Darren sepertinya belum puas sebelum membuat Tatiana mendengar penjelasannya dan percaya padanya. Hari pertama dan kedua mungkin Tatiana bisa menghindar darinya. Tapi tepat di hari ketiga Darren tidak melepaskan Tatiana. Darren mengikuti Tatiana sampai ke toilet. Dengan berani dia ikut masuk. Tak peduli Tatiana yang akan marah padanya. Apapun risikonya, itu akan Darren pikirkan nanti. Yang jelas Tatiana harus mendengar dulu penjelasannya.Tatiana hampir saja menjerit saat keluar dari bilik toilet dan melihat Darren juga ada di tempat yang sama dengannya.“Kamu mau ngapain di sini? Sengaja ya mau buntutin aku? Awas! Aku mau lewat!” sergah Tatiana pada Darren yang menghalangi pintu.“Aku nggak akan biarin kamu keluar sebelum kamu dengar penjelasanku.” “Nggak ada yang perlu kamu jelasin lagi, Ren. Semua udah sangat jelas. Dan penjelasan kamu itu sama sekali nggak akan ngerubah apa pun.”“Tia, tolong dengarkan aku dulu, aku tau aku salah. Tapi semua nggak seperti yang kamu pikirin. Aku
Tatiana berjalan mendekat dan mencoba bersikap biasa. Mesti tatapan Bian terasa menekannya tapi tak perlu ada yang harus dia takutkan. Memangnya apa yang salah sehingga Tatiana harus takut? Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Itu setahunya. Tapi tidak menurut Bian. Lelaki itu melayangkan tatapan dingin sejak Tatiana berjalan dari pagar hingga saat mencapai pintu masuk rumahnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala yang entah apa maksudnya, Bian melirik arloji.Tatiana pura-pura tidak peduli. Sampai di kamar, dia langsung masuk ke kamar mandi, mengganti baju dan mengeringkan rambut. Jaket Darren yang dipakainya tadi tak berhasil melindungi dari hujan sepenuhnya.Membuka pintu kamar mandi setelah selesai mengganti pakaian, Tatiana dikagetkan oleh Bian yang langsung menghadang di depannya.“Kemana saja kamu baru pulang jam segini?”“Aku dari kantor, lembur.”“Bohong!” tuding Bian tidak percaya. Tega-teganya Tatiana berdusta padanya. Sudah jelas-jelas tadi dia melihat Tatiana dengan Dar
Entah berapa kali Bian menyebut nama Gladys dalam tidurnya, Tatiana tidak tahu. Tatiana menulikan telinga dengan memasang headset dan mendengarkan musik. Bodoh, pikirnya. Meskipun dia perempuan, kali ini dia tidak ingin mendengar lagu-lagu melankolis. Tatiana memutar lagu-lagu hip hop untuk menghibur telinganya, atau lebih tepatnya, hatinya.Saat terbangun di pagi hari, Bian masih tertidur. Tatiana meliriknya sekilas, lalu keluar dari kamar. Dia melihat Lina sedang menyiapkan sarapan untuk mereka di ruang belakang.“Sudah bangun, Bu Tia?” sapa Lina begitu menyadari kehadiran istri majikannya, atau yang kini juga berstatus sebagai majikannya.“Sudah, Bi Lina,” jawab Tatiana. “Bi, ada yang mau saya tanyakan.”“Tanya apa, Bu? Tanya aja.”“Pak Bian biasanya kalau setelah mabuk dikasih apa, Bi?”“Pak Bian mabuk ya, Bu?” Lina balik bertanya.“Iya, semalam,” jawab Tatiana. Sepertinya dia harus beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Termasuk membiasakan diri dengan kebiasaan Bian yang m
Tatiana kembali menunjukkan senyum tegar. Sudah jelas baginya kini kalau Bian berlabuh di hati yang mana. Dan perempuan itu tentu saja bukan Tatiana.“Sabar ya, Bu. Saya yakin ini nggak akan lama.” Mario menghibur dari depan. Meski Mario tahu dua orang yang tidak saling mencintai sekalipun pasti akan terluka jika salah satu dari mereka ada yang berkhianat.“Iya, Yo, nggak masalah kok.” Tatiana kembali tersenyum. Tapi kali ini Mario tidak bisa membaca ekspresi Tatiana. Entah benar-benar merasa biasa saja atau menyembunyikan luka jauh di dalam hatinya.“Kenapa Ibu nggak cerai saja dari Pak Bian?” celetuk Mario beberapa saat kemudian. Berdasarkan cerita Bian yang mengatakan bahwa mereka tidak saling cinta jadi Mario pikir bercerai bukanlah keputusan yang memerlukan pemikiran panjang.Tatiana sesaat tercenung. Kedengarannya mudah. Mereka tinggal bercerai lalu mengikuti persidangan di pengadilan yang Tatiana yakin Bian tidak akan datang, atau minimal diwakilkan oleh pengacaranya, tapi pa
Tatiana saat ini duduk di mobil di sebelah Bian dengan muka cemberut. Bagaimana tidak cemberut. Tadi Mario menemui Tanuwijaya dengan tujuan meminta izin agar Tatiana diperbolehkan pulang lebih awal. Tentu saja Mario menjual nama Bian. Tatiana malu. Entah apa penilaian sang manajer padanya.“Mulai besok kamu nggak usah kerja di sana lagi,” kata Bian setelah mereka baru saja melintasi jalan raya.Sontak Tatiana menoleh mendengar ucapan frontal itu. “Kenapa?”“Kamu bikin aku malu.”“Malu? Kenapa malu?”Bian tersenyum miring. “Kamu itu bodoh atau gimana sih? Kamu mikir nggak siapa aku? Apa pantas istri seorang pengusaha ternama kerja sebagai karyawan biasa?”“Menurutku pantas saja. Pekerjaanku itu halal, jadi kenapa harus malu?” balas Tatiana. Dia mempunyai pemikiran yang berbeda dengan Bian. Tatiana tidak mungkin berhenti bekerja. Kalau dia resign, otomatis dia tidak akan memiliki penghasilan lagi. Lantas bagaimana hidupnya? Setidaknya dia harus memiliki pegangan untuk diberikan setiap
“Mbak, make up-nya jangan terlalu tebal ya!” pinta Tatiana saat Meri mulai mendandaninya. Tatiana biasanya hanya menggunakan riasan minimalis di kesehariannya. “Nggak kok, Mbak,” jawab Meri sambil terus membedaki Tatiana. Meri memang menyapukan blush on tipis-tipis di muka Tatiana. Perempuan itu menonjolkan bagian bibir dengan memberi sentuhan bold melalui polesan lipstick warna merah terang di bibir Tatiana, hampir senada dengan gaunnya.“Ini bukan aku banget,” gumam Tatiana menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin.“Gimana, Mbak Tatiana suka?” tanya Meri meminta pendapat atas hasil kreasinya.Tatiana mengangguk. Selama ini dia selalu menggunakan warna-warna soft untuk riasannya. Dia belum terlalu percaya diri untuk tampil menonjol dengan riasan yang lebih berani. “Makasih ya, Mbak,” ujar Tatiana setelahnya.“Sama-sama, Mbak.” Meri tersenyum puas. Ikut bahagia melihat Tatiana yang merasa senang.Untuk kedua kalinya senja itu Bian terkaget-kaget melihat penampilan Tatiana ya
Tatiana berdeham menarik perhatian Gladys yang menganggapnya tidak ada sehingga perempuan itu menoleh padanya.“Kamu kenapa ada di sini juga?” tanya Gladys tidak senang. Dari tadi dia tahu ada Tatiana di sana, namun tak dipedulikannya. Menganggap hanya ada dirinya dan Bian di sana jauh lebih membahagiakan. Malam ini Tatiana tampak berbeda dengan gaun mewahnya. Bibirnya yang merah kelihatan begitu menggoda. Dan Gladys mau tidak mau harus mengakui bahwaTatiana tampak berbeda malam ini.“Suamiku yang mengajak ke sini, makanya aku ada di sini,” jawab Tatiana santai.Gladys mendengkus. “Suami,” desisnya mencemooh. Tatapannya lalu pindah pada Bian. “Bi, kamu udah bilang belum akan menceraikan dia?”Mata Tatiana melebar mendengar ucapan Gladys. Jadi Bian sudah punya niat untuk menceraikannya? Kapan? Kalau memang itu terjadi, berarti sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi janda rasa gadis.“Bi, kamu jadi kan menceraikan dia?” ulang Gladys meminta kepastian karena Bian hanya diam.Bian
Rei juga terlihat senang. Lelaki itu membungkuk dan merentangkan tangan menyambut anak perempuan berambut panjang itu. Mereka saling berpelukan.“Kenapa belum tidur, sayang?” Rei bertanya lembut.“Soalnya Papa belum pulang, aku mana bisa tidur kalau nggak ada Papa.”Rei tertawa, sedangkan anak perempuan yang masih berada dalam pelukannya memandang Tatiana dengan penuh tanda tanya.“Papa kan kerja, sayang, kalau Papa sudah selesai pasti Papa pulang. Lain kali kamu nggak usah tunggu Papa ya!” kata Rei memberi pengertian.“Pa, itu siapa?” Anak perempuan itu menanyakan Tatiana.Rei melepaskan pelukan dan memutar tubuh menghadap Tatiana. Dengan senyum di bibir Rei pun menjawab. “Itu namanya aunty Tia, sayang.”Tatiana berdiri terpaku. Mencoba mencerna situasi. Papa? Apa maksud anak kecil itu memanggil papa pada Rei? Rei lalu berdiri tegak dan mendekati Tatiana. “Tia, ini Nabila, anakku.”“Anak?” ulang Tatiana dengan lidah kelu.“Iya, anak,” tegas Rei mengiyakan.“Maksudnya, kamu sudah men
Flo dan Kyle sama-sama terkejut saat melihat kedatangan Rei yang tiba-tiba dan tidak pernah disangka seperti ini. Naasnya lagi apa yang tengah terjadi sekarang bisa saja membuat Rei atau siapa pun menjadi salah paham. Itu bisa dipastikan. Terlebih saat melihat muka Rei yang menegang dan matanya yang memerah menahan emosi.“Rei…,” panggil Flo lirih setelah napasnya kembali normal.Rei menggelengkan kepalanya tidak percaya pada apa yang baru saja disaksikannya. Flo yang katanya cinta dan sangat menyayanginya bisa berbuat sehina ini? For god's sake, Rei tidak akan memaafkannya.“Lanjutkan saja.” Rei memutar tubuh meninggalkan Flo dan Kyle yang tidak siap menanggapi kejadian barusan.“Rei tunggu dulu, aku bisa jelaskan!” Flo berteriak dan berusaha untuk bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Sehingga dia tetap berada di tempatnya.“Rei, aku bisa menjelaskannya padamu, semua tidak seperti yang kamu lihat!” Kyle segera mengejar Rei yang melangkah cepat meninggalkan ruangan Flo.“Aku tidak bu
Seharian ini Rei dan Flo menghabiskan waktu di kamar. Mereka bercerita tentang apa saja dan berusaha mengenal satu sama lain. Ternyata selama ini mereka memang tidak saling mengenal sepenuhnya. Mereka mengambil keputusan kilat tuntuk menikah hanya atas dasar emosi sesaat. Keputusan bodoh, gila namun penuh hikmah.‘’Aku minta maaf atas sikapku yang dulu,” ujar Flo penuh rasa bersalah kala mengingat tingkahnya yang mengabaikan Rei sebagai suaminya.“Aku juga, Flo, aku minta maaf atas semua kesalahanku,” ucap Rei sambil membelai mesra rambut Flo. “aku sudah menciptakan jarak yang membuat kamu berpikir yang macam-macam.”Rei menyadari sekarang kalau kehadiran Clara sedikit banyak pasti menimbulkan dugaan negatif di antara mereka. Flo tidak berkata apa-apa dan memilih menyembunyikan mukanya di dada Rei. Flo bisa mendengar dengan jelas detak jantung Rei yang berpacu dengan degup jantungnya sendiri. Andai saja bisa Flo ingin begini selamanya. Berada dalam hubungan yang harmonis bersama Rei,
“Papa… Mommy… Bangun….!” Lala mengetuk pintu kamar Rei karena tidak ada tanda-tanda papanya itu akan keluar kamar. “Papa… Mommy… Bangun, ini sudah pagi!” Lala menaikkan suaranya disertai dengan ketukan keras di pintu kamar Rei.Di dalam kamar, Rei dan Flo sama-sama menggeliatkan badan. Suara Lala membuat keduanya merasa terusik.“Astaga, sudah pagi!” Rei terkejut saat melihat sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca jendela. Bagaimana bisa dia terlambat seperti ini? Seingat Rei, ini adalah pertama kalinya dia terlambat bangun pagi dalam enam bulan terakhir.“Papa… sudah pagi, Pa!!! Papa tidak kerja?” Suara Lala terdengar lagi memanggil Rei.“Iya, La! Papa sudah bangun!” Rei menyahut dari dalam kamar. Rei menepis selimutnya sambil menutup mulut yang terus menguap. Dan sama seperti sebelumnya tidak ada kain lain yang melapisinya selain selimut itu sendiri. Rei ingat, dirinya dan Flo tertidur setelah serangan fajar yang entah siapa yang memulai duluan.“Rei, apa kita terlambat?”
Jam tiga dini hari.Rei menggeliat ketika merasa ada yang menegang di bagian bawah tubuhnya. Saat membuka mata dia mendapati Flo berada dalam pelukannya. Wajahnya begitu tenang dalam tidurnya yang lelap. Dalam diam Rei mengagumi kecantikannya. Di mata Rei dia semakin terlihat seperti Tatiana dengan muka polos tanpa riasan seperti ini.‘Dia bukan Tia, dia Flo.’ Rei mengingatkan dirinya sendiri. Dia tidak boleh lagi dihantui bayang-bayang Tatiana. Karena tidak akan adil untuk Flo.Diusapnya rambut Flo dan dibelainya kepala perempuan itu penuh cinta. Adegan demi adegan percintaan mereka masih terbayang jelas di mata Rei. Bagaimana seorang Flo berhasil membangkitkan gairahnya yang sudah lama mati suri dan membahagiakannya sepenuh hati. Yang paling membuat Rei bersyukur Flo masih suci saat dimasukinya. Ternyata perempuan itu bisa menjaga dirinya dengan baik.Rei kembali tersentak ketika ada yang menyentaknya. Bukan istrinya, tapi berasal dari dirinya sendiri. Bagian bawahnya memberontak me
Rei berjalan mendekati pintu lantas menguncinya rapat-rapat. Sementara Flo duduk menunggu di tepi ranjang. Saat memutar tubuh Rei mendapati istrinya itu sedang menggigit bibirnya sendiri lalu membasahinya dengan lidah yang membuat tubuhnya gemetar. Rei tidak mengerti apa yang dimiliki Flo. Hanya dengan melihat gesturnya saja tapi berhasil membangunkan adik kecilnya.Rei mengambil langkah mendekati Flo lalu menempelkan telunjuk di bibirnya.“Kalau ada aku kenapa harus menggigit bibir sendiri? Aku bisa membantumu melakukannya.”Rei mengambil tempat di sebelah Flo lalu mengangkat tubuh istrinya itu dan mendudukkan di pangkuannya.Flo yang kini sudah duduk di atas paha Rei merasakan detak jantungnya yang memacu dengan kencang. Adik kecil Rei yang mengeras terasa menusuk-nusuk bagian bawah tubuh Flo.Dag… dig… dug… Flo mencengkram ujung bajunya. Dia sedikit khawatir degup jantungnya yang berdetak cepat akan terdengar sampai ke luar.Rei menopangkan dagu di pundak Flo setelah tangannya mel
Flo baru saja pulang kerja dan masuk ke dalam rumah saat Lala menyongsongnya dan menyambut dengan riang. “Mommy, aku punya ini.”“Apa itu, La?” tanya Flo memerhatikan kotak yang berada dalam genggaman Lala. “Ini puding, Mom, aunty Clara yang kasih. Aku sudah coba satu slice, rasanya enak. Mommy juga harus mencobanya.”Rasanya kepala Flo langsung pusing. Dia baru saja pulang dan berharap bisa beristirahat dengan tenang tapi malah merasa semakin penat saat mendengar pujian Lala terhadap Clara.“Maaf, La, Mommy tidak suka puding, lagi pula Mommy baru saja selesai makan dan masih kenyang,” tolak Flo halus.“Tapi puding yang ini sangat enak, Mom. Mommy harus mencobanya.” Lala terus berusaha membujuk Flo agar mengikuti kemauannya.“Letakkan saja di kulkas dulu, nanti kalau Mommy lapar, Mommy akan memakannya,” tandas Flo dan segera masuk ke kamar.Rei baru saja selesai mandi dan keluar dari ruang basah itu dengan handuk putih yang menggantung rendah di pinggulnya.Tanpa sengaja mata Flo te
Setelah hujan reda Flo dan Kyle meninggalkan tempat berteduh mereka tadi. Keduanya langsung ke sekolah Lala. Tapi ternyata Lala sudah pergi.“Lala sudah dijemput papanya, Aunty,” beritahu Charlie—keponakan Kyle.Flo mendesah kecewa. Pasti Rei sengaja ingin membalasnya. Tapi tidak apa-apa. Lala kan anaknya, jadi dia lebih berhak atas gadis kecil itu.“Flo, aku duluan,” tegur Kyle pada Flo yang melamun.“Kyle, apa kamu mau bekerja di tempatku?” tanya Flo sebelum Kyle benar-benar pergi dari hadapannya.“Maksudmu?”“Tadi kamu bilang belum mendapat pekerjaan. Aku bisa membantumu. Memang gajinya tidak terlalu besar, tapi aku rasa jauh lebih baik daripada menjadi pengangguran.”“Jadi maksudmu aku menjadi wedding planner sepertimu?”“Iya, gimana?”Kyle diam dan tampak berpikir. Walaupun pekerjaan yang ditawarkan Flo bukanlah passion-nya, tapi mungkin akan lebih baik jika dia menerima dari pada menganggur seperti ini.“Oke, Flo, boleh. Jadi dokumen apa yang saja yang harus aku siapkan?"“Tidak
“Tunggu apa lagi, Kyle?” tegur Flo karena Kyle termangu saat keduanya tepat berada di depan sepeda motor milik lelaki itu.Kyle tampak ragu mengajak Flo pergi dan tetap berdiri di tempatnya. “Flo, bukankah dia Rei suamimu? Kenapa kalian seperti tidak saling kenal?” tanya Kyle heran karena melihat sepasang suami istri itu tidak saling berteguran.“Di rumah dia memang suamiku tapi kalau di luar dia adalah artis.”“Hah? Bisa jelaskan padaku apa maksudnya?” Kyle semakin heran mendengar kata-kata Flo.“Nanti aku jelaskan, tapi sekarang bawa aku pergi dari sini,” desis Flo dengan geraham gemeretuk menahan jengkel.Tanpa banyak kata Kyle segera menyalakan mesin motornya. Flo langsung meloncat ke boncengannya dan memeluknya erat-erat. Kyle terkesiap saat merasakan tangan Flo yang melekat erat di tubuhnya. Kenapa Flo memeluknya?Kyle memacu motor sport 250 cc miliknya di jalan raya begitu melihat mendung hitam menggantung di langit. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun membasahi bumi. Baru s
Belakangan ini Flo mengambil alih banyak tugas Rei. Seperti mengantar dan menjemput Lala ke sekolah, menemani belajar, hingga menyediakan apa pun kebutuhannya selengkap dan sedetail mungkin. Seperti saat ini. Di sela-sela kesibukannya Flo menyempatkan diri menjemput Lala ke sekolah karena tahu sendiri, Rei tidak akan bisa.Saat Flo tiba di sekolah Lala, anak itu masih berada di kelas. Gurunya mengatakan kalau Lala baru akan pulang tiga puluh menit lagi. Flo memutuskan menunggu di bangku di bawah pohon sambil menikmati semilir angin yang berembus.‘Sial, kenapa aku jadi memikirkan Rei terus?’ Flo mengumpat di dalam hati. Sejak mengetahui berita mengenai Rei dan Clara tadi pagi suasana hatinya memburuk sempurna. Ingin rasanya Flo berteriak keras-keras melampiaskan kekesalannya. Tapi yang bisa dilakukannya hanya berharap agar semua ini segera berlalu. Andai saja bisa, Flo ingin amnesia saja agar tidak mengetahui apa pun mengenai kedekatan Rei dan si kucing kecil itu.”Flo, kamu di sini