What a awkward wedding!
Pikiran itu yang melintas di benak Tatiana saat berada di pernikahannya sendiri. Di ballroom hotel yang luas dan sudah didekor sedemikian lupa, nuansa adanya pesta begitu terasa. Ballroom itu didominasi oleh warna putih. Mulai dari dekorasi hingga properti, sampai pada hal-hal yang paling detail seperti taplak meja. Para undangan juga terlihat sangat menikmati aneka hidangan lezat yang disajikan. Namun, bukan itu masalahnya. Ada yang terasa janggal. Tidak seorang pun keluarga Bian ada di sana. Termasuk orang tuanya. Bian bilang mereka sedang berada di luar negeri. Tapi kenapa mereka melewatkan begitu saja momen penting dan sesakral seperti pernikahan? Apalagi yang menikah adalah anak mereka sendiri.
Sudah sejak tadi kilatan lampu kamera menerpa dan menyambar-nyambar wajah Bian dan Tatiana. Sudah sejak tadi pula keduanya tak berhenti tersenyum. Tatiana merasakan mulutnya mulai pegal, dan giginya juga sudah kering. Dia melirik tangan Bian yang mengait lengannya. Pria yang kini dia sebut suami terlihat gagah dalam balutan tuxedo putih.
“Congrats ya! Buruan kasih kita ponakan, nggak usah pake tunda,” bisik Elka di telinga Tatiana saat mereka bersalaman di pelaminan.
Tatiana tersenyum gugup, khawatir Bian akan mendengar bisikan kecil itu. Padahal sesungguhnya adalah hal yang wajar. Namun, rasa malunya lebih mendominasi.
Tatiana lalu memindahkan senyum pada teman-teman kantornya yang lain yang antri ingin bersalaman dengannya.
“Pacarannya sama Darren, tapi nikahnya sama Bian. Kadang hidup memang selucu itu,” bisik Sofie, sahabatnya selain Elka, kemudian terkekeh geli.
“Kamu beruntung sekali menikah dengan Bian.” Komentar itu salah satunya yang didengar Tatiana dari teman-temannya yang lain.
Tatiana tersenyum kecil menanggapinya. Dia kembali melirik Bian yang kini menunjukkan muka datar. Tanpa ekspresi, tanpa senyum. Sangat kontras dengan saat mereka bersalaman dan berswafoto dengan para tamu.
Tatiana sebelumnya memang mengenal Bian melalui Darren. Dan Bian juga mengenal Tatiana sebagai calon istri Darren yang adalah keponakannya. Selisih umur Bian dengan Darren hanya lima tahun. Mereka lebih terlihat seperti kakak dan adik. Bukan seperti paman dan keponakan. Tatiana tidak tahu seperti apa jati diri Bian yang sesungguhnya. Baik itu sifat, karakter, kesukaan, hal-hal yang dibenci, serta lainnya. Tatiana hanya tahu kalau Bian adalah seorang pengusaha muda yang sukses. Bian bisa dikategorikan sebagai salah seorang public figure non celeb. Beberapa kali Tatiana sempat melihat Bian muncul di media. Tapi saat itu sosok Bian bukanlah seseorang yang bisa menarik minat dan menyita habis perhatian serta pikirannya. Saat itu kepala Tatiana hanya diisi oleh Darren, Darren, dan Darren lagi. Lelaki berparas elok, baik, tapi sayangnya berbeda nasib dengan Bian. Darren hanyalah seorang lelaki biasa dengan kehidupan yang biasa-biasa pula. Termasuk profesinya. Dia tidak seberuntung Bian. Dia bukan CEO atau direktur. Darren hanyalah seorang karyawan kubikel non jabatan dengan penghasilan standar tapi mencukupi dan tidak berlebih.
***
Pesta telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Sekarang tinggal lelahnya. Saat ini Tatiana dan Bian berada di kamar presidential suite hotel tempat mereka menyelenggarakan pesta pernikahan.
Tatiana berbaring di ranjang pengantin mereka. Tidak ada taburan kelopak mawar merah di atas pemukaan kasur. Mereka seperti layaknya tamu hotel biasa.
“Aku yang meminta agar kamar ini tidak dihias apa pun,” ujar Bian seolah mengetahui pikiran Tatiana. Lelaki itu melepas satu demi satu pakaian yang melekat di tubuhnya.
“Oh…,” sahut Tatiana. Jantungnya berdenyut aneh saat melihat Bian yang kini bertelanjang dada. Apa yang akan dilakukannya? Apa malam ini Bian akan meminta haknya?
‘Aku belum siap!’ Tatiana berteriak di dalam hati. Tanpa sadar dia memeluk dirinya sendiri yang mengenakan piyama tidur lengan panjang. Bukan lingerie seksi. Tatiana kemudian menarik selimut tinggi-tinggi dan menutupi mukanya.
Bian berjalan mendekati tempat tidur. Dia juga terlalu lelah dan ingin beristirahat. Namun langkahnya terhenti. Di mana dia akan tidur? Matanya berlarian mengitari setiap sudut ruangan. Ah, mungkin di sofa itu lebih baik.
Bian lalu merebahkan tubuh di sofa itu. Diliriknya Tatiana yang menenggelamkan diri di bawah selimut. Bian sama sekali tidak menyangka kalau pada akhirnya mereka akan terjebak pada hubungan yang menurutnya absurd ini. Mereka hanya dua orang yang sama-sama disakiti dan disatukan dalam sebuah ikatan suci. Bagi Bian ini adalah hal paling gila yang pernah dilakukannya sepanjang tiga puluh tahun kehidupannya.
Tidak mendengar suara atau gerakan apa pun, Tatiana membuka mata dan mengintip setelah menyibak sedikit selimut yang menutupi kepalanya. Dia memutar tubuh dengan gerakan yang teramat perlahan. Tidak ada Bian di sebelahnya. Ke mana dia?
Menjawab rasa penasaran, Tatiana menurunkan selimut hingga sebatas dada agar bisa melihat lebih jelas. Matanya menyapu seluruh penjuru kamar. Akhirnya Tatiana menemukan Bian berbaring di sofa. Kenapa dia tidur di sana? Bukankah ranjang ini sangat besar? Bahkan, Tatiana rasa bisa memuat sampai empat orang.
“Bian!” panggil Tatiana, dan dia mendengar suaranya sendiri menggema di ruangan. Tanpa sahutan atau jawaban. “Bian!!!” Kali ini suara Tatiana lebih keras.
Bian membuka mata. Dia hampir saja tertidur saat mendengar Tatiana memanggilnya. “Iya?”
“Kenapa tidur di sana?” tanya Tatiana heran.
Bian tidak menjawab. Matanya menatap lurus pada perempuan yang kini dia namakan istri. Ya, istri. Seseorang yang seharusnya akan menjadi tempat berbagi seumur hidup.
“Tidur di sini saja,” ujar Tatiana agar Bian pindah ke sebelahnya.
‘Apa aku harus tidur dengan dia?’ Bian berpikir sendiri. Namun sepertinya tempat tidur besar itu terlihat sangat empuk ketimbang sofa tempatnya berada sekarang. Bian duduk, lalu beranjak, naik ke tempat tidur, berbaring di sebelah Tatiana.
“Aku tidur duluan ya, tubuhku terasa lelah,” keluh Tatiana meski Bian tidak bertanya.
Bian menatap muka Tatiana yang kini polos tanpa riasan apapun. Begitu kontras dengan tadi saat mereka berpesta. Tidak pernah Bian melihat Tatiana dalam jarak sedekat ini. Dan ternyata Tatiana jauh lebih menarik dengan tampil alami seperti sekarang.
Bian tersentak. Saat ini bukan muka Tatiana lagi yang dia lihat karena istrinya itu sudah tidur membelakanginya. Bian pun melakukan hal yang sama.
Dan, malam itu keduanya tidur dengan punggung saling bertatapan. Tanpa ada malam pertama.
