ini terlihat berbeda dari biasanya. Area yang biasa dijadikan sebagai venue pernikahan itu, kali ini difungsikan sebagai tempat acara lamaran Angel dan Davin. Tempat itu dihias sedemikian rupa dengan konsep garden party. Mereka tidak mengundang banyak orang. Hanya mengajak keluarga dekat, para kerabat serta beberapa sahabat karib. Pada awalnya kedua keluarga itu berbeda pendapat. Bian ingin acara lamaran anak tunggalnya diselenggarakan besar-besaran. Tapi di lain pihak Kiano mau acara itu diadakan secara privat tapi sakral dan berkesan. Pada akhirnya mereka pun sepakat setelah menyatukan pemikiran.Meskipun tidak dilaksanakan secara mewah dan besar-besaran, namun penjagaan keamanan dilakukan lebih ketat dari biasanya. Terlebih pada titik-titik tertentu. Seperti gerbang masuk dan lobi utama.Selain dari pihak Angel dan Davin, hadir juga orang-orang penting rekanan keluarga Danner dan Mahendra. “Pastikan semua aman. Aku nggak mau ada pengac
Acara inti lamaran sudah berakhir sejak sejam yang lalu. Tapi masih ada beberapa orang yang berada di sana. Dalam acara yang mungkin lebih tepat disebut sebagai ajang kumpul keluarga itu, terdengar cengkerama riang yang diselingi dengan candaan dan gurauan ringan.Davin dan Angel menghilang entah ke mana. Mungkin mereka menghabiskan waktu berdua. Di samping Adizty, Gendiz duduk dengan muka cemberut. Dari tadi Dylan yang juga hadir di acara terlihat acuh tak acuh dan mengabaikannya. Seolah menganggapnya tidak ada di sana. Gendiz menjadi jengkel sendiri. Akhir-akhir ini hubungan mereka memang semakin renggang. Gendiz menganggap Dylan tidak ada effort untuk mendekati kedua orang tuanya agar hubungan mereka direstui. Apa salahnya Dylan berbasa-basi menanyakan kabar Adizty dan Kiano misalnya, apalagi di momen seperti ini, di mana mereka berkumpul bersama. Nyatanya Dylan tidak melakukan apa-apa, malah terkesan menjaga jarak.Sedangkan Dylan mempunyai pemikiran
Seperti permintaan Davin, Dylan kembali ke tempat tadi. Lelaki itu mencari-cari keberadaan keluarga Davin, tapi tak menemukannya. Yang ditemukannya hanya Gendiz.“Ndiz, tolong ambilin baju Davin di mobil atau bisa aku pinjam kuncinya biar aku yang ambil sendiri?”“Kuncinya nggak sama aku, sama papi,” sahut Gendiz memberitahu.“Bisa tolong kamu mintain kuncinya ke papi kamu?”Gendiz memandang Dylan setengah mengernyit. Tiba-tiba saja dia merasa kesal oleh sikap Dylan yang seperti pengecut. Kenapa harus pakai perantara? Kenapa bukan Dylan saja sendiri yang memintanya pada Kiano?“Memangnya kamu nggak bisa ambil sendiri? Tinggal ngomong sama papi apa salahnya?”“Ndiz, kamu kok langsung ngegas gitu? Nggak bisa ya ngomongnya baik-baik?” ucap Dylan sedikit keras.“Gimana aku nggak ngegas, sikap kamu itu ngejengkelin banget, tahu nggak? Lagian sejak kapan kamu bisa kasar kayak gini sama aku, Lan?” Gendiz tentu saja terkejut me
Nana—perwakilan dari wedding organizer, tiba-tiba menelepon saat Angel dan Dylan sedang berada di mobil dalam perjalanan menuju tempat mereka akan bertemu. Perempuan itu mengatakan kalau dia tiba-tiba saja berhalangan hadir dan akan digantikan oleh rekannya.“Namanya Riza, Mbak Angel. Orangnya pakai baju putih, rambutnya ikal, sama pakai kacamata. Nanti saya akan send nomor handphonenya.” Informasi itu yang paling diingat Angel. Namun hingga Angel tiba di tempat yang dimaksud, dia masih belum menerima nomor handphone yang dijanjikan Nana.Angel berdiri di pintu masuk. Matanya mengedar menjelajahi setiap sudut kafe untuk mencari orang dengan ciri-ciri yang disebutkan Nana.“Mana ya dia?” gumam Angel masih mencari-cari karena kafe siang itu lumayan ramai.“Yang itu kali,” tunjuk Dylan dengan dagunya saat melihat perempuan berbaju putih, berkacamata dengan rambut ikal melambaikan tangan ke arah mereka.Angel ikut memandang ke arah pandangan Dylan. Dan begitu netranya bertemu dengan per
Ruangan itu redup dan temaram. Lampu warna-warni yang menerpa akan membuat siapa saja yang tidak terbiasa menjadi sakit kepala. Musik yang menghentak semakin kencang menambah crowded suasana.Dari salah satu sudut ruangan, Tere melambaikan tangannya pada Angel yang baru saja tiba bersama Dylan. Angel melempar senyum pada Tere yang duduk bersama teman-temannya yang lain. Hanya dia satu-satunya perempuan di sana di antara empat lelaki lainnya.“Davin mana?” tanya Tere saat Angel dan Dylan sudah berada di dekatnya.“Lho, bukannya dia udah di sini?” Angel balik bertanya. Tadi Davin bilang mereka berangkat sendiri-sendiri saja dan menyuruh Angel bareng Dylan. Nyatanya hingga saat ini Davin masih belum menampakkan batang hidungnya.“Nggak ada tuh. Dia belum datang. Memangnya kalian nggak janjian?” Tere menatap heran pada Angel.“Davin bilang sih dia bakal datang sendiri,” jawab Angel lesu. Padahal tadi dia sudah berharap saat datang ke sini akan langsung bertemu Davin. Angel merindukan tun
Sampai di pelataran parkir, Angel merogoh tas guna mengambil kunci mobil, tapi tak menemukannya. Angel baru sadar kalau tadi menggunakan mobil Dylan, bukan mobilnya. Jadi sudah pasti kuncinya Dylan yang pegang.Angel memandang Dylan yang dia sandarkan ke sisi mobil. Lelaki itu terlihat tidak berdaya. Entah kesadarannya masih utuh atau tidak.“Lan, kunci mobil mana?”“Hmm…Ya…hmm…” Dylan hanya mengeluarkan gumaman kecil dan racauan tidak jelas dari mulutnya dengan mata terpejam.“Lan, kunci mobil mana? Biar aku antar kamu pulang.” Angel menepuk-nepuk pipi Dylan agar lelaki itu membuka mata.“Hmm…,” gumam Dylan sekali lagi diiringi suara-suara tidak jelas. Angel yang tidak tahu Dylan mengatakan apa lalu berinisiatif merogoh saku celana sepupunya itu. Gadis itu agak kesulitan melakukannya karena sebelah tangannya harus menopang badan Dylan.Sedikit gemetar jari-jari Angel menari-nari mencari yang dibutuhkannya di dalam saku celana Dylan. Ini adalah kali pertama dia menyentuh bagian tubu