“Yo, ada nggak teman kamu yang nganggur?” Bian membuka obrolan setelah mereka membelah jalan raya.“Banyak sih, Pak. Kalau boleh tau untuk apa, Pak?” Mario balik bertanya.“Untuk antar jemput Bu Tia.”Sontak Tatiana memandang pada Bian yang duduk di sebelahnya. “Antar jemput ke mana, Bi?”“Pokoknya ke mana aja. Mulai besok kamu kemana-mana nggak boleh sendiri.”“Lho, kenapa gitu?”“Nggak usah banyak tanya, Tia. Pokoknya kamu ikuti aja apa yang aku perintahkan,” tandas Bian menunjukkan keegoisannya. Lelaki itu kemudian beralih pada sang supir yang pura-pura serius memerhatikan jalan, padahal telinganya mendengar dengan jelas percakapan kedua majikannya. “Nanti kamu bawa dia ke rumah. Syaratnya harus punya SIM, nggak neko-neko, benar-benar pengen kerja, terus satu lagi kalau bisa yang sudah berumur, kalau perlu yang agak tua dan sudah berkeluarga.”Mario mendengarkan dengan baik kata-kata Bian. Dia lalu memikirkan dan mengingat-ingat apa ada temannya yang memenuhi syarat seperti yang d
Dugaan Tatiana ternyata salah. Rei bukan menempatkannya sebagai karyawan back office. Tapi sebagai asisten pribadi atau sekretarisnya. Semua ini jauh di atas ekspektasi Tatiana. “Rei, aku sama sekali nggak ada background sekretaris lho …” Tatiana memberitahu. Secercah rasa kurang percaya diri timbul di hatinya.“Nggak apa-apa, aku yakin kamu pasti bisa. Tapi ini beneran jadi asistenku lho. Maksudnya, nanti kamu juga harus ngelakuin hal-hal yang sifatnya pribadi. Misalnya menjemput Lala ke sekolah. Nggak keberatan kan?” tanya Rei untuk lebih meyakinkan. Siapa tahu Tatiana merasa tugas-tugas yang Rei berikan berada di luar konteks sebagai seorang sekretaris.“Tentu saja nggak, aku suka anak-anak kok,” sahut Tatiana cepat. Bekerja di ER Petroleum, nama perusahaan Rei, sudah merupakan keberuntungan yang luar biasa bagi Tatiana. Jadi apa masalahnya kalau hanya disuruh menjemput seorang anak kecil ke sekolah lalu mengantar ke rumahnya, kemudian kembali lagi ke kantor. Sepertinya tidak sul
“Papa!” Nabila berseru riang saat melihat Rei dari jauh. Anak perempuan kecil itu baru saja keluar dari kelasnya.“Papa nggak telat kan?” tanya Rei menyambut Nabila yang berlari menyongsongnya.“Nggak kok, Pa, aku baru aja keluar.” Mata bulat Nabila pindah pada Tatiana yang berdiri di sebelah Rei. Selama sepersekian detik anak itu memandang Tatiana dengan penuh arti.Tatiana tersenyum hangat. “Lala, masih ingat nggak sama Aunty Tia?”Nabila mengangguk cepat, tentu saja dia masih ingat. Baru tadi malam mereka bertemu. Jadi mana mungkin dia bisa lupa.Tatiana bermaksud duduk di jok belakang sendiri, tapi Rei melarang dan menyuruh duduk di depan dengan Lala. “Nggak sempit kan?” tanyanya kalau saja membatasi gerak-gerik Nabila.“Nggak, Aunty.”Tanpa sadar Tatiana mengusap kepala Nabila dan rambut panjangnya yang dikuncir dua. Dia membayangkan kalau nanti mempunyai anak perempuan yang manis, imut, dan pintar seperti Nabila. Tapi kemudian Tatiana menepis pikiran itu jauh-jauh. Bagaimana m
Rei menatap tajam pada Bian dan Gladys yang kini duduk tidak jauh dari mereka. Karena ramainya pengunjung di dalam resto, mungkin Bian jadi tidak menyadari kalau Tatiana juga berada di tempat yang sama dengannya.Rei sudah tidak tahan lagi untuk tetap diam. Bian harus tahu kalau istrinya juga ada di sini dan melihat perselingkuhannya.“Rei, mau ke mana?” Tatiana bertanya saat Rei tiba-tiba berdiri.“Aku harus bicara sama Bian, Tia.”“Jangan, Rei, nggak usah!” cegah Tatiana seraya menahan tangan Rei.“Kenapa?” tanya Rei tidak mengerti. Bagaimana mungkin Tatiana bisa bersikap setenang itu, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal sang suami terpampang nyata di depan matanya sedang bersama wanita lain.“Nggak usah, Rei, nggak enak dilihat orang.” Tatiana khawatir kalau Rei mendatangi Bian, takutnya dia akan emosi dan memancing perhatian orang-orang di resto itu.Rei kembali duduk. Kalau bukan karena Tatiana yang melarangnya, dia tidak akan tinggal diam. “Om Bian!” seruan Nabila yang tiba
Sudah sejak tadi Bian duduk di beranda sendiri. Berbatang-batang rokok pun sudah bertransformasi menjadi puntung dan teronggok di menggunung di dalam asbak bulat yang berada di atas meja. Hatinya yang galau serta perasaannya yang kacau terlukis di wajahnya yang terlihat gusar.Bagaimana tidak gusar. Sudah jam sembilan malam, tapi Tatiana belum juga pulang. Bian sudah meneleponnya berkali-kali. Memang tersambung, tapi tidak dijawab. Semua itu membuat Bian bertambah jengkel. Lebih baik bagi Bian Tatiana mematikan ponselnya saja daripada terhubung tapi tidak dijawab seperti ini.Deru mesin mobil yang semakin mendekat dan akhirnya masuk ke halaman rumah membuat Bian bangkit dari duduknya dan langsung berdiri. Lelaki itu dengan tidak sabar menunggu Mario keluar dari mobil. Tadi Bian memang menyuruh supirnya itu ke kantor Rei dan membawa Tatiana pulang. Nyatanya dia harus kecewa begitu mengetahui tidak ada siapa pun yang turun dari mobil melainkan Mario sendiri.“Gimana, Yo? Mana Tatiana?
Saat bangun pagi ini Bian tidak menemukan Tatiana di sebelahnya. Mungkin dia di kamar mandi, pikir Bian. Lelaki itu kembali memejamkan matanya dan berniat menyambung tidur. Dia butuh waktu, minimal dua puluh menit lagi agar kantuknya benar-benar hilang. Semalam entah jam berapa Bian baru bisa tidur. Pikirannya melayang kemana-mana dan tidak tentu arah. Bian tersentak dua puluh menit kemudian ketika alarm yang tadi dia snooze berbunyi nyaring. Terpaksa dibukanya lagi mata yang masih terasa berat. Begitu melihat dunia, Bian masih belum menemukan sosok Tatiana di kamarnya. Apa mungkin dia mandi selama itu?Malas-malasan Bian turun dari tempat tidur, lalu mengayun langkah kecil menuju kamar mandi. “Tia!” panggil Bian di depan pintu, tetapi tidak ada sahutan dari dalam. Apa mungkin percikan air shower mengganggu pendengaran Tatiana sehingga tidak mendengar suaranya? Ah, rasanya tidak mungkin.“Tatiana…!” panggil Bian lebih keras agar istrinya itu bisa mendengarnya. Karena masih hening,
“Kamu bisa nyetir nggak sih?” sergah Bian pada Mario yang menekan pedal rem secara mendadak sehingga tubuhnya terhuyung ke depan dengan tiba-tiba.“Maaf, Pak Bian, di depan ada motor nyalip, Pak,” ujar Mario memberitahu. Sejak dari rumah tadi dia mengemudi di atas batas kecepatan biasanya. Bian yang menyuruh, dan kini dirinya yang disalahkan.“Udah salah masih aja ngeles!” omel Bian lagi. Sejak tadi ada saja yang membuatnya kesal. Dan semua itu penyebabnya hanya satu itu. Tatiana.Mengetahui suasana hati sang atasan yang memburuk, Mario memilih diam. Dia tidak akan membuka mulut kalau Bian tidak mengajaknya bicara. Salah-salah bisa kena sembur lagi.Bian mengutak-ataik ponselnya dan mencoba menghubungi Tatiana. Ini entah sudah ke berapa kalinya dia menelepon istrinya itu, tapi hasilnya tetap sama. Tatiana tidak merespon. Entah apa maksudnya. Tidak mungkin Tatiana tidak tahu atau tidak mendengar. Dia pasti sengaja. Ya, sengaja. Bisa saja. Entah untuk alasan apa. Langkah kaki Bian ter
Tatiana dan Rei sedang berada di sekolah Lala. Harusnya cuma ada Tatiana saja, tapi Lala bersikeras agar Rei tidak pergi dulu dan menemaninya di sana. “Papa nanti aja pulangnya ya …”“Tapi Papa harus kerja, nak… Lala sama Aunty Tia dulu ya …”Lala memberengut, menunjukkan harapan yang terpatahkan. Tangannya berpegangan erat di lengan Rei.Tatiana yang melihat semua itu memberi kode agar Rei tetap bertahan. Setidaknya agak sepuluh atau dua puluh menit.Mengerti tanda dari Tatiana, Rei akhirnya pun mengiyakan. Sejenak dia melupakan pikiran tentang pekerjaan yang sudah menunggu hari ini. “Ya sudah, Papa akan di sini dulu.”“Yeaayy…!” Lala bersorak kegirangan. Anak itu berjalan di tengah-tengah di antara Rei dan Tatiana. Kedua tangannya menggamit lengan Rei dan Tatiana.“Lala, itu mama baru kamu ya?” Seorang anak dengan poni selamat datang menghadang dengan pertanyaan lugunya.Lala tersenyum manis. “Bukan, ini namanya Aunty Tia. Cantik kan? Kamu tau nggak, Aunty Tia yang bikin semua na