Sinar matahari menembus tirai tipis jendela kamar Bian. Tidak terlalu panas, namun cukup hangat dan terang yang membuat Tatiana merasa terusik. Tanpa membuka mata, Tatiana bergerak perlahan. Namun, terasa ada yang menghalanginya untuk membalikkan badan. Mungkin itu bantal gulingnya. Tatiana mendekap erat gulingnya itu. Guling empuk dan nyaman yang setiap hari menemani malam-malamnya yang dingin.Tapi tunggu dulu! Kenapa terasa begitu lembut? Sepertinya ini bukan gulingnya yang biasa. Apa kemarin dia menggantinya? Atau mungkin Lina membeli yang baru?Tatiana berdeham menjernihkan tenggorokannya. Bersamaan dengan itu dia membuka matanya perlahan. Menyambut cahaya matahari yang sejak tadi berusaha membangunkannya dari tidur. Tatiana mengerjap berkali-kali, mengumpulkan nyawa sambil membangun kesadaran. Tatiana kini mengenali tempatnya berada. Ini kamar Bian. Ini kamarnya. Ini kamar mereka berdua. Tapi mana Bian?Sesaat kemudian Tatiana menyadari kalau dia tidak sedang memeluk guling,
Tatiana termangu sendiri. Pikirannya berusaha mencerna apa yang terjadi. Tatiana tidak mengerti apa maksud Bian sebenarnya? Bian sakit hati kenapa? Tatiana tidak habis pikir. Mereka baru saja selesai bercinta, tapi tiba-tiba saja Bian berubah sikap padanya. Apa yang salah sebenarnya?Tatiana turun dari tempat tidur. Dia bermaksud menuju lemari untuk mengambil baju. Tapi baru saja akan bergerak, Tatiana kembali meringis. Inti tubuhnya terasa sakit yang membuatnya kesusahan untuk berjalan. ‘Ya Tuhan… ternyata rasanya sesakit ini.’Tatiana memang sering mendengar derita yang dialami wanita setelah malam pertama. Dan sekarang akhirnya dia merasakan sendiri seperti apa rasanya.Tatiana melangkah dengan amat perlahan. Kakinya terlihat bengkok karena berjalan sedikit mengangkang. Entah bagaimana caranya Tatiana menyembunyikan cara berjalannya yang aneh pada orang-orang.Mengambil baju di lemari, Tatiana segera memakainya. Dan lagi-lagi dia harus meringis saat harus menggerakkan kaki. Sete
“Nggak bisa lebih kencang lagi?” sergah Bian pada Mario. Dari tadi dia merasa mobil yang ditumpanginya bergerak seperti kura-kura dan beringsut seperti siput. “Di depan macet, Pak Bian,” kata Mario memberitahu.“Makanya dari tadi aku bilang jangan terlalu pelan. Tau sendiri kan akibatnya?”Mario diam saja. Kalau Bian sudah mengoceh seperti ini biasanya pasti ada masalah yang mengganggu pikirannya.Di jok belakang, Bian memijit pelipisnya. Kepalanya mulai terasa berat. Bukan karena kurang tidur atau sakit kepala betulan. Tapi karena memikirkan perdebatannya dengan Tatiana tadi. Bian ingin menepis Tatiana jauh-jauh dari pikirannya. Tapi yang ada, justru semakin memenuhi kepalanya.Berkali-kali Bian membuang napas. Berharap kegelisahannya juga ikut terbuang, nyatanya dia malah semakin resah.Bian menyandarkan kepalanya, lalu memejamkan mata. Semua runtutan peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Tatiana kini membayang jelas di depan matan
Tatiana diam saja sejak dari rumah tadi hingga sekarang. Tinggal beberapa ratus meter lagi mereka akan sampai di rumah Alya. Namun sejauh ini tidak ada yang terucap dari mulutnya.Rei yang sedang menyetir sesekali melirik ke sebelahnya. Melihat Tatiana yang sepertinya tidak tertarik untuk bicara, lelaki itu pun memilih untuk tidak berkata. Namun, lama-lama dia tidak bisa untuk tetap diam.“Tia…,” panggil Rei pelan.Tatiana menoleh perlahan. "Ya?"“Boleh aku tanya sesuatu?”“Boleh. Kamu mau tanya apa?”“Kamu dan Bian nggak sedang bertengkar kan?”Tatiana tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak. Harus jujur atau menyembunyikannya dari Rei. Selama ini dia bisa menceritakan banyak hal pada Rei. Tapi ini masalahnya terlalu pribadi. Mungkin tidak apa-apa kalau Rei adalah seorang perempuan, sama seperti dirinya, maka dia bisa dengan leluasa bercerita. Tapi untuk hal semacam ini rasanya tidak pantas kalau Rei mengetahuinya.“Tia, kalau kamu keberatan nggak apa-apa kok.” Suara Rei terden
“Bi, pulangnya nanti aja ya…,” bujuk Gladys saat Bian mengatakan keinginannya untuk segera pulang. Dari tadi dia terus menahan Bian agar tidak pergi dan berada lebih lama bersamanya.“Nggak enak sama mama kamu, aku udah kelamaan di sini,” jawab Bian sambil melirik ke arah dalam. Sudah sejak tadi dia berada di rumah Gladys. Tidak berbuat yang aneh-aneh. Hanya mengobrol ringan dan bicara sana-sini. Lumayan mendistraksi pikiran Bian meski tidak sepenuhnya bisa melupakan Tatiana.“Nggak apa-apa. Santai aja, mama pasti ngerti. Lagian kamu kayak orang lain aja.”“Iya sih, tapi aku pulang sekarang ya? Udah mau malam,” ujar Bian sambil melihat arloji di pergelangan kirinya. Sudah pukul enam sore lewat sepuluh menit. Sebentar lagi gelap akan meraja.“Ya udah deh.” Gladys akhirnya menyerah. “Tapi besok kita bisa ketemu lagi kan?” sambungnya.“Mungkin, tapi aku nggak janji ya, Dys. Besok jadwalku agak padat,” jawab Bian mencari alasan.“Kalau lusa?” tanya Gladys penuh harap.“Lihat dulu ya. Pok
Detik demi detik berlalu. Tapi Bian masih bertarung dengan batinnya. Akan membiarkan atau menjemput Tatiana. Bian mencoba untuk menepis kedua pilihan itu dari benaknya dan memikirkan hal-hal lain. Tapi hanya bisa sesaat karena setelah itu pikirannya tidak jauh-jauh dari Tatiana.Bangkit dari tempat tidur, Bian mencari ponselnya. Dia tidak menemukannya di dalam saku celana yang dipakainya. Pun di atas meja. Atau jangan-jangan ikut kebanting saat melempar sepatu tadi?Kalau saja tidak berbunyi mungkin Bian tidak akan tahu dimana ponselnya berada sekarang. Menajamkan pendengaran, Bian berusaha mencari tahu di mana gawainya itu berada. Ternyata bersumber dari kamar mandi. Bian lupa kenapa benda itu bisa berada di sana. Bahkan, dia tidak ingat apa tadi pernah masuk ke kamar mandi dan menyalakan handphone. Semua itu karena pikirannya yang terlalu kusut.Andai bukan Kania yang menelepon, mungkin Bian akan mereject.“Pak, maaf mengganggu malam-malam, besok jangan lupa ada meeting jam sembila
“Maaf, Pak Bian, Ibu Tia nggak mau pulang kalau bukan Bapak yang menjemput.” Mario segera melapor pada Bian setelah sampai di rumah.“Jangan becanda kamu, Yo!” Bian langsung membuang rokok yang terselip di bibirnya, padahal masih tinggal setengah.“Saya nggak becanda, Pak… mana pernah saya becanda sama Bapak,” jawab Mario sambil memerhatikan ekspresi Bian. “Terus apa alasan dia? Kenapa nggak mau pulang?”“Nggak ada alasan apa-apa sih, Pak. Bu Tia cuma bilang nggak akan pulang kalau bukan Bapak yang menjemput,” jelas Mario sekali lagi.“Makin lama makin ngelunjak! Maunya apa sih?” Bian mengumpat pada Mario, tapi dia tujukan untuk Tatiana.“Saya juga nggak tau, Pak.”“Kamu juga, Yo, masa itu aja nggak beres? Percuma kamu saya gaji tinggi-tinggi.”Mario menundukkan kepala. Tidak sanggup menatap Bian yang memarahinya. Hingga akhirnya dia mendengar suara pintu yang dibanting. Ternyata Bian sudah berlalu dari hadapannya.‘Aku nggak bisa diginiin. Istri macam apa sih dia? Baru kali ini ada
Meski Tatiana merasa kondisinya setelah malam eksekusi itu masih belum membaik, tapi hari ini dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Mungkin terlalu berlebihan, tapi jujur saja sampai saat ini Tatiana masih merasa sakit di bagian selangkangannya. Sebegitu hebat Bian menyakitinya. Bukan hanya hati, tapi fisiknya juga.“Kamu yakin udah benar-benar sehat?” tanya Rei saat bertemu Tatiana pagi itu di kantor. Tatiana terlihat sedikit lesu, hanya saja berusaha dia samarkan.“Udah, Rei, lagian aku nggak sakit kok, cuma nggak enak badan biasa.”“Terus tadi ke sini kamu pake apa?” “Pake taksi.”“Tau kayak gitu mending aku jemput kamu.”Tatiana tersenyum tipis. Dia membayangkan jarak rumahnya dan rumah Rei yang berlawanan arah. “Oh iya, kemarin Bian telfon, dia nanyain kamu,” ucap Rei memberitahu. Hingga sekarang masih terngiang di telinganya betapa keras suara Bian saat membentaknya.“Terus, dia bilang apa?”“Ya gitu deh, dia marah kayaknya.”Tatiana tersenyum kecut. Memangnya apa lagi y