Tatiana mondar-mandir sendiri di kamarnya yang luas dan besar. Sudah lewat jam dua malam, tapi hingga detik ini Bian masih belum pulang. Tidak ada kabar apa pun dari lelaki itu, semisal sebaris pesan singkat. Tapi bukankah Bian tidak pernah berkabar? Apa pun yang terjadi Bian tidak akan peduli. Tatiana kembali mengingatkan diri bahwa mereka adalah dua orang asing yang dikumpulkan dalam sebuah ruangan.
‘Kenapa aku harus khawatir? Dia saja tidak pernah memedulikanku. Bahkan dia meninggalkanku untuk wanita lain.' Atas pemikirannya barusan, maka Tatiana pun mencoba untuk tidur setelah merebahkan diri di tempat tidur. Diusapnya permukaan kasur yang kosong dan dingin. Sama dinginnya dengan hatinya saat ini. Semestinya Tatiana tidak perlu cemas, nyatanya dia sangat mengkhawatirkan Bian. Di mana Bian menginap sekarang? Apa di tempat perempuan itu? Pernikahan macam apa ini? Sampai kapan akan seperti ini? Tatiana larut dalam pikirannya sendiri. Entah berapa lama, sampai akhirnya dia tertidur sambil memeluk guling. *** “Bian, bangun, Bi!” Sayup-sayup Bian mendengar namanya didengungkan seseorang. Bian mencoba untuk membuka mata. Tapi sangat terasa berat. “Bian! Bangun! Katanya kamu ada meeting pagi ini.” Kalau saja tidak mendengar kata 'meeting', mungkin Bian tidak akan mau membuka matanya yang terpejam. Pusing. Rasa itu yang dirasakan Bian setelah kelopak yang dengan susah payah dia gerakkan akhirnya terbuka. Tora, lelaki berambut cepak dengan kulit kuning langsat cenderung coklat adalah orang pertama yang Bian lihat. Lelaki dimaksud bisa dikatakan sebagai sahabat sekaligus orang suruhan Bian. Setelah nyawanya terkumpul, Bian mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam. Terakhir diingatnya dia sedang berada di apartemen Gladys. Perempuan itu memaksa Bian agar menginap di apartemennya. Beruntung Bian bisa bertahan dan menolak. Dari sana, Bian tidak pulang tapi mengajak Tora clubbing guna melepas stress. Dan disinilah dia berada pagi ini. Di apartemen Tora. Tertatih Bian melangkah ke kamar mandi untuk membuang urin serta mencuci muka. Hangover sisa semalam membuatnya kehilangan keseimbangan. Bian hampir saja terjatuh, untung dia segera berpegangan ke dinding. “Kamu yakin akan pulang sendiri, Bi?” tanya Tora melihat keadaan Bian yang belum stabil. “Kamu tenang saja, Tor, aku bisa kok,” jawab Bian mencoba berdiri tegak agar Tora percaya kalau kondisinya sudah kembali seperti semula. Meski ragu akhirnya Tora melepas Bian. Ini bukan pertama kalinya Bian mabuk dan sejauh ini dia mampu mengatasinya sendiri. *** Tatiana baru siap mandi dan masih memakai handuk ketika Bian datang. Refleks, Tatiana mundur selangkah sambil menyilangkan tangan di dada. Setelah mengambil pakaian kerja dari dalam lemari Tatiana kembali masuk ke kamar mandi untuk memakai baju. Dia merasa risih melakukannya di depan Bian. Dan begitu Tatiana keluar dari kamar mandi, dia melihat Bian duduk di tepi tempat tidur sambil memegang pelipis dengan ekspresi meringis. Tatiana mendekatinya dan bertanya, “Bi, kenapa? Kamu dari mana saja? Kenapa kamu ninggalin aku tadi malam? Kamu nginap di mana, Bi?” “Bukan urusan kamu!” sergah Bian setelah mengangkat muka. Tatiana tersentak mendengar ucapan keras Bian. Dia berpikir sendiri apa kesalahannya? Apa dia sudah salah bicara? Ah, Tatiana tahu sekarang. Pasti Bian berubah karena bertemu dengan mantan kekasihnya semalam. “Aku minta maaf, tapi aku cuma nanya, tadi malam kamu tidur di mana?” Bian berdiri dan memandang Tatiana lekat-lekat. “Dengar, Tia, aku ingatkan lagi sama kamu, pernikahan kita hanya status. Kamu nggak berhak mengatur dan mencampuri hidup aku. Ngerti?” Tatiana mundur selangkah saat menghirup aroma alkohol yang sangat menusuk menguar dari mulut Bian dan terhirup oleh hidungnya. Selain itu hatinya juga sakit mendengar bentakan Bian. “Bi, baju kamu udah aku siapin untuk kerja nanti, aku duluan.” Tatiana menyambar tas, lantas keluar dari kamar. Tatiana melewatkan sarapan pagi. Dia sudah kehilangan selera. Mungkin nanti kalau perutnya lapar Tatiana akan membeli semangkuk bubur ayam ataupun seporsi lontong medan yang dijual di pinggir jalan di dekat kantornya. “Pagi, Bu Tia,” sapa Mario saat Tatiana sampai di depan rumah. “Pagi,” balas Tatiana sekenanya. Walaupun sudah mencoba untuk tidak mengambil hati, nyatanya ucapan Bian tadi cukup mengganggu mood Tatiana. Tatiana lalu mengeluarkan motor matic putihnya dari dalam garasi. Tunggangannya itu Sandra, adiknya, yang mengantar kemarin. Mario terheran-heran melihat Tatiana yang kini sedang memanaskan mesin motornya. “Bu Tia mau ke kantor pakai motor?” “Iya, Yo.” “Nggak usah, Bu, biar saya saja yang antar.” Mario menawarkan diri. Dia rasa tidak pantas istri seorang pengusaha sukses seperti Bian masih menggunakan kendaraan roda dua ke mana-mana. “Makasih, tapi nggak usah, saya pakai motor saja,” tolak Tatiana, kemudian naik ke motornya dan melaju keluar setelah meninggalkan segaris senyum selamat pagi. Mario, supir pribadi Bian, terpaku di tempatnya berdiri menyaksikan kepergian Tatiana. Sampai akhirnya dia mendengar deheman seseorang. “Pak Bian, sudah siap, Pak?” sapanya saat melihat Bian berdiri di dekatnya dengan pakaian rapi. Wajahnya terlihat segar dengan rambut setengah basah. Entah sejak kapan Bian berdiri di sana. Mario tidak tahu karena terlalu fokus memerhatikan Tatiana. Bian mengangguk kecil, lalu masuk ke mobil setelah Mario membukakan pintu untuknya. Dari spion tengah Mario melirik pada Bian yang duduk di jok belakang. Muka Bian terlihat datar dan nyaris tanpa ekspresi. Mario kesulitan untuk membaca mood Bian pagi ini. Namun diberanikannya diri untuk bertanya. “Pak, apa Pak Bian tadi melihat Ibu Tia berangkat pakai motor?” “Ya,” sahut Bian singkat. “Pak, apa itu nggak masalah?” Entah kenapa Mario yang merasa khawatir. Dia merasa berkewajiban untuk menjaga reputasi sang atasan. “Apa salahnya? Biarkan saja dia sesukanya.” “Tapi kalau orang-orang tahu gimana, Pak?” ucap Mario kahwatir. “Aku nggak peduli. Persetan dengan orang-orang.” Ekspresi Bian masih seperti tadi. Mario kembali melihat spion untuk memandang Bian. Lelaki itu kini memakai sunglasses dan memandang ke jalan. Sama seperti biasanya kalau sudah seperti itu Bian tidak ingin diajak berbicara banyak. ***Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lain. Hampir setiap ruas jalan yang Tatiana lewati dipenuhi oleh kendaraan. Mulai dari roda empat hingga roda dua seperti Tatiana sekarang. Sebagian dari mereka Tatiana yakin adalah karyawan seperti dirinya yang sedang mengejar waktu.Tatiana hampir saja lolos dari antrian panjang di traffic light, nyatanya dia harus terjebak perangkap lampu merah lagi karena terlambat bergerak. Terpaksa Tatiana mengumpulkan lagi kesabarannya.Dari balik kaca helm yang gelap Tatiana menoleh pada Land Cruiser hitam yang ikut antri di sebelahnya. Tatiana rasa dia mengenal mobil itu. Tatiana lalu membuka kaca helm agar bisa melihat dengan lebih jelas. Mirip mobil Bian, pikirnya. Tapi bukankah di kota ini banyak yang memiliki mobil serupa? Mungkin saja itu bukan Bian. “Pak Bian, itu bukannya Ibu Tatiana?” tanya Mario saat melihat Tatiana yang juga ikut antri menunggu lampu merah bersamanya.Bian mengarahkan mata pada pandangan Mario. Iya, itu memang Tatiana. Bian mena
Fortune Corp. jam 12 siang.“Ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?” tanya Kania, sekretaris Bian setelah menuangkan Martell XO Supreme Cognac ke dalam gelas kecil yang berisi es batu dan meletakkannya di atas meja sesuai dengan permintaan Bian. “Sedikit saja, Kania!” Itu kata Bian tadi. Dan Kania memenuhi permintaan sang atasan.“Nggak ada. Sekarang kamu boleh keluar,” suruh Bian. Dia sedang ingin sendiri tanpa direcoki siapa pun. Pikirannya saat ini betul-betul kacau sekacau-kacaunya. Dan yang Bian inginkan hanya sendiri tanpa gangguan apa pun.“Baik, Pak.” Kania lalu meninggalkan ruangan Bian.Bian memijit kecil pelipisnya dengan siku tertopang ke meja. Kepalanya yang berdenyut terasa bertambah berat. Bukan apa-apa, sejak pertemuannya dengan Gladys kemarin, Bian merasa hatinya yang sudah tenang kembali terusik. Bian tidak ingin lagi berhubungan dengan perempuan itu. Tapi semesta masih belum sepakat. Hal itu pun terbukti saat ini ketika tiba-tiba Gladys kembali muncul di hadapannya.
Kingdom Residence, 14.30.Bian melepas jas, tak lupa melonggarkan dasi, lantas menyingsingkan lengan kemeja sampai ke siku. Dirinya merasa sesak dengan atribut itu. Bian merasa butuh lebih banyak oksigen. Saat ini Bian sudah merebahkan tubuh di atas sofa abu-abu di apartemen Gladys. Sementara perempuan itu bergerak ke belakang untuk mengambil air putih.Memandangi langit-langit, Bian larut dalam pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa berada sini? Seharusnya jam segini dia sedang berada di kantor, memeriksa RAB yang sudah disiapkan bagian keuangan perusahaannya dan hanya tinggal persetujuannya saja. Nyatanya dia malah berada di sini. Di apartemen Gladys. Perempuan yang berprofesi sebagai script writer sekaligus penulis buku itu seolah punya kekuatan magis yang membuat Bian takluk padanya. Sebut saja Bian lemah. Tapi jangan hubung-hubungkan dengan profesi dan apa pun yang dia miliki. Cinta adalah masalah rasa. Siapa pun pernah memiliki rasa itu, atau minimal merasakannya. Jang
Gladys menuangkan red wine ke dalam gelas setelah sesi makan malam mereka berakhir. Dia tersenyum tipis menyadari Bian yang mengamati gerak-geriknya. “Sedikit aja, Dys,” kata Bian memberitahu saat Gladys akan menuang cairan beralkohol itu sampai penuh.“Apa nggak terlalu sedikit?” Gladys melihat isi gelas yang tidak sampai setengah. Padahal biasanya Bian sanggup menenggak bergelas-gelas minuman itu.“Nggak kok, segitu aja.” Bian sedang tidak ingin minum banyak malam ini. Bian tahu kapan tubuhnya benar-benar hanya ingin minum, pun saat dia benar-benar ingin mabuk.Dengan gerakan yang teramat anggun, Gladys memberikan gelas yang sudah berisi pada Bian. Lelaki itu lalu menyesapnya pelan-pelan. Tiba-tiba Bian teringat Tatiana kala matanya tak sengaja bertemu dengan cincin nikah mereka. Hanya itu. Bian tidak ingin memikirkan Tatiana dan menambah penuh isi kepalanya. Perempuan di sampingnya lebih menyita perhatiannya.Bian menoleh ke kanan, dan dia menemukan Gladys sedang tersenyum mesra
Pagi ini Tatiana merasa badannya tidak seperti biasa. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Saat Tatiana memegang dahinya, dia merasakan hangat pada bagian itu. Tatiana tahu kondisi tubuhnya saat ini sedang menurun. Mungkin sebentar lagi dia akan demam. Hal itu diperkuat lagi dengan badannya yang meriang setelah mandi tadi.Bian masih belum pulang hingga saat ini, dan Tatiana mencoba untuk mengabaikannya.“Ibu Tia sakit? Muka Ibu pucat lho,” ujar Lina melihat wajah Tia yang agak pucat saat sarapan di ruang makan.Tatiana memegang pipinya, seolah dengan begitu dia bisa membuktikan perkataan Lina.“Nggak kok, Bi, saya nggak sakit,” sangkal Tatiana membantah.Lina terlihat kurang percaya, tapi dia tidak ingin mengusik Tatiana yang pagi ini terlihat sedikit berbeda. Mungkin merasa sedih kalau boleh Lina nilai.“Bi Lina, Pak Bian sering ya nggak pulang ke rumah?” tanya Tatiana tidak mampu lagi menyimpan sendiri rasa ingin tahunya.“Kadang-kadang sih, Bu, kalau lagi sibuk.”“Terus, apa dia k
Mario sudah menunggu di dalam mobil ketika Bian muncul. Melihat Bian membawa koper, lelaki itu dengan sigap keluar dari mobil dan mengambil alih dari Bian setelah terlebih dahulu membukakan pintu mobil agar Bian bisa masuk.“Jadi kita langsung ke bandara, Pak?” tanya Mario mengonfirmasi sekali lagi. Tadi Bian memang mengatakan padanya tujuan itu. Saat ini juga Bian akan berangkat ke Sumatera demi meninjau sendiri lokasi proyek tempat kecelakaan kerja terjadi.“Iya, kita langsung ke sana,” kata Bian menegaskan, menjawab pertanyaan Mario.“Pak Bian, tadi Bi Lina bilang Bu Tia lagi sakit, benar begitu, Pak?” tanya Mario lagi sambil melirik Bian melalui spion.“Iya,” sahut Bian dari jok belakang.“Jadi gimana, Pak?” Mario bertanya bingung.“Apanya yang gimana?”“Apa kita jadi pergi, Pak? Ibu Tia kan sakit.” “Itu nggak ada pengaruhnya, Yo. Lagian dia cuma commond cold, bukan sakit yang gimana-gimana.”“Tapi common cold juga sakit kan, Pak?” Entah mengapa Mario tidak suka pada respon Bian
Healthy Hospital, 16.10“Ibu Tia baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan dan mungkin terlalu banyak pikiran. Nanti saya akan resepkan vitamin.” Pria muda dengan kumis tipis serta bersnelli putih berbicara sambil menuliskan sesuatu.Saat ini Tatiana memang sedang berada di ruang praktik dokter. Tidak sendiri, tapi berdua dengan Rei. Tadi, lelaki itu memang mati-matian membujuknya agar mau ke rumah sakit. Rei tidak tega melihat kondisi Tatiana yang lemah. Dan pada akhirnya Tatiana menyerah pada bujukan adik iparnya itu.“Terima kasih, Dok.” Rei mengambil kertas berisi resep obat yang disodorkan dokter padanya. Tatiana ikut berterima kasih, lantas keluar dari ruangan dokter.Rei mengajak Tatiana ke apotik dan memintanya duduk di kursi tunggu, sementara dirinya memberi resep obat tadi pada petugas apotik.“Tadi aku sudah telfon Bian.” Rei memberitahu setelah duduk disebelah Tatiana.“Terus?” timpal Tatiana tak bersemangat. Dia tidak ingin berharap apa pun. Tatiana tahu, Bian tidak akan p
Bian berdiri sendiri di beranda dengan tangan terlipat di dada. Dia menunggu kedatangan Tatiana. Sudah dua puluh menit berlalu, tapi masih belum ada tanda-tanda kalau istrinya itu akan tiba. Pasti mereka mampir kemana-mana dulu. Tidak mungkin tidak. Bian menggeram sendiri menahan kesal dan membendung emosi.Bian mondar-mandir untuk membunuhh waktu. Kenapa hatinya segelisah ini? Rasanya Bian tidak bisa menerima sikap Tatiana yang bertindak semaunya. Harusnya tadi Tatiana minta izin dulu sama Bian. Meskipun Bian tidak sedang berada di rumah tapi setidaknya Tatiana bisa meneleponnya sekadar memberitahu kalau dia akan meninggalkan rumah. Walau itu pergi dengan adiknya sendiri.Deru mesin mobil membuat Bian memutar tubuh. Land Rover Discovery berwarna putih memasuki halaman rumahnya. Itu mobil Rei. Dan yang dinantinya sejak tadi akhirnya datang juga. Tatiana turun dari pintu depan sebelah kiri.“Dari mana saja kamu?” tanya Bian dingin dengan tatapan menyelidik.“Dari rumah sakit,” jawab Ta