Bian tidak bisa lagi untuk tetap tenang dan diam mendengarkan aksi roman picisan atau pun drama murahan yang dimainkan oleh orang-orang yang menamakan dirinya dengan sebutan mama, papa, serta Lala itu. Kesabaran tidak akan pernah cukup untuk membuatnya terus bertahan. Langkahnya pun terayun kasar. “Tatiana!” sergahnya dengan nada suara yang sungguh tidak bisa ditahannya lagi agar tetap terdengar wajar.Keluarga cemara wanna be itu sontak melihat ke sumber suara. Di sana, di sisi pintu, Bian berdiri dengan angkuh. Rahangnya mengeras, sedangkan tangannya terkepal erat.“Hei, Bi, duduk dulu!” sapa Tatiana tanpa peduli pada muka tegang sang suami.“Aku menjemputmu. Ayo pulang sekarang, Tatiana!” perintah Bian tegas. Lelaki itu tidak menghiraukan tatapan keberatan keponakannya, atau pun mata kurang senang adik kandungnya.“Kenapa pake dijemput segala sih? Aku belum bisa pulang sekarang. Lagian nanti Rei bakal ngantar aku kok.”Tanggapan santai Tatiana rupanya membuat Bian ingin menyeretny
Tatiana memerhatikan Bian yang mondar-mandir nggak jelas di kamar. Sudah belasan atau mungkin puluhan menit lamanya. Sepertinya begitu sulit bagi Bian untuk memilih. Lelaki itu kemudian membuka lemari pendingin yang berada di sebelah meja kerjanya. Tatiana segera menghampirinya sebelum tangan Bian sempat meraih sebotol red wine di antara botol-botol lainnya.“Jangan, Bi!” larang Tatiana cepat sembari menahan Bian dengan mencekal lengannya.Bian menoleh dengan sorot mata bertanya-tanya pada sang istri.“Nggak semua masalah harus diselesaikan dengan cara mabuk-mabukan. Tunda dulu minum-minumnya karena kamu butuh kesadaran penuh untuk berpikir jernih. Tolong, kali ini kamu dengarkan kata-kata aku, Bi.”Bian meletakkan kembali minuman beralkohol itu, lantas menutup kulkas. Terdengar helaan napasnya yang sangat berat.“Aku nggak akan memaksa kamu buat mempertahankan pernikahan kita,” ujar Tatiana setelah mereka duduk di sofa. Di seberangnya Bian duduk dengan tatapan galau dan terus meman
“Kalau aku sih terserah kamu. Memangnya kamu yakin mau ngebiarin dia sendiri?” tanya Tatiana. Hatinya meragu kalau Bian sanggup melakukannya.Bian mengangguk pelan. Mati-matian dia menepis wajah Gladys yang terus melintas di depan mata, seolah memanggilnya untuk segera datang. “Bi, apa dia nggak punya keluarga?” tanya Tatiana lagi. Rasanya dia juga tidak tega membiarkan Gladys sendirian di rumah sakit tanpa ada yang mendampingi. Apalagi sakitnya bukan penyakit biasa.“Ada sih…,” jawab Bian gantung.“Tapi?”“Gladys nggak ngebolehin aku buat kasih tau keluarganya.”“Kenapa?” tanya Tatiana heran. Sudah sewajarnya mereka tahu kondisi Gladys yang sesungguhnya. Apalagi dengan penyakit yang dideritanya saat ini.“Dia bilang nggak mau bikin mereka khawatir.”Logika Tatiana mulai bekerja setelah mendengar penuturan Bian. Kenapa Gladys tidak mau? Justru malah bagus kalau keluarganya tahu sejak awal. Jadi mereka akan lebih siap menghadapi kenyataan jika terjadi sesutu yang buruk pada anak merek
Pagi ini terlihat berbeda dari biasanya. Ruang makan yang pada hari-hari sebelumnya hanya ada Tatiana dan Lina, sekarang terasa lebih hidup dengan kehadiran Bian. Pagi ini mereka memang sarapan bersama. “Tumben banget Bu Tia dan Pak Bian sarapan bareng,” celetuk Lina melihat kedua majikannya duduk berdampingan.“Iya nih, Bi, kebetulan jadwalnya samaan.” Tatiana yang menjawab. Sedangkan Bian bersikap acuh tak acuh. Lelaki itu mengaduk-aduk kopinya yang masih mengepulkan uap panas. Kopi hitam yang dibuatkan Lina untuk Bian memang sengaja tidak diaduk. Memang kesukaan Bian seperti itu. Dia ingin mencampur gulanya sendiri.“Kalau sering-sering kayak gini kan bagus. Pak Bian dan Bu Tia baru kayak pasangan suami istri betulan,” celetuk Lina sambil tersenyum. “Memangnya selama ini nggak kayak betulan ya, Bi?” Tatiana menukasi. Ternyata gerak-geriknya dan Bian menjadi perhatian pekerja di rumah mereka.Lina tersenyum canggung. “Bukan gitu sih, Bu, cuma Pak Bian dan Bu Tia kan jarang-jarang
Tatiana melempar senyum dari jauh saat melihat Rei. Lelaki itu membalas senyumnya lalu menunggu di depan lift.“Ceria banget kayaknya,” komentar Rei setelah Tatiana berada di dekatnya.“Ceria gimana?”Rei menekan tombol lift, lalu masuk diikuti Tatiana. “Muka kamu yang ceria. Ada apa? Bian baru menang tender?”Tatiana memegang pipinya. Seolah dengan begitu dia bisa membuktikan kata-kata Rei. Perempuan itu lalu tertawa. “Aku nggak tau. Lagian nggak ada hubungannya dia baru menang tender atau nggak."Rei tertawa. Dia memang merasa aura Tatiana yang berbeda pagi ini. “Lalu kenapa?” tanyanya belum puas.“Mmm… kenapa ya…” Tatiana pun tidak tahu. Dia merasa biasa-biasa saja padahal.“Atau karena kamu jadi pisah sama Bian?” tebak Rei menerka-nerka sambil memiringkan kepala.Tatiana mengangkat bahu. “Nggak jadi.”“Oh ya? Kenapa?” Rei mencoba bersikap biasa, tapi rupanya gesturnya terlihat antusias dengan sahutannya yang terlalu cepat.Tatiana berdehem guna menjernihkan suaranya yang mengeru
“Om, sebaiknya kita bicara di sana aja.” Bian menunjuk ke arah lain. Ada tempat duduk di sana. Wiryawan menyetujuinya. Bian lalu menggandeng tangan Tatiana agar juga mengikutinya. Sementara Rei terpaku sendiri di tempatnya berdiri. Tatiana menoleh ke belakang , menatap Rei. Lelaki itu membalas dengan anggukan kepala. Memberi tanda agar Tatiana ikut saja dengan Bian.“Om, nggak apa-apa kan kalau Tia ikut mendengar pembicaraan kita?” Bian bertanya setelah mereka sama-sama duduk.“Nggak apa-apa, apa salahnya?” jawab Wiryawan sambil tersenyum samar. Bian memandang Tatiana yang duduk di sebelahnya sebelum mulai bicara. Bian memang sengaja mengajak istrinya itu agar bisa mendengar secara langsung penjelasannya pada orang tua Gladys juga agar Tatiana percaya kalau Gladys memang sakit beneran dan bukan hanya karangannya semata.“Om, kemarin saya sudah bicara dengan dokter. Dan dokter bilang Gladys kena kanker lambung stadium akhir. Waktunya udah nggak lama lagi, Om,” ucap Bian dengan lidah
Bian membuka jasnya lantas melempar ke sembarangan ke arah sofa. Begitu juga dengan dasi yang tadi menggantung erat di lehernya kini juga mendapat perlakuan yang sama. Diedarkannya mata ke setiap sudut kamar, tapi dia tidak menemukan Tatiana.Kekesalannya sejak tadi siang semakin terakumulasi karena dia tidak menemukan sosok sang istri. Tidak hanya di kamar, tapi juga di rumah.“Ibu Tia belum pulang, Pak,” kata Lina saat Bian bertanya padanya.“Maaf, Pak, tapi Ibu Tia yang menyuruh saya pulang duluan.” Itu jawaban lain yang didengarnya saat Bian bertanya pada Reza.“Sudah saya bilang berkali-kali, kamu harus ikut ke mana pun dia pergi,” tegas Bian jengkel. Apa kata-kata dan instruksinya masih kurang jelas? Padahal bukan hanya sekali dua kali Bian mengatakannya, melainkan sudah berulang-ulang.Reza berdiri dengan tubuh kaku. Dia menjadi salah tingkah sendiri. Entah siapa yang harus didengarkannya. Tatiana menyuruhnya untuk pulang, sedangkan lain lagi perintah yang didapatnya dari Bian.
Lelah mengoceh dan tidak dapat tanggapan, Bian pun diam. Sesaat kemudian dia sadar. Mungkin dia harus mengubah cara untuk menghadapi Tatiana. Tapi bagaimana caranya agar Tatiana bisa bersikap sedikit hangat padanya?Setibanya di rumah. Mereka langsung masuk ke kamar. Dan masih seperti hari-hari sebelumnya, Tatiana langsung mandi dengan membawa baju ganti ke kamar mandi. Bian pastikan pasti setelah ini Tatiana akan tidur, sama seperti biasa. Bian bosan. Apa tidak ada lagi kegiatan lain selain mandi dan tidur? Bahkan rasanya bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka makan malam bersama di rumah ini.Bian masih duduk termangu saat beberapa menit kemudian Tatiana keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Jujur saja Bian menyukai melihat Tatiana seperti ini. Tetesan air dari rambutnya menitik jatuh ke leher. Ingin rasanya Bian membantu mengeringkannya. Tapi yang bisa dilakukannya hanya memandangi dari jauh. Padahal sebenarnya dia berhak untuk melakukan apa pun pada Tatiana.Benar d