“Om, sebaiknya kita bicara di sana aja.” Bian menunjuk ke arah lain. Ada tempat duduk di sana. Wiryawan menyetujuinya. Bian lalu menggandeng tangan Tatiana agar juga mengikutinya. Sementara Rei terpaku sendiri di tempatnya berdiri. Tatiana menoleh ke belakang , menatap Rei. Lelaki itu membalas dengan anggukan kepala. Memberi tanda agar Tatiana ikut saja dengan Bian.“Om, nggak apa-apa kan kalau Tia ikut mendengar pembicaraan kita?” Bian bertanya setelah mereka sama-sama duduk.“Nggak apa-apa, apa salahnya?” jawab Wiryawan sambil tersenyum samar. Bian memandang Tatiana yang duduk di sebelahnya sebelum mulai bicara. Bian memang sengaja mengajak istrinya itu agar bisa mendengar secara langsung penjelasannya pada orang tua Gladys juga agar Tatiana percaya kalau Gladys memang sakit beneran dan bukan hanya karangannya semata.“Om, kemarin saya sudah bicara dengan dokter. Dan dokter bilang Gladys kena kanker lambung stadium akhir. Waktunya udah nggak lama lagi, Om,” ucap Bian dengan lidah
Bian membuka jasnya lantas melempar ke sembarangan ke arah sofa. Begitu juga dengan dasi yang tadi menggantung erat di lehernya kini juga mendapat perlakuan yang sama. Diedarkannya mata ke setiap sudut kamar, tapi dia tidak menemukan Tatiana.Kekesalannya sejak tadi siang semakin terakumulasi karena dia tidak menemukan sosok sang istri. Tidak hanya di kamar, tapi juga di rumah.“Ibu Tia belum pulang, Pak,” kata Lina saat Bian bertanya padanya.“Maaf, Pak, tapi Ibu Tia yang menyuruh saya pulang duluan.” Itu jawaban lain yang didengarnya saat Bian bertanya pada Reza.“Sudah saya bilang berkali-kali, kamu harus ikut ke mana pun dia pergi,” tegas Bian jengkel. Apa kata-kata dan instruksinya masih kurang jelas? Padahal bukan hanya sekali dua kali Bian mengatakannya, melainkan sudah berulang-ulang.Reza berdiri dengan tubuh kaku. Dia menjadi salah tingkah sendiri. Entah siapa yang harus didengarkannya. Tatiana menyuruhnya untuk pulang, sedangkan lain lagi perintah yang didapatnya dari Bian.
Lelah mengoceh dan tidak dapat tanggapan, Bian pun diam. Sesaat kemudian dia sadar. Mungkin dia harus mengubah cara untuk menghadapi Tatiana. Tapi bagaimana caranya agar Tatiana bisa bersikap sedikit hangat padanya?Setibanya di rumah. Mereka langsung masuk ke kamar. Dan masih seperti hari-hari sebelumnya, Tatiana langsung mandi dengan membawa baju ganti ke kamar mandi. Bian pastikan pasti setelah ini Tatiana akan tidur, sama seperti biasa. Bian bosan. Apa tidak ada lagi kegiatan lain selain mandi dan tidur? Bahkan rasanya bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka makan malam bersama di rumah ini.Bian masih duduk termangu saat beberapa menit kemudian Tatiana keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Jujur saja Bian menyukai melihat Tatiana seperti ini. Tetesan air dari rambutnya menitik jatuh ke leher. Ingin rasanya Bian membantu mengeringkannya. Tapi yang bisa dilakukannya hanya memandangi dari jauh. Padahal sebenarnya dia berhak untuk melakukan apa pun pada Tatiana.Benar d
Jelas saja Bian terkejut saat Tatiana tiba-tiba mendorongnya hingga dia hampir saja terjengkang ke belakang. Apa yang salah? Apa karena dia mencium Tatiana tanpa meminta izin? Tapi bukankah tidak perlu izin karena Tatiana adalah istrinya?“Maaf, Bi, aku nggak bisa,” ujar Tatiana sambil mengulurkan telapak tangannya sebagai tanda penolakan. “Kenapa, Tia? Kenapa nggak bisa?” tanya Bian dengan nada kecewa. Sama dengan mukanya yang juga terlihat terluka mendapat penolakan dari Tatiana. Hanya mencium padahal. Jika mencium saja ditolak apa kabar yang lebih dari itu?“Kenapa nggak bisa?” ulang Bian karena Tatiana tidak kunjung menjawab.Tatiana tidak ingin menyinggung perasaan Bian dan berusaha mencari-cari alasan. Namun yang keluar dari mulutnya adalah fakta yang sesungguhnya.“Maaf, Bi, tapi aku jijik. Aku nggak sanggup ngebayangin bibir yang kamu gunain buat nyium aku udah kamu gunain buat nyium orang lain.”Mengusap bibirnya, Tatiana meloncat turun dari tempat tidur, lantas setengah b
Hampir setengah jam Tatiana berada di Le Quartier, resto Prancis tempatnya dan Bian akan dinner. Namun, hingga detik ini Bian masih belum menampakkan diri. Tatiana sudah coba menghubungi, tapi Bian tidak menjawab panggilan darinya. Mungkin dia sedang di jalan dan tidak mendengar suara handphone, pikir Tatiana. Perempuan itu memutuskan untuk menunggu dengan lebih sabar lagi. Telinganya yang tidak biasa mencoba untuk lebih ramah mendengarkan lantunan musik jazz yang mengalun di restoran itu.Tatiana mengedarkan matanya ke setiap sudut penjuru restoran. Tidak sesenti pun dari bagian restoran mewah itu dia lewatkan.Le Quartier malam itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung, namun semua berpasangan. Entah itu suami istri, pasangan kekasih, atau mungkin pasangan peselingkuh. Merujuk pada kata terakhir, Tatiana kembali ingat Gladys. Apa perempuan itu penyebab Bian masih belum datang? Jangan-jangan acara mereka akan batal gara-gara Bian lebih memilih menemani Gladys. Kemungki
Bian memapah Tatiana turun dari mobil. Istrinya itu sepertinya sudah tidak sanggup lagi menopang berat tubuhnya sendiri sehingga menyandarkan sepenuhnya pada Bian. Tidak ingin susah, Bian akhirnya menggendong Tatiana masuk ke kamar. Lalu dengan seperlahan mungkin meletakkan Tatiana di atas ranjang.Dengan tatapannya yang nanar, Tatiana masih bisa melihat Bian duduk di dekatnya sambil membuka jas, melepaskan dasi, lalu menyingsingkan lengan kemejanya.“Bi…,” ucap Tatiana serak. Tangannya mengusap paha Bian.Bian tersenyum simpul seraya menelan saliva. Sentuhan Tatiana di pahanya langsung connect ke inti bawah tubuhnya.“Iya…”“Tidurlah di sini…” Suara Tatiana terdengar manja. Tangannya mengusap permukaan kasur yang kosong.“Memangnya boleh aku tidur di situ? Kamu nggak jijik sama aku?”“Jijik?” Tatiana mengernyit heran. “Kenapa harus jijik?”Bian tersenyum lagi. “Nggak apa-apa, aku cuma nanya.”Detik berikutnya Bian sudah merebahkan diri di sebelah Tatiana. Berbaring miring, keduanya
Sinar matahari menembus tirai tipis jendela kamar Bian. Tidak terlalu panas, namun cukup hangat dan terang yang membuat Tatiana merasa terusik. Tanpa membuka mata, Tatiana bergerak perlahan. Namun, terasa ada yang menghalanginya untuk membalikkan badan. Mungkin itu bantal gulingnya. Tatiana mendekap erat gulingnya itu. Guling empuk dan nyaman yang setiap hari menemani malam-malamnya yang dingin.Tapi tunggu dulu! Kenapa terasa begitu lembut? Sepertinya ini bukan gulingnya yang biasa. Apa kemarin dia menggantinya? Atau mungkin Lina membeli yang baru?Tatiana berdeham menjernihkan tenggorokannya. Bersamaan dengan itu dia membuka matanya perlahan. Menyambut cahaya matahari yang sejak tadi berusaha membangunkannya dari tidur. Tatiana mengerjap berkali-kali, mengumpulkan nyawa sambil membangun kesadaran. Tatiana kini mengenali tempatnya berada. Ini kamar Bian. Ini kamarnya. Ini kamar mereka berdua. Tapi mana Bian?Sesaat kemudian Tatiana menyadari kalau dia tidak sedang memeluk guling,
Tatiana termangu sendiri. Pikirannya berusaha mencerna apa yang terjadi. Tatiana tidak mengerti apa maksud Bian sebenarnya? Bian sakit hati kenapa? Tatiana tidak habis pikir. Mereka baru saja selesai bercinta, tapi tiba-tiba saja Bian berubah sikap padanya. Apa yang salah sebenarnya?Tatiana turun dari tempat tidur. Dia bermaksud menuju lemari untuk mengambil baju. Tapi baru saja akan bergerak, Tatiana kembali meringis. Inti tubuhnya terasa sakit yang membuatnya kesusahan untuk berjalan. ‘Ya Tuhan… ternyata rasanya sesakit ini.’Tatiana memang sering mendengar derita yang dialami wanita setelah malam pertama. Dan sekarang akhirnya dia merasakan sendiri seperti apa rasanya.Tatiana melangkah dengan amat perlahan. Kakinya terlihat bengkok karena berjalan sedikit mengangkang. Entah bagaimana caranya Tatiana menyembunyikan cara berjalannya yang aneh pada orang-orang.Mengambil baju di lemari, Tatiana segera memakainya. Dan lagi-lagi dia harus meringis saat harus menggerakkan kaki. Sete
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa