Share

Termakan Rayuan

Fortune Corp. jam 12 siang.

“Ada lagi yang harus saya lakukan, Pak?” tanya Kania, sekretaris Bian setelah menuangkan Martell XO Supreme Cognac ke dalam gelas kecil yang berisi es batu dan meletakkannya di atas meja sesuai dengan permintaan Bian. “Sedikit saja, Kania!” Itu kata Bian tadi. Dan Kania memenuhi permintaan sang atasan.

“Nggak ada. Sekarang kamu boleh keluar,” suruh Bian. Dia sedang ingin sendiri tanpa direcoki siapa pun. Pikirannya saat ini betul-betul kacau sekacau-kacaunya. Dan yang Bian inginkan hanya sendiri tanpa gangguan apa pun.

“Baik, Pak.” Kania lalu meninggalkan ruangan Bian.

Bian memijit kecil pelipisnya dengan siku tertopang ke meja. Kepalanya yang berdenyut terasa bertambah berat. Bukan apa-apa, sejak pertemuannya dengan Gladys kemarin, Bian merasa hatinya yang sudah tenang kembali terusik. Bian tidak ingin lagi berhubungan dengan perempuan itu. Tapi semesta masih belum sepakat. Hal itu pun terbukti saat ini ketika tiba-tiba Gladys kembali muncul di hadapannya.

Belum sempat Bian bicara Kania kembali masuk ke dalam ruangannya. Sekretarisnya itu terlihat panik. “Pak, maaf, saya sudah coba mencegah, tapi dia memaksa masuk, Pak.”

Bian memang mewanti-wanti pada Kania untuk melarang menerima kunjungan Gladys ke kantor ini. Ternyata Kania tidak mampu mencegah.

“Ya sudah, kamu boleh keluar,” titah Bian pada Kania.

“Baik, Pak.” Kania mundur teratur. Sebelum pergi dia masih sempat melihat tatapan tidak suka Gladys padanya.

Gladys menarik kursi di depan Bian dan mendudukkan diri di sana. Matanya yang bulat dan besar memandang lurus pada lelaki itu. “Jadi gitu ya, Bi? Kamu melarangku ke sini apa maksudnya?

“Aku nggak mau lagi ketemu sama kamu,” jawab Bian terang-terangan.

Gladys tertawa menampakkan gigi putihnya yang rapi. “Kamu nggak akan bisa lepas dari aku, Bi, percayalah!”

“Pergilah sekarang, aku sibuk!” usir Bian tidak ingin meladeni ocehan Gladys. Selain itu kepalanya yang semakin sakit membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.

“Bi, aku hanya ingin mengajak kamu makan siang.”

“Aku nggak bisa, Dys. Aku sibuk,” ulang Bian sekali lagi.

Keduanya lalu terdiam dengan tatapan saling mengunci. Gladys tahu, dia adalah satu-satunya yang Bian cintai dari dulu hingga sekarang. Dan sebenci apa pun Bian padanya, Gladys juga tahu kalau rasa cinta lelaki itu lebih mendominasi.

“Kamu ingat nggak, Bi, waktu itu aku ulang tahun. Terus kamu bilang nggak bisa datang karena sedang berada di Italia. Aku sedih waktu itu. Padahal kamu sudah janjiin aku mau candle light dinner bareng. Tau-taunya kamu datang ngasih kejutan, terus kamu kasih aku hadiah kalung yang ada nama kamu. Aku bahagia banget, Bi. Itu adalah kado paling terindah dalam hidupku. Apalagi kamu yang makein.” Gladys mencoba membangkitkan kenangan lama mereka agar Bian tergugah hatinya. “Oh iya, Bi, ini aku udah pake lagi kalung dari kamu.” Gladys mengeluarkan kalung berlian dengan bandul empat huruf bertuliskan BIAN yang tadi tersembunyi di balik bajunya.