***
“Tatiana, bisa kita bicara sebentar?” Suara Bian mengagetkan Tatiana yang sedang duduk melamun di pinggir kolam renang dengan kaki terulur ke dalam air.Tatiana menoleh. Didapatinya Bian sedang berdiri di sisi pintu. Sebuah kacamata hitam membingkai wajahnya.Tatiana bangkit dari duduk, lalu mengikuti Bian yang kembali masuk ke kamar.“Ada apa, Bi?” “Orang tuaku akan datang dari Madrid, nanti malam mereka sudah sampai. Kamu siap-siap ya!”“Madrid?”“Iya, Spanyol. Kamu tahu kan?”Tatiana mengangguk pelan. Bagaimana mungkin dia tidak tahu. Setidaknya secara geografis Tatiana paham letak negara tersebut, walaupun dia belum pernah ke sana. Jujur saja, Tatiana mengagumi salah satu pemain bola dari klub Real Madrid. Bahkan, Tatiana pernah mempunyai impian untuk mengunjungi negara tersebut. Tapi, bagi Tatiana impian itu akan selamanya tetap menjadi mimpi. Darren juga pernah bercerita bahwa Bian adalah pria berdarah campuran Spanyol dan Indonesia.Bian pergi meninggalkan Tatiana sebelum dia
Bian masuk ke kamar setelah orang tua dan adiknya pulang. Lelaki itu melihat Tatiana sedang duduk bercermin di depan kaca. Istrinya itu sedang menyisir rambut, lalu mengoleskan sesuatu ke mukanya. Mungkin semacam krim malam atau sejenis kosmetika lainnya. Bian tidak tahu apa dan tidak mau tahu. Hanya sekedar itu. Bian tidak memedulikannya. Dia lalu merebahkan diri ke tempat tidur dan menarik selimut. Tak lama dia pun tertidur.Tatiana mendesah lelah. Banyak yang ingin ditanyakannya. Nyatanya dia menelan sendiri rasa itu kala melihat Bian yang sepertinya teramat lelah. Buktinya dia memilih mendekam di bawah selimut ketimbang mengajaknya bicara.Tatiana ikut berbaring di sebelah Bian yang tidur membelakanginya. Dia harus segera memejamkan mata karena besok sudah harus kembali bekerja. Tapi yang ada, meskipun matanya terpejam, pikirannya jalan-jalan. Semua percakapan Bian dan orang tuanya tadi begitu mengganggu hati dan pikirannya. Membuatnya resah, galau, juga terhina.***Keesokan har
“Yang benar saja, Bi? Aku nggak percaya kalau dia istri kamu!” kata Gladys tidak terima. Saat ini mereka sedang berbicara di salah satu sudut lounge.“Terserah kamu percaya atau nggak. Nyatanya dia adalah istriku!” “Istri sewaan? Iya? Cuma buat manas-manasin aku kan? Nggak akan mempan, Bi! Apalagi cewek kayak gitu yang kamu sodorin ke aku,” oceh Gladys dengan ekspresi jijik.“Kayak gitu gimana, hah? Buktinya dia jauh lebih baik dari kamu.”“Cuih! Perempuan kayak gitu kamu bilang baik? Dilihat dari puncak Monas juga nggak ada bagus-bagusnya!” Gladys mengambil jeda, lantas menoleh sekilas pada Tatiana yang berdiri terpaku kebingungan sendiri.Bian ikut melirik istrinya itu. Tatiana terlihat seperti orang bingung dalam diamnya. Tatiana pasti terheran-heran dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bian pun tidak ingin ambil peduli. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan perempuan berbibir seksi yang kini bersamanya.“Aku nggak ngerti deh, Bi, apa bagusnya dia? Wajah biasa, pen
Tatiana mondar-mandir sendiri di kamarnya yang luas dan besar. Sudah lewat jam dua malam, tapi hingga detik ini Bian masih belum pulang. Tidak ada kabar apa pun dari lelaki itu, semisal sebaris pesan singkat. Tapi bukankah Bian tidak pernah berkabar? Apa pun yang terjadi Bian tidak akan peduli. Tatiana kembali mengingatkan diri bahwa mereka adalah dua orang asing yang dikumpulkan dalam sebuah ruangan.‘Kenapa aku harus khawatir? Dia saja tidak pernah memedulikanku. Bahkan dia meninggalkanku untuk wanita lain.'Atas pemikirannya barusan, maka Tatiana pun mencoba untuk tidur setelah merebahkan diri di tempat tidur. Diusapnya permukaan kasur yang kosong dan dingin. Sama dinginnya dengan hatinya saat ini. Semestinya Tatiana tidak perlu cemas, nyatanya dia sangat mengkhawatirkan Bian. Di mana Bian menginap sekarang? Apa di tempat perempuan itu? Pernikahan macam apa ini? Sampai kapan akan seperti ini? Tatiana larut dalam pikirannya sendiri. Entah berapa lama, sampai akhirnya dia tertidur
Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lain. Hampir setiap ruas jalan yang Tatiana lewati dipenuhi oleh kendaraan. Mulai dari roda empat hingga roda dua seperti Tatiana sekarang. Sebagian dari mereka Tatiana yakin adalah karyawan seperti dirinya yang sedang mengejar waktu.Tatiana hampir saja lolos dari antrian panjang di traffic light, nyatanya dia harus terjebak perangkap lampu merah lagi karena terlambat bergerak. Terpaksa Tatiana mengumpulkan lagi kesabarannya.Dari balik kaca helm yang gelap Tatiana menoleh pada Land Cruiser hitam yang ikut antri di sebelahnya. Tatiana rasa dia mengenal mobil itu. Tatiana lalu membuka kaca helm agar bisa melihat dengan lebih jelas. Mirip mobil Bian, pikirnya. Tapi bukankah di kota ini banyak yang memiliki mobil serupa? Mungkin saja itu bukan Bian. “Pak Bian, itu bukannya Ibu Tatiana?” tanya Mario saat melihat Tatiana yang juga ikut antri menunggu lampu merah bersamanya.Bian mengarahkan mata pada pandangan Mario. Iya, itu memang Tatiana. Bian mena
Fortune Corp. jam 12 siang.“Ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?” tanya Kania, sekretaris Bian setelah menuangkan Martell XO Supreme Cognac ke dalam gelas kecil yang berisi es batu dan meletakkannya di atas meja sesuai dengan permintaan Bian. “Sedikit saja, Kania!” Itu kata Bian tadi. Dan Kania memenuhi permintaan sang atasan.“Nggak ada. Sekarang kamu boleh keluar,” suruh Bian. Dia sedang ingin sendiri tanpa direcoki siapa pun. Pikirannya saat ini betul-betul kacau sekacau-kacaunya. Dan yang Bian inginkan hanya sendiri tanpa gangguan apa pun.“Baik, Pak.” Kania lalu meninggalkan ruangan Bian.Bian memijit kecil pelipisnya dengan siku tertopang ke meja. Kepalanya yang berdenyut terasa bertambah berat. Bukan apa-apa, sejak pertemuannya dengan Gladys kemarin, Bian merasa hatinya yang sudah tenang kembali terusik. Bian tidak ingin lagi berhubungan dengan perempuan itu. Tapi semesta masih belum sepakat. Hal itu pun terbukti saat ini ketika tiba-tiba Gladys kembali muncul di hadapannya.
Kingdom Residence, 14.30.Bian melepas jas, tak lupa melonggarkan dasi, lantas menyingsingkan lengan kemeja sampai ke siku. Dirinya merasa sesak dengan atribut itu. Bian merasa butuh lebih banyak oksigen. Saat ini Bian sudah merebahkan tubuh di atas sofa abu-abu di apartemen Gladys. Sementara perempuan itu bergerak ke belakang untuk mengambil air putih.Memandangi langit-langit, Bian larut dalam pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa berada sini? Seharusnya jam segini dia sedang berada di kantor, memeriksa RAB yang sudah disiapkan bagian keuangan perusahaannya dan hanya tinggal persetujuannya saja. Nyatanya dia malah berada di sini. Di apartemen Gladys. Perempuan yang berprofesi sebagai script writer sekaligus penulis buku itu seolah punya kekuatan magis yang membuat Bian takluk padanya. Sebut saja Bian lemah. Tapi jangan hubung-hubungkan dengan profesi dan apa pun yang dia miliki. Cinta adalah masalah rasa. Siapa pun pernah memiliki rasa itu, atau minimal merasakannya. Jang
Gladys menuangkan red wine ke dalam gelas setelah sesi makan malam mereka berakhir. Dia tersenyum tipis menyadari Bian yang mengamati gerak-geriknya. “Sedikit aja, Dys,” kata Bian memberitahu saat Gladys akan menuang cairan beralkohol itu sampai penuh.“Apa nggak terlalu sedikit?” Gladys melihat isi gelas yang tidak sampai setengah. Padahal biasanya Bian sanggup menenggak bergelas-gelas minuman itu.“Nggak kok, segitu aja.” Bian sedang tidak ingin minum banyak malam ini. Bian tahu kapan tubuhnya benar-benar hanya ingin minum, pun saat dia benar-benar ingin mabuk.Dengan gerakan yang teramat anggun, Gladys memberikan gelas yang sudah berisi pada Bian. Lelaki itu lalu menyesapnya pelan-pelan. Tiba-tiba Bian teringat Tatiana kala matanya tak sengaja bertemu dengan cincin nikah mereka. Hanya itu. Bian tidak ingin memikirkan Tatiana dan menambah penuh isi kepalanya. Perempuan di sampingnya lebih menyita perhatiannya.Bian menoleh ke kanan, dan dia menemukan Gladys sedang tersenyum mesra