Meski Tatiana merasa kondisinya setelah malam eksekusi itu masih belum membaik, tapi hari ini dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Mungkin terlalu berlebihan, tapi jujur saja sampai saat ini Tatiana masih merasa sakit di bagian selangkangannya. Sebegitu hebat Bian menyakitinya. Bukan hanya hati, tapi fisiknya juga.“Kamu yakin udah benar-benar sehat?” tanya Rei saat bertemu Tatiana pagi itu di kantor. Tatiana terlihat sedikit lesu, hanya saja berusaha dia samarkan.“Udah, Rei, lagian aku nggak sakit kok, cuma nggak enak badan biasa.”“Terus tadi ke sini kamu pake apa?” “Pake taksi.”“Tau kayak gitu mending aku jemput kamu.”Tatiana tersenyum tipis. Dia membayangkan jarak rumahnya dan rumah Rei yang berlawanan arah. “Oh iya, kemarin Bian telfon, dia nanyain kamu,” ucap Rei memberitahu. Hingga sekarang masih terngiang di telinganya betapa keras suara Bian saat membentaknya.“Terus, dia bilang apa?”“Ya gitu deh, dia marah kayaknya.”Tatiana tersenyum kecut. Memangnya apa lagi y
Bian akhirnya pulang ke rumah sendiri. Tadi Tora bersikeras ingin mengantarnya karena merasa Bian masih belum pulih. Masih ada sisa-sisa hangover di tubuhnya. Namun Bian meyakinkan kalau dia akan baik-baik saja. Toh dia bukan amatir. Masuk ke kamarnya, Bian tidak menemukan apa-apa selain benda mati. Hanya sunyi serta sepi. Padahal itu semestinya biasa saja. Tapi sekarang menjadi aneh. Rasa itu terasa menggerogoti hatinya. Andai saja ada Tia. Meskipun mereka tidak saling bicara, tapi setidaknya ada orang lain di kamar itu. Dia tidak akan merasa kesepian seperti ini.Bian menatap galau ponsel yang berada dalam genggamannya. Siapa yang harus diajaknya? Yang jelas bukan Tatiana. Istrinya itu sudah dia coret dari opsi pendamping yang akan dibawanya nanti. Jadi siapa? Tidak mungkin Bi Lina. Atau Kania saja? Sekretarisnya itu memang cantik dan modis, tapi feel Bian ke dia agak kurang. Lama berpikir akhirnya Bian menemukan jawabannya.***“Masