“Papa!” Nabila berseru riang saat melihat Rei dari jauh. Anak perempuan kecil itu baru saja keluar dari kelasnya.“Papa nggak telat kan?” tanya Rei menyambut Nabila yang berlari menyongsongnya.“Nggak kok, Pa, aku baru aja keluar.” Mata bulat Nabila pindah pada Tatiana yang berdiri di sebelah Rei. Selama sepersekian detik anak itu memandang Tatiana dengan penuh arti.Tatiana tersenyum hangat. “Lala, masih ingat nggak sama Aunty Tia?”Nabila mengangguk cepat, tentu saja dia masih ingat. Baru tadi malam mereka bertemu. Jadi mana mungkin dia bisa lupa.Tatiana bermaksud duduk di jok belakang sendiri, tapi Rei melarang dan menyuruh duduk di depan dengan Lala. “Nggak sempit kan?” tanyanya kalau saja membatasi gerak-gerik Nabila.“Nggak, Aunty.”Tanpa sadar Tatiana mengusap kepala Nabila dan rambut panjangnya yang dikuncir dua. Dia membayangkan kalau nanti mempunyai anak perempuan yang manis, imut, dan pintar seperti Nabila. Tapi kemudian Tatiana menepis pikiran itu jauh-jauh. Bagaimana m
Rei menatap tajam pada Bian dan Gladys yang kini duduk tidak jauh dari mereka. Karena ramainya pengunjung di dalam resto, mungkin Bian jadi tidak menyadari kalau Tatiana juga berada di tempat yang sama dengannya.Rei sudah tidak tahan lagi untuk tetap diam. Bian harus tahu kalau istrinya juga ada di sini dan melihat perselingkuhannya.“Rei, mau ke mana?” Tatiana bertanya saat Rei tiba-tiba berdiri.“Aku harus bicara sama Bian, Tia.”“Jangan, Rei, nggak usah!” cegah Tatiana seraya menahan tangan Rei.“Kenapa?” tanya Rei tidak mengerti. Bagaimana mungkin Tatiana bisa bersikap setenang itu, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal sang suami terpampang nyata di depan matanya sedang bersama wanita lain.“Nggak usah, Rei, nggak enak dilihat orang.” Tatiana khawatir kalau Rei mendatangi Bian, takutnya dia akan emosi dan memancing perhatian orang-orang di resto itu.Rei kembali duduk. Kalau bukan karena Tatiana yang melarangnya, dia tidak akan tinggal diam. “Om Bian!” seruan Nabila yang tiba
Sudah sejak tadi Bian duduk di beranda sendiri. Berbatang-batang rokok pun sudah bertransformasi menjadi puntung dan teronggok di menggunung di dalam asbak bulat yang berada di atas meja. Hatinya yang galau serta perasaannya yang kacau terlukis di wajahnya yang terlihat gusar.Bagaimana tidak gusar. Sudah jam sembilan malam, tapi Tatiana belum juga pulang. Bian sudah meneleponnya berkali-kali. Memang tersambung, tapi tidak dijawab. Semua itu membuat Bian bertambah jengkel. Lebih baik bagi Bian Tatiana mematikan ponselnya saja daripada terhubung tapi tidak dijawab seperti ini.Deru mesin mobil yang semakin mendekat dan akhirnya masuk ke halaman rumah membuat Bian bangkit dari duduknya dan langsung berdiri. Lelaki itu dengan tidak sabar menunggu Mario keluar dari mobil. Tadi Bian memang menyuruh supirnya itu ke kantor Rei dan membawa Tatiana pulang. Nyatanya dia harus kecewa begitu mengetahui tidak ada siapa pun yang turun dari mobil melainkan Mario sendiri.“Gimana, Yo? Mana Tatiana?
Saat bangun pagi ini Bian tidak menemukan Tatiana di sebelahnya. Mungkin dia di kamar mandi, pikir Bian. Lelaki itu kembali memejamkan matanya dan berniat menyambung tidur. Dia butuh waktu, minimal dua puluh menit lagi agar kantuknya benar-benar hilang. Semalam entah jam berapa Bian baru bisa tidur. Pikirannya melayang kemana-mana dan tidak tentu arah. Bian tersentak dua puluh menit kemudian ketika alarm yang tadi dia snooze berbunyi nyaring. Terpaksa dibukanya lagi mata yang masih terasa berat. Begitu melihat dunia, Bian masih belum menemukan sosok Tatiana di kamarnya. Apa mungkin dia mandi selama itu?Malas-malasan Bian turun dari tempat tidur, lalu mengayun langkah kecil menuju kamar mandi. “Tia!” panggil Bian di depan pintu, tetapi tidak ada sahutan dari dalam. Apa mungkin percikan air shower mengganggu pendengaran Tatiana sehingga tidak mendengar suaranya? Ah, rasanya tidak mungkin.“Tatiana…!” panggil Bian lebih keras agar istrinya itu bisa mendengarnya. Karena masih hening,
“Kamu bisa nyetir nggak sih?” sergah Bian pada Mario yang menekan pedal rem secara mendadak sehingga tubuhnya terhuyung ke depan dengan tiba-tiba.“Maaf, Pak Bian, di depan ada motor nyalip, Pak,” ujar Mario memberitahu. Sejak dari rumah tadi dia mengemudi di atas batas kecepatan biasanya. Bian yang menyuruh, dan kini dirinya yang disalahkan.“Udah salah masih aja ngeles!” omel Bian lagi. Sejak tadi ada saja yang membuatnya kesal. Dan semua itu penyebabnya hanya satu itu. Tatiana.Mengetahui suasana hati sang atasan yang memburuk, Mario memilih diam. Dia tidak akan membuka mulut kalau Bian tidak mengajaknya bicara. Salah-salah bisa kena sembur lagi.Bian mengutak-ataik ponselnya dan mencoba menghubungi Tatiana. Ini entah sudah ke berapa kalinya dia menelepon istrinya itu, tapi hasilnya tetap sama. Tatiana tidak merespon. Entah apa maksudnya. Tidak mungkin Tatiana tidak tahu atau tidak mendengar. Dia pasti sengaja. Ya, sengaja. Bisa saja. Entah untuk alasan apa. Langkah kaki Bian ter
Tatiana dan Rei sedang berada di sekolah Lala. Harusnya cuma ada Tatiana saja, tapi Lala bersikeras agar Rei tidak pergi dulu dan menemaninya di sana. “Papa nanti aja pulangnya ya …”“Tapi Papa harus kerja, nak… Lala sama Aunty Tia dulu ya …”Lala memberengut, menunjukkan harapan yang terpatahkan. Tangannya berpegangan erat di lengan Rei.Tatiana yang melihat semua itu memberi kode agar Rei tetap bertahan. Setidaknya agak sepuluh atau dua puluh menit.Mengerti tanda dari Tatiana, Rei akhirnya pun mengiyakan. Sejenak dia melupakan pikiran tentang pekerjaan yang sudah menunggu hari ini. “Ya sudah, Papa akan di sini dulu.”“Yeaayy…!” Lala bersorak kegirangan. Anak itu berjalan di tengah-tengah di antara Rei dan Tatiana. Kedua tangannya menggamit lengan Rei dan Tatiana.“Lala, itu mama baru kamu ya?” Seorang anak dengan poni selamat datang menghadang dengan pertanyaan lugunya.Lala tersenyum manis. “Bukan, ini namanya Aunty Tia. Cantik kan? Kamu tau nggak, Aunty Tia yang bikin semua na
Dengan matanya sendiri Bian menyaksikan Tatiana dan Rei duduk berdampingan. Begitu dekat dan tanpa jarak di mata Bian. Udah gitu mereka terlihat akrab satu sama lain. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Tatiana nampak bahagia saat bersama Rei. Bian bahkan tidak pernah melihat Tatiana tertawa selepas itu saat bersamanya. Jangankan tertawa, senyum pun jarang. Seolah dia begitu tertekan saat berada di rumah.Tidak tahan lagi, Bian berjalan mendekati Tatiana yang sampai saat ini masih belum menyadari kehadiran Bian di tempat yang sama dengannya.“Tatiana, pulang!” Tatiana yang sedang mengobrol dengan Rei terang saja kaget saat lengannya ditarik dengan tiba-tiba.Perempuan itu menoleh dan mendapati suaminya yang kini mencekal tangannya. “Bian …,” desisnya kaget.“Pulang sekarang, Tia!” Suara Bian memang tidak keras, tapi Tatiana menangkap ada nada memaksa di sana.“Kenapa, Bi? Aku masih ada acara,” jawab Tatiana menolak.“Aku suami kamu, Tia, kamu harus dengar semua yang aku katakan.”“
Tatiana ikut melihat ke arah pintu. Di sana, Gladys berdiri tegak memandang mereka berdua. Matanya berlarian gelisah melihat Bian dan Tatiana.Bian yang semula kaget segera mengendalikan diri.“Kenapa nggak ketuk pintu dulu sebelum masuk?” Itu satu-satunya pertanyaan yang berhasil keluar dari mulutnya.“Maaf, aku nggak tahu kalau ada tamu.”Tamu? Tatiana tertawa dalam hati mendengar Gladys menyebutnya sebagai tamu. Lo kali yang tamu! Rutuknya sebal.“Pak, maaf, saya sudah larang Mbak Gladys, tapi dia nggak peduli, Pak.” Kania yang datang kemudian memberitahu.Bian mengangguk pelan, tapi hatinya menggeram kesal. Kania yang sadar situasi segera pergi.“Duduk, Dys,” suruh Bian pada Gladys yang masih berdiri.“Aku mau duduk di mana?” tanya Gladys seraya melirik pada Tatiana.“Kamu duduk di sini aja, aku udah mau pergi kok,” jawab Tatiana seraya berdiri dan menyampirkan tasnya ke bahu.“Tia!” seru Bian melarang agar istrinya itu tidak meninggalkannya.“Ya, kenapa, Bi?” sahut Tatiana santai