Acara inti lamaran sudah berakhir sejak sejam yang lalu. Tapi masih ada beberapa orang yang berada di sana. Dalam acara yang mungkin lebih tepat disebut sebagai ajang kumpul keluarga itu, terdengar cengkerama riang yang diselingi dengan candaan dan gurauan ringan.Davin dan Angel menghilang entah ke mana. Mungkin mereka menghabiskan waktu berdua. Di samping Adizty, Gendiz duduk dengan muka cemberut. Dari tadi Dylan yang juga hadir di acara terlihat acuh tak acuh dan mengabaikannya. Seolah menganggapnya tidak ada di sana. Gendiz menjadi jengkel sendiri. Akhir-akhir ini hubungan mereka memang semakin renggang. Gendiz menganggap Dylan tidak ada effort untuk mendekati kedua orang tuanya agar hubungan mereka direstui. Apa salahnya Dylan berbasa-basi menanyakan kabar Adizty dan Kiano misalnya, apalagi di momen seperti ini, di mana mereka berkumpul bersama. Nyatanya Dylan tidak melakukan apa-apa, malah terkesan menjaga jarak.Sedangkan Dylan mempunyai pemikiran
Seperti permintaan Davin, Dylan kembali ke tempat tadi. Lelaki itu mencari-cari keberadaan keluarga Davin, tapi tak menemukannya. Yang ditemukannya hanya Gendiz.“Ndiz, tolong ambilin baju Davin di mobil atau bisa aku pinjam kuncinya biar aku yang ambil sendiri?”“Kuncinya nggak sama aku, sama papi,” sahut Gendiz memberitahu.“Bisa tolong kamu mintain kuncinya ke papi kamu?”Gendiz memandang Dylan setengah mengernyit. Tiba-tiba saja dia merasa kesal oleh sikap Dylan yang seperti pengecut. Kenapa harus pakai perantara? Kenapa bukan Dylan saja sendiri yang memintanya pada Kiano?“Memangnya kamu nggak bisa ambil sendiri? Tinggal ngomong sama papi apa salahnya?”“Ndiz, kamu kok langsung ngegas gitu? Nggak bisa ya ngomongnya baik-baik?” ucap Dylan sedikit keras.“Gimana aku nggak ngegas, sikap kamu itu ngejengkelin banget, tahu nggak? Lagian sejak kapan kamu bisa kasar kayak gini sama aku, Lan?” Gendiz tentu saja terkejut me
Nana—perwakilan dari wedding organizer, tiba-tiba menelepon saat Angel dan Dylan sedang berada di mobil dalam perjalanan menuju tempat mereka akan bertemu. Perempuan itu mengatakan kalau dia tiba-tiba saja berhalangan hadir dan akan digantikan oleh rekannya.“Namanya Riza, Mbak Angel. Orangnya pakai baju putih, rambutnya ikal, sama pakai kacamata. Nanti saya akan send nomor handphonenya.” Informasi itu yang paling diingat Angel. Namun hingga Angel tiba di tempat yang dimaksud, dia masih belum menerima nomor handphone yang dijanjikan Nana.Angel berdiri di pintu masuk. Matanya mengedar menjelajahi setiap sudut kafe untuk mencari orang dengan ciri-ciri yang disebutkan Nana.“Mana ya dia?” gumam Angel masih mencari-cari karena kafe siang itu lumayan ramai.“Yang itu kali,” tunjuk Dylan dengan dagunya saat melihat perempuan berbaju putih, berkacamata dengan rambut ikal melambaikan tangan ke arah mereka.Angel ikut memandang ke arah pandangan Dylan. Dan begitu netranya bertemu dengan per
Ruangan itu redup dan temaram. Lampu warna-warni yang menerpa akan membuat siapa saja yang tidak terbiasa menjadi sakit kepala. Musik yang menghentak semakin kencang menambah crowded suasana.Dari salah satu sudut ruangan, Tere melambaikan tangannya pada Angel yang baru saja tiba bersama Dylan. Angel melempar senyum pada Tere yang duduk bersama teman-temannya yang lain. Hanya dia satu-satunya perempuan di sana di antara empat lelaki lainnya.“Davin mana?” tanya Tere saat Angel dan Dylan sudah berada di dekatnya.“Lho, bukannya dia udah di sini?” Angel balik bertanya. Tadi Davin bilang mereka berangkat sendiri-sendiri saja dan menyuruh Angel bareng Dylan. Nyatanya hingga saat ini Davin masih belum menampakkan batang hidungnya.“Nggak ada tuh. Dia belum datang. Memangnya kalian nggak janjian?” Tere menatap heran pada Angel.“Davin bilang sih dia bakal datang sendiri,” jawab Angel lesu. Padahal tadi dia sudah berharap saat datang ke sini akan langsung bertemu Davin. Angel merindukan tun
Sampai di pelataran parkir, Angel merogoh tas guna mengambil kunci mobil, tapi tak menemukannya. Angel baru sadar kalau tadi menggunakan mobil Dylan, bukan mobilnya. Jadi sudah pasti kuncinya Dylan yang pegang.Angel memandang Dylan yang dia sandarkan ke sisi mobil. Lelaki itu terlihat tidak berdaya. Entah kesadarannya masih utuh atau tidak.“Lan, kunci mobil mana?”“Hmm…Ya…hmm…” Dylan hanya mengeluarkan gumaman kecil dan racauan tidak jelas dari mulutnya dengan mata terpejam.“Lan, kunci mobil mana? Biar aku antar kamu pulang.” Angel menepuk-nepuk pipi Dylan agar lelaki itu membuka mata.“Hmm…,” gumam Dylan sekali lagi diiringi suara-suara tidak jelas. Angel yang tidak tahu Dylan mengatakan apa lalu berinisiatif merogoh saku celana sepupunya itu. Gadis itu agak kesulitan melakukannya karena sebelah tangannya harus menopang badan Dylan.Sedikit gemetar jari-jari Angel menari-nari mencari yang dibutuhkannya di dalam saku celana Dylan. Ini adalah kali pertama dia menyentuh bagian tubu
Seakan baru saja ditampar kesadaran Davin lantas berhenti tepat di sisi pintu apartemen Dylan. Dia tidak mungkin meninggalkan Angel sendirian di sana. Davin lalu menoleh ke belakang. “Aku antar kamu pulang,” ucapnya dingin.Angel yang berurai air mata berjalan mendekati Davin dengan langkah lunglai. Ingin rasanya memeluk Davin dan menumpahkan air matanya di dada lelaki itu serta menceritakan segalanya, tapi Angel takut Davin akan menolak dan mengabaikannya lagi seperti beberapa saat yang lalu. Alhasil, Angel hanya bisa berjalan di samping Davin sambil menahan air matanya yang terus meleleh.Kebetulan yang sangat kebetulan karena saat itu hanya ada mereka berdua di dalam lift. Biasanya di saat seperti ini mereka akan bemesraan dengan berpelukan dan berpagutan. Tapi yang terjadi sekarang keduanya saling menjaga jarak. Davin tegak di depan memunggungi Angel yang berdiri kaku di belakangnya.Davin masih seperti biasa. Membukakan pintu mobil untuk Angel dan menutupkannya kembali setelah
“Dave, bangun, Dave, udah pagi!” Suara lembut Adizty terasa membelai gendang telinga Davin. Lelaki itu menggeliat dan mengeluarkan gumaman masih dengan mata tertutup. Rasanya baru beberapa jam dia tidur dan sekarang dipaksa untuk membuka mata.“Dave, udah pagi, Dave…” Adizty mengulang kata-katanya.“Aku masih ngantuk, Mi…”“Biarin aja dia dulu, Yang,” kata Kiano melihat Davin yang masih meringkuk di bawah selimut.Adizty menuruti permintaan suaminya lalu keluar dari kamar. Di ruang makan Gendiz sudah menunggu.“Davin mana, Mi?”“Masih tidur,” sahut Adizty sambil mengambil cangkir teh yang masih mengepulkan uap panas kemudian menyesapnya pelan-pelan.“Tumben, Mi?” ujar Gendiz lagi. Biasanya Davin selalu bangun pagi. Dan jam segini mereka semua sudah berkumpul di meja makan.“Mungkin dia terlalu capek. Biar aja dulu, nanti juga pasti bangun.”Kiano yang sejak tadi hanya diam sambil menyesap kopinya lalu angkat bicara. “Ndiz, apa di kantor kamu nggak ada koordinasi sama Davin? Jangan bi
“Ya ampun! Kamu kenapa, Lan?” tanya Tatiana shock saat melihat Dylan muncul di rumahnya sore itu. Muka Dylan yang memar akibat pukulan Davin kemarin malam membuat Tatiana khawatir.“Oh, ini bekas jatuh, My,” jawab Dylan berbohong sembari memegang mukanya.“Jatuh? Jatuh di mana? Kenapa bisa jatuh?” Berondongan pertanyaan Tatiana membuat Dylan berpikir keras. Dari kantor tadi Dylan sudah menyiapkan skenario tapi tiba-tiba saja dia menjadi gugup ketika Tatiana tidak melepaskan mata dari wajahnya.“Eh, ini jatuh kesandung di apartemen, My. Aku nggak tahu, tiba-tiba aja nabrak pintu terus jatuh ke lantai.”Tatiana menatap Dylan kurang yakin. “Masa sih? Tapi kayak habis diegebukin orang gitu.”Dylan memasang senyum untuk menutupi kebohongannya. “Amy ada-ada aja. Memang siapa yang mau mukul aku?”“Ya, siapa tahu kan? Kali aja kamu lagi punya masalah sama seseorang.”“Nggak kok, My. Amy tenang aja. Oh ya, My, gimana Angel? Masih sakit?” Tadi pagi Tatiana memang sudah mengabari kalau hari in