“Kamu bisa nyetir nggak sih?” sergah Bian pada Mario yang menekan pedal rem secara mendadak sehingga tubuhnya terhuyung ke depan dengan tiba-tiba.“Maaf, Pak Bian, di depan ada motor nyalip, Pak,” ujar Mario memberitahu. Sejak dari rumah tadi dia mengemudi di atas batas kecepatan biasanya. Bian yang menyuruh, dan kini dirinya yang disalahkan.“Udah salah masih aja ngeles!” omel Bian lagi. Sejak tadi ada saja yang membuatnya kesal. Dan semua itu penyebabnya hanya satu itu. Tatiana.Mengetahui suasana hati sang atasan yang memburuk, Mario memilih diam. Dia tidak akan membuka mulut kalau Bian tidak mengajaknya bicara. Salah-salah bisa kena sembur lagi.Bian mengutak-ataik ponselnya dan mencoba menghubungi Tatiana. Ini entah sudah ke berapa kalinya dia menelepon istrinya itu, tapi hasilnya tetap sama. Tatiana tidak merespon. Entah apa maksudnya. Tidak mungkin Tatiana tidak tahu atau tidak mendengar. Dia pasti sengaja. Ya, sengaja. Bisa saja. Entah untuk alasan apa. Langkah kaki Bian ter
Tatiana dan Rei sedang berada di sekolah Lala. Harusnya cuma ada Tatiana saja, tapi Lala bersikeras agar Rei tidak pergi dulu dan menemaninya di sana. “Papa nanti aja pulangnya ya …”“Tapi Papa harus kerja, nak… Lala sama Aunty Tia dulu ya …”Lala memberengut, menunjukkan harapan yang terpatahkan. Tangannya berpegangan erat di lengan Rei.Tatiana yang melihat semua itu memberi kode agar Rei tetap bertahan. Setidaknya agak sepuluh atau dua puluh menit.Mengerti tanda dari Tatiana, Rei akhirnya pun mengiyakan. Sejenak dia melupakan pikiran tentang pekerjaan yang sudah menunggu hari ini. “Ya sudah, Papa akan di sini dulu.”“Yeaayy…!” Lala bersorak kegirangan. Anak itu berjalan di tengah-tengah di antara Rei dan Tatiana. Kedua tangannya menggamit lengan Rei dan Tatiana.“Lala, itu mama baru kamu ya?” Seorang anak dengan poni selamat datang menghadang dengan pertanyaan lugunya.Lala tersenyum manis. “Bukan, ini namanya Aunty Tia. Cantik kan? Kamu tau nggak, Aunty Tia yang bikin semua na
Dengan matanya sendiri Bian menyaksikan Tatiana dan Rei duduk berdampingan. Begitu dekat dan tanpa jarak di mata Bian. Udah gitu mereka terlihat akrab satu sama lain. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Tatiana nampak bahagia saat bersama Rei. Bian bahkan tidak pernah melihat Tatiana tertawa selepas itu saat bersamanya. Jangankan tertawa, senyum pun jarang. Seolah dia begitu tertekan saat berada di rumah.Tidak tahan lagi, Bian berjalan mendekati Tatiana yang sampai saat ini masih belum menyadari kehadiran Bian di tempat yang sama dengannya.“Tatiana, pulang!” Tatiana yang sedang mengobrol dengan Rei terang saja kaget saat lengannya ditarik dengan tiba-tiba.Perempuan itu menoleh dan mendapati suaminya yang kini mencekal tangannya. “Bian …,” desisnya kaget.“Pulang sekarang, Tia!” Suara Bian memang tidak keras, tapi Tatiana menangkap ada nada memaksa di sana.“Kenapa, Bi? Aku masih ada acara,” jawab Tatiana menolak.“Aku suami kamu, Tia, kamu harus dengar semua yang aku katakan.”“
Tatiana ikut melihat ke arah pintu. Di sana, Gladys berdiri tegak memandang mereka berdua. Matanya berlarian gelisah melihat Bian dan Tatiana.Bian yang semula kaget segera mengendalikan diri.“Kenapa nggak ketuk pintu dulu sebelum masuk?” Itu satu-satunya pertanyaan yang berhasil keluar dari mulutnya.“Maaf, aku nggak tahu kalau ada tamu.”Tamu? Tatiana tertawa dalam hati mendengar Gladys menyebutnya sebagai tamu. Lo kali yang tamu! Rutuknya sebal.“Pak, maaf, saya sudah larang Mbak Gladys, tapi dia nggak peduli, Pak.” Kania yang datang kemudian memberitahu.Bian mengangguk pelan, tapi hatinya menggeram kesal. Kania yang sadar situasi segera pergi.“Duduk, Dys,” suruh Bian pada Gladys yang masih berdiri.“Aku mau duduk di mana?” tanya Gladys seraya melirik pada Tatiana.“Kamu duduk di sini aja, aku udah mau pergi kok,” jawab Tatiana seraya berdiri dan menyampirkan tasnya ke bahu.“Tia!” seru Bian melarang agar istrinya itu tidak meninggalkannya.“Ya, kenapa, Bi?” sahut Tatiana santai