Bian menahan napas, juga perasaannya. Kenangan itu semakin mengganggu. Dia sangat membenci Gladys atas pengkhianatan yang sudah dilakukannya. Di lain sisi, Bian masih sangat mencintainya. Siapa pun pasti tahu dan tidak akan membantah. Sekuat apa pun batu karang, namun lama kelamaan pasti akan hancur diterjang ombak besar terus-terusan.

“Bi, aku nggak bermaksud minta yang macam-macam sama kamu, aku tahu kamu sudah menikah, aku hanya ingin kita makan siang bareng. Sekali… aja.” Mata Gladys jatuh di jari manis Bian. Tepat pada cincin berlian yang melingkar di sana.

Bian ikut memandang cincinnya sendiri. Cincin polos yang sekilas terlihat biasa itu adalah cincin nikahnya dengan Tatiana. Entah kenapa Bian tidak ingin melepas dan membiarkan melekat erat di jarinya.

“Aku tahu, sekarang aku sudah kehilangan kamu. Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah mengikhlaskan kamu. Hubungan kita memang sudah berakhir, tapi aku nggak mau hubungan kita sebagai teman juga ikut putus,” ujar Gladys dengan suara dan muka yang sedih.

Kalau saja Gladys adalah orang lain, dan mereka tidak pernah terlibat perasaan serius, mungkin Bian tidak akan terpengaruh. Masalahnya perempuan itu sempat mengisi hatinya dengan begitu penuh. Dan di posisi sekarang, wajar kalau dia kembali luluh.

Bian menunduk, menatap cincin nikahnya sekali lagi.

‘Aku nggak berkhianat. Aku dan Tatiana menikah hanya karena emosi sesaat, bukan atas dasar cinta. Dan aku yakin kalau sampai saat ini dia juga masih mencintai Darren," bisik hati Bian.

“Bi, please! Sekali ini saja …”

Suara Gladys yang penuh permohonan meruntuhkan pertahanan Bian. Lelaki itu mengangguk perlahan yang disambut oleh Gladys dengan senyum mesra. Sebut saja Bian lemah, tapi cinta yang menjadikannya demikian.

Gladys memamerkan senyum kemenangan saat dia melewati Kania yang melongo heran melihatnya bergelayut manja di lengan Bian.

“Pak Bian!” seru Kania. Ingin mengingatkan pada Bian kalau perempuan yang berjalan di sebelahnya adalah satu-satunya orang yang dibenci dan tidak ingin ditemuinya.

“Saya mau keluar makan siang,” ujar Bian pada Kania sepintas lalu.

Dua puluh menit kemudian mereka sudah berada di sebuah restoran.

“Caesar salad seperti biasanya kan, Bi?” ujar Gladys sebelum memesan menu makan siang hari itu.

Bian mengangguk dan menyerahkan pilihannya pada Gladys. Dari dulu perempuan itu selalu mewanti-wantinya untuk menjaga kesehatan, terutama asupan makanan yang akan dikonsumsi.

Hanya menunggu tak lebih dari sepuluh menit, hidangan dari selada dan roti panggang yang dipotong kecil lalu ditambahkan keju parmesan, juice lemon, minyak zaitun, telur, saus worcestershire, bawang putih, serta lada hitam itu tersaji di depan mereka.

Gladys tersenyum puas melihat Bian yang menikmati dengan lahap makanannya. Dari dulu selera mereka selalu sama dan nyaris tak berbeda. Apa yang disukainya, Bian juga suka. Dan sebaliknya, dia juga akan menyukai pilihan Bian untuknya.

“Kenapa, Bi?” tanya Gladys kala melihat Bian mengerjap berkali-kali di sela-sela makan siang mereka.

“Aku agak pusing,” jawab Bian jujur. Matanya juga tidak seterang biasa.

“Mungkin kamu terlalu sibuk dan kurang istirahat. Habis ini kita ke apartemenku saja ya.”

Bian mengangguk pelan. Mungkin Gladys benar. Dia kurang istirahat. Barangkali setelah tidur sebentar dia akan kembali segar.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
widia wati
jgn sampai kmbali gladis
goodnovel comment avatar
PNsalsyabila
Laki2 labil brengsek juga ternyata
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status