Bian mengakhiri percakapan, lalu menyimpan gawai. Matanya kemudian beralih pada Tatiana yang duduk di sebelahnya. Tatiana yang sadar dipandangi Bian mulai bersiap-siap kalau saja suaminya itu ingin menurunkannya atau menyuruh melanjutkan perjalanan sendiri ke rumah mertuanya dengan menggunakan taksi.“Tia…,” Suara Bian terdengar lirih, berbeda dari biasanya.“Ya.” Tatiana menjawab dengan nada biasa. Tubuhnya berada pada posisi stand by. Duduk dengan tegak dan tegap, tidak lagi bersandar seperti tadi.“Gladys sakit.”“Terus?”“Aku harus ke sana sekarang.”“Oh.”“Kita ke sana ya?”“Kita?”“Iya, aku dan kamu.”“Kalau gitu aku turun di sini. Aku naik taksi aja, atau kalau nggak biar kutelfon Rei dulu, siapa tau dia bisa menjemput,” ujar Tatiana sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel.“Nggak, nggak, nggak. Kamu ikut aku aja,” timpal Bian cepat, melarang Tatiana untuk bertindak di luar keinginannya. “Kamu ikut sama aku ke apartemen Gladys. Habis itu kita ke rumah Mami. Telat dikit ngg
Bian berjalan mengikuti perawat yang mendorong brankar. Pun dengan Tatiana. Di atas brankar itu Gladys berbaring dengan wajah meringis sambil memegang perutnya. Mata perempuan itu berlarian gelisah mencari Bian. Sedangkan tangannya bergerak-gerak resah berharap Bian akan menggenggamnya. Nyatanya pria itu malah berjalan bersisian dengan sang istri.Tatiana menunggu di luar, sedangkan Bian ikut ke dalam mendampingi dokter yang memeriksa Gladys. Tatiana sengaja tidak ikut masuk karena tahu pasti Gladys tidak nyaman dengan kehadirannya. Lebih dari sepuluh menit dia menunggu tapi belum ada tanda-tanda seseorang akan keluar dari ruangan itu.‘Apa mungkin aku pulang aja sekarang?’Mungkin lebih baik begitu. Untuk apa lagi dirinya berada di sana? Kehadirannya tidak akan berarti apa-apa. Malahan hanya akan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi Gladys.Tatiana yang tadi bersandar di tiang koridor rumah sakit, kini menarik diri dan mengayun langkah pelan meninggalkan tempat itu. Dia akan memesan
“Oh iya, kalau kamu ngapain di sini? Siapa yang sakit? Istri?” Kiano bertanya balik.“Bukan,” jawab Bian sambil tersenyum kikuk.“Jadi siapa?”Bian terbatuk-batuk kecil sambil berdeham. Dan Kiano terus memerhatikannya. “Kamu mau minum nggak, Bi? Aku kasihan ngeliat kamu batuk-batuk kayak gitu. Yang, ada air mineral yang masih segel nggak?” tanya Kiano pada Adizty. Tadi mereka memang membeli dua botol.“Ada, Pi, ini.” Adizty menjawab sambil mengeluarkan air mineral dari dalam tas lantas memberikannya pada Kiano.“Ini, Bi, coba kamu minum dulu.” Kiano memberikan botol air pada Bian. Lelaki itu lalu meneguknya sampai tersisa setengah botol.“Gimana, Bi? Udah tenang?”Bian mengangguk pelan. “Makasih.”“Iyaa… slow, Broo… Oh iya, tadi kamu belum jawab siapa yang sakit?” tanya Kiano lagi.“Gladys,” jawab Bian akhirnya dengan lidah kelu.“Gladys?” ulang Kiano kaget. “Maksudnya Gladys yang script writer itu? Yang bekasan Darrel?”“Iya,” jawab Bian pahit. “Yang temannya Giselle,” tukasnya menam
Ternyata Bian tidak pulang malam itu. Dan dia tidak memberi kabar apa pun. Tatiana memang sudah menduga sebelumnya. Mungkin saja saat ini dia sedang menemani Gladys di apartemennya. Menjaga perempuan itu dari malam hingga pagi. Tatiana memiringkan badan, melirik ke sisi kanannya. Di sebelah itu biasanya Bian tidur. Tapi sekarang tidak ada siapa pun. Hanya ada permukaan kasur yang kosong dan dingin. Sama seperti hari-hari sebelumnya.Masih berbaring, Tatiana menjangkau ponsel yang dia letakkan di atas nakas. Mungkin dia perlu distraksi dan lari sejenak dari kehidupan nyata. Tatiana tidak memiliki banyak teman di media sosial. Dia hanya akan menggonfirmasi orang-orang yang dia kenal. Tapi Tatiana bukanlah golongan anti social.Menggulirkan jari, Tatiana melihat unggahan para temannya yang lewat di feed sosmednya. Semua memamerkan kebahagiaan. Rata-rata menunjukkan kemesraan bersama pasangan. Entah itu pasangan sah atau pun milik orang lain. Seperti Bian dan Gladys.Iseng-iseng Tatiana
Bian keluar dari ruangan dokter dengan tubuh lunglai. Cukup lama dia berada di sana dengan lelaki yang menangani Gladys itu. Mereka membicarakan kondisi kesehatan Gladys. Dokter menerangkan pada Bian dengan sejelas dan sedetail mungkin. Dari A sampai Z. Dari mayor hingga minor. Dari makro hingga mikro. Dan fakta yang diketahui Bian setelah itu membuatnya sakit sendiri. “Itu nggak mungkin, Dok,” bantah Bian setelah dokter menjelaskan padanya hasil diagnosa penyakit Gladys.“Maaf, Pak Bian, tapi memang begitu faktanya. Sabar ya, Pak.”Bian menggeleng-gelengkan kepala, menolak menerima kebenaran yang baru saja dia dengar. Vonis dokter atas penyakit Gladys membuat hatinya tersayat-sayat. Lelaki itu kemudian masuk ke ruang rawat Gladys. Sang kekasih melempar senyum hampa padanya dengan wajah yang pucat. Bian mencoba membalas senyuman itu, tapi bibirnya begitu berat untuk digerakkan.“Bi, kapan kita pulang?”“Belum hari ini ya, Dys, dokter belum kasih izin soalnya.”“Jadi kapan dong? Aku
Tatiana menjauhkan handphone dari telinga lantas melihat ke layar. Ternyata panggilan sudah terputus secara sepihak. Bian mematikannya tiba-tiba. Aneh.Tatiana lalu menyimpan kembali ponselnya. Dia tidak ambil pusing kenapa Bian bersikap begitu padanya. Tatiana sudah terbiasa dengan tingkahnya yang absurd, aneh, atau apa pun namanya.“Bian yang telfon,” ujarnya sebelum Rei bertanya.“Kemajuan nih kayaknya,” sindir Rei lalu tertawa. Tatiana ikut tertawa seraya merenungi tindakan Bian barusan. Untuk apa Bian sok-sok perhatian gitu padanya? Biasanya mau Tatiana sampai jungkir balik sekali pun dia tidak akan peduli. Karena di matanya yang terlihat hanya Gladys, Gladys, dan Gladys.“Gimana keadaan Gladys?” celetuk Rei kemudian setelah menyimpan tawanya kembali.Tatiana mengedikkan bahu. “Aku nggak tau.”“Mungkin masih belum sehat kali ya?” Rei mengira-ngira sendiri.“Entahlah, Rei. Mau udah sehat atau belum hasilnya akan sama aja. Ya tetap saja si Bian nggak akan berubah. Iya kan?”“Jad
“Aunty Tia!” Lala menyongsong Tatiana yang baru saja turun dari mobil Rei.Tatiana tersenyum dan balas menyapa. “Lala sudah mandi?” tanyanya melihat rambut panjang anak itu yang setengah basah.“Sudah, Nty.” Lala menggandeng tangan Tatiana, mengajaknya masuk ke dalam rumah.“La... Aunty bawa ini lho buat kamu.” Tatiana memberikan kantong dalam jinjingan.“Apa itu, Nty?” “Coba deh kamu lihat sendiri.”Lala membuka kantong itu dan mengeluarkan isinya. “Aunty kok tau sih kalau aku suka ini?” Binar di mata Lala semakin nyata saat melihat vannila pana cotta di dalam jar yang dibawa Tatiana. “Pasti papa yang bilang kan?”“Nggak… Aunty tau sendiri kok. Gimana, kamu suka?”“Suka banget, Aunty…”“Ya udah, kalau gitu mending dimakan sekarang aja.”Lala mengangguk cepat, lalu menyuap dessert yang tadi dibeli Tatiana di toko kue.“Rei, kamu nggak mau sekalian?” Tatiana menawarkan.“Ntar aja deh, aku mau mandi dulu.” Rei menolak. Badannya sudah menuntut untuk dibersihkan terlebih dulu.‘’Tapi nan
Bian tidak bisa lagi untuk tetap tenang dan diam mendengarkan aksi roman picisan atau pun drama murahan yang dimainkan oleh orang-orang yang menamakan dirinya dengan sebutan mama, papa, serta Lala itu. Kesabaran tidak akan pernah cukup untuk membuatnya terus bertahan. Langkahnya pun terayun kasar. “Tatiana!” sergahnya dengan nada suara yang sungguh tidak bisa ditahannya lagi agar tetap terdengar wajar.Keluarga cemara wanna be itu sontak melihat ke sumber suara. Di sana, di sisi pintu, Bian berdiri dengan angkuh. Rahangnya mengeras, sedangkan tangannya terkepal erat.“Hei, Bi, duduk dulu!” sapa Tatiana tanpa peduli pada muka tegang sang suami.“Aku menjemputmu. Ayo pulang sekarang, Tatiana!” perintah Bian tegas. Lelaki itu tidak menghiraukan tatapan keberatan keponakannya, atau pun mata kurang senang adik kandungnya.“Kenapa pake dijemput segala sih? Aku belum bisa pulang sekarang. Lagian nanti Rei bakal ngantar aku kok.”Tanggapan santai Tatiana rupanya membuat Bian ingin menyeretny