Rei menghilang setelah makan siang dan mengantar Tatiana ke kantor. Itu Tatiana ketahui setelah dia masuk ke ruangan Rei karena butuh sesuatu. Tatiana kemudian mendatangi ruangan Franda untuk menanyakan keberadaan sang atasan. Begitu Tatiana menyebutnya saat mereka berada di kantor.Sebelum Tatiana sempat bicara, Franda sudah terlebih dulu bertanya. “Kamu mencari Pak Rei ya?”“Iya, kamu tahu dia ada di mana?”Franda mengedikkan bahu. Dia juga sedang mencari atasannya itu. “Aku juga sedang mencari dia. Ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani.” Franda menunjuk tumpukan kertas di atas meja dengan dagunya.“Apa biasanya dia suka menghilang kayak gini?”“Nggak, biasanya kalau mau keluar dia kasih tahu kok. Aneh aja sekarang dia menghilang tiba-tiba.”“Oh, ya udah, aku ke ruangan dulu.” Tatiana memutar tubuh, tapi belum membalik sempurna, Franda mencegahnya pergi.“Tia, kenapa sih buru-buru? Nggak mau ghibah dulu?”Tatiana sontak tertawa mendengar celetukan Franda. Istilah itu dulu
Bian masuk ke kamar setelah berbicara dengan Reza. Akhirnya dia terpaksa menerima lelaki itu untuk menjadi supir Tatiana karena tidak ada pilihan lain. Biarlah. Baginya saat ini yang penting bisa mengawasi gerak-gerik istrinya itu. Bian bisa saja menyuruh Mario yang menyupiri Tatiana. Tapi rasanya terlalu riskan jika dia menggantikan Mario dengan orang lain, apalagi masih baru. Selama ini Mario memegang banyak rahasianya. Dan Bian tidak akan bertindak bodoh dengan mengganti Mario dengan orang lain, apalagi si Reza itu."Mulai besok kamu pulang pergi sama Reza. Pokoknya ke mana pun kamu pergi dia yang akan mengantar kamu," titah Bian pada Tatiana."Iya," jawab Tatiana patuh. Dia sedang tidak ingin berdebat yang hanya akan membuang-buang energinya."Kamu udah mandi?" tanya Bian lagi seraya mengamati Tatiana dari atas kepala sampai telapak kaki."Belum, rencananya aku mau bantu Bi Lina masak untuk makan malam.""Nggak usah," larang Bian cepat. "Kamu itu nyonya rumah, bukan pembantu. Itu
Bian mengakhiri percakapan, lalu menyimpan gawai. Matanya kemudian beralih pada Tatiana yang duduk di sebelahnya. Tatiana yang sadar dipandangi Bian mulai bersiap-siap kalau saja suaminya itu ingin menurunkannya atau menyuruh melanjutkan perjalanan sendiri ke rumah mertuanya dengan menggunakan taksi.“Tia…,” Suara Bian terdengar lirih, berbeda dari biasanya.“Ya.” Tatiana menjawab dengan nada biasa. Tubuhnya berada pada posisi stand by. Duduk dengan tegak dan tegap, tidak lagi bersandar seperti tadi.“Gladys sakit.”“Terus?”“Aku harus ke sana sekarang.”“Oh.”“Kita ke sana ya?”“Kita?”“Iya, aku dan kamu.”“Kalau gitu aku turun di sini. Aku naik taksi aja, atau kalau nggak biar kutelfon Rei dulu, siapa tau dia bisa menjemput,” ujar Tatiana sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel.“Nggak, nggak, nggak. Kamu ikut aku aja,” timpal Bian cepat, melarang Tatiana untuk bertindak di luar keinginannya. “Kamu ikut sama aku ke apartemen Gladys. Habis itu kita ke rumah Mami. Telat dikit ngg
Bian berjalan mengikuti perawat yang mendorong brankar. Pun dengan Tatiana. Di atas brankar itu Gladys berbaring dengan wajah meringis sambil memegang perutnya. Mata perempuan itu berlarian gelisah mencari Bian. Sedangkan tangannya bergerak-gerak resah berharap Bian akan menggenggamnya. Nyatanya pria itu malah berjalan bersisian dengan sang istri.Tatiana menunggu di luar, sedangkan Bian ikut ke dalam mendampingi dokter yang memeriksa Gladys. Tatiana sengaja tidak ikut masuk karena tahu pasti Gladys tidak nyaman dengan kehadirannya. Lebih dari sepuluh menit dia menunggu tapi belum ada tanda-tanda seseorang akan keluar dari ruangan itu.‘Apa mungkin aku pulang aja sekarang?’Mungkin lebih baik begitu. Untuk apa lagi dirinya berada di sana? Kehadirannya tidak akan berarti apa-apa. Malahan hanya akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi Gladys.Tatiana yang tadi bersandar di tiang koridor rumah sakit, kini menarik diri dan mengayun langkah pelan meninggalkan tempat itu. Dia akan memesan