Entah berapa kali Bian menyebut nama Gladys dalam tidurnya, Tatiana tidak tahu. Tatiana menulikan telinga dengan memasang headset dan mendengarkan musik. Bodoh, pikirnya. Meskipun dia perempuan, kali ini dia tidak ingin mendengar lagu-lagu melankolis. Tatiana memutar lagu-lagu hip hop untuk menghibur telinganya, atau lebih tepatnya, hatinya.Saat terbangun di pagi hari, Bian masih tertidur. Tatiana meliriknya sekilas, lalu keluar dari kamar. Dia melihat Lina sedang menyiapkan sarapan untuk mereka di ruang belakang.“Sudah bangun, Bu Tia?” sapa Lina begitu menyadari kehadiran istri majikannya, atau yang kini juga berstatus sebagai majikannya.“Sudah, Bi Lina,” jawab Tatiana. “Bi, ada yang mau saya tanyakan.”“Tanya apa, Bu? Tanya aja.”“Pak Bian biasanya kalau setelah mabuk dikasih apa, Bi?”“Pak Bian mabuk ya, Bu?” Lina balik bertanya.“Iya, semalam,” jawab Tatiana. Sepertinya dia harus beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Termasuk membiasakan diri dengan kebiasaan Bian yang m
Tatiana kembali menunjukkan senyum tegar. Sudah jelas baginya kini kalau Bian berlabuh di hati yang mana. Dan perempuan itu tentu saja bukan Tatiana.“Sabar ya, Bu. Saya yakin ini nggak akan lama.” Mario menghibur dari depan. Meski Mario tahu dua orang yang tidak saling mencintai sekalipun pasti akan terluka jika salah satu dari mereka ada yang berkhianat.“Iya, Yo, nggak masalah kok.” Tatiana kembali tersenyum. Tapi kali ini Mario tidak bisa membaca ekspresi Tatiana. Entah benar-benar merasa biasa saja atau menyembunyikan luka jauh di dalam hatinya.“Kenapa Ibu nggak cerai saja dari Pak Bian?” celetuk Mario beberapa saat kemudian. Berdasarkan cerita Bian yang mengatakan bahwa mereka tidak saling cinta jadi Mario pikir bercerai bukanlah keputusan yang memerlukan pemikiran panjang.Tatiana sesaat tercenung. Kedengarannya mudah. Mereka tinggal bercerai lalu mengikuti persidangan di pengadilan yang Tatiana yakin Bian tidak akan datang, atau minimal diwakilkan oleh pengacaranya, tapi pa
Tatiana saat ini duduk di mobil di sebelah Bian dengan muka cemberut. Bagaimana tidak cemberut. Tadi Mario menemui Tanuwijaya dengan tujuan meminta izin agar Tatiana diperbolehkan pulang lebih awal. Tentu saja Mario menjual nama Bian. Tatiana malu. Entah apa penilaian sang manajer padanya.“Mulai besok kamu nggak usah kerja di sana lagi,” kata Bian setelah mereka baru saja melintasi jalan raya.Sontak Tatiana menoleh mendengar ucapan frontal itu. “Kenapa?”“Kamu bikin aku malu.”“Malu? Kenapa malu?”Bian tersenyum miring. “Kamu itu bodoh atau gimana sih? Kamu mikir nggak siapa aku? Apa pantas istri seorang pengusaha ternama kerja sebagai karyawan biasa?”“Menurutku pantas saja. Pekerjaanku itu halal, jadi kenapa harus malu?” balas Tatiana. Dia mempunyai pemikiran yang berbeda dengan Bian. Tatiana tidak mungkin berhenti bekerja. Kalau dia resign, otomatis dia tidak akan memiliki penghasilan lagi. Lantas bagaimana hidupnya? Setidaknya dia harus memiliki pegangan untuk diberikan setiap
“Mbak, make up-nya jangan terlalu tebal ya!” pinta Tatiana saat Meri mulai mendandaninya. Tatiana biasanya hanya menggunakan riasan minimalis di kesehariannya. “Nggak kok, Mbak,” jawab Meri sambil terus membedaki Tatiana. Meri memang menyapukan blush on tipis-tipis di muka Tatiana. Perempuan itu menonjolkan bagian bibir dengan memberi sentuhan bold melalui polesan lipstick warna merah terang di bibir Tatiana, hampir senada dengan gaunnya.“Ini bukan aku banget,” gumam Tatiana menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin.“Gimana, Mbak Tatiana suka?” tanya Meri meminta pendapat atas hasil kreasinya.Tatiana mengangguk. Selama ini dia selalu menggunakan warna-warna soft untuk riasannya. Dia belum terlalu percaya diri untuk tampil menonjol dengan riasan yang lebih berani. “Makasih ya, Mbak,” ujar Tatiana setelahnya.“Sama-sama, Mbak.” Meri tersenyum puas. Ikut bahagia melihat Tatiana yang merasa senang.Untuk kedua kalinya senja itu Bian terkaget-kaget melihat penampilan Tatiana ya
Tatiana berdeham menarik perhatian Gladys yang menganggapnya tidak ada sehingga perempuan itu menoleh padanya.“Kamu kenapa ada di sini juga?” tanya Gladys tidak senang. Dari tadi dia tahu ada Tatiana di sana, namun tak dipedulikannya. Menganggap hanya ada dirinya dan Bian di sana jauh lebih membahagiakan. Malam ini Tatiana tampak berbeda dengan gaun mewahnya. Bibirnya yang merah kelihatan begitu menggoda. Dan Gladys mau tidak mau harus mengakui bahwaTatiana tampak berbeda malam ini.“Suamiku yang mengajak ke sini, makanya aku ada di sini,” jawab Tatiana santai.Gladys mendengkus. “Suami,” desisnya mencemooh. Tatapannya lalu pindah pada Bian. “Bi, kamu udah bilang belum akan menceraikan dia?”Mata Tatiana melebar mendengar ucapan Gladys. Jadi Bian sudah punya niat untuk menceraikannya? Kapan? Kalau memang itu terjadi, berarti sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi janda rasa gadis.“Bi, kamu jadi kan menceraikan dia?” ulang Gladys meminta kepastian karena Bian hanya diam.Bian
Rei juga terlihat senang. Lelaki itu membungkuk dan merentangkan tangan menyambut anak perempuan berambut panjang itu. Mereka saling berpelukan.“Kenapa belum tidur, sayang?” Rei bertanya lembut.“Soalnya Papa belum pulang, aku mana bisa tidur kalau nggak ada Papa.”Rei tertawa, sedangkan anak perempuan yang masih berada dalam pelukannya memandang Tatiana dengan penuh tanda tanya.“Papa kan kerja, sayang, kalau Papa sudah selesai pasti Papa pulang. Lain kali kamu nggak usah tunggu Papa ya!” kata Rei memberi pengertian.“Pa, itu siapa?” Anak perempuan itu menanyakan Tatiana.Rei melepaskan pelukan dan memutar tubuh menghadap Tatiana. Dengan senyum di bibir Rei pun menjawab. “Itu namanya aunty Tia, sayang.”Tatiana berdiri terpaku. Mencoba mencerna situasi. Papa? Apa maksud anak kecil itu memanggil papa pada Rei? Rei lalu berdiri tegak dan mendekati Tatiana. “Tia, ini Nabila, anakku.”“Anak?” ulang Tatiana dengan lidah kelu.“Iya, anak,” tegas Rei mengiyakan.“Maksudnya, kamu sudah men
Bian bergegas menuju ballroom hotel La Viola. Acara memang belum selesai, tapi orang-orang yang hadir di sana sudah tidak seramai tadi. Bian mencari sosok Tatiana dengan matanya ke setiap penjuru ruangan. Tapi dia tidak menemukan istrinya itu. Apa mungkin Tatiana sudah pulang?Bian lalu mengeluarkan ponsel dan menelepon Tatiana. Tersambung, tapi tidak dijawab. Bian mencoba sekali lagi. Tapi hasilnya masih sama. Lelaki itu belum menyerah hingga berkali-kali dia meredial. Bian mulai kesal. Ke mana Tatiana memangnya? Apa sebegitu susahnya untuk menerima telepon? Hanya tinggal mengusap ikon answer apa sebegitu berat?Bian akhirnya memutuskan untuk meninggalkan hotel dan pulang ke rumah. Mungkin Tatiana sudah berada di rumah. Masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, Bian tidak langsung pergi. Dia masih penasaran akan keberadaan Tatiana. Sekali lagi Bian mencoba peruntungan dengan menelepon istrinya itu. Dan kali ini dewi fortuna berpihak padanya.“Kamu di mana?” tanya Bian tanpa sala
Saat Tatiana terbangun pagi ini dia menemukan Bian tidur di sebelahnya. Tidak seperti biasa karena kali ini jarak mereka begitu rapat. Tanpa guling pemisah seperti hari-hari sebelumnya. Ajaibnya lagi mereka berada dalam selimut yang sama. Padahal biasanya mereka menggunakan selimut masing-masing.Tatiana tidak ingat jam berapa dia tidur tadi malam. Tapi yang dia tahu Bian masih terbangun saat itu. Entah apa yang dia lakukan setelahnya. Mungkin menambah minumannya dan menghabiskan berbotol-botol sampai hangover, lalu tidur sambil menceracau melafalkan nama wanita pujaannya.Tatiana bangkit dari posisinya berbaring, dan duduk sesaat untuk mengumpulkan nyawa. Tidak ada istilah menggeliatt malas dalam kamus hidupnya. Dari kecil dia sudah terbiasa dengan hidupnya yang sederhana cenderung keras.Begitu nyawanya terkumpul seutuhnya, Tatiana berniat turun dari tempat tidur, tapi tangannya dicekal.“Tia, siapkan pakaianku!”Tatiana melirik ke sebelahnya. Bian sudah bangun dan kini memandang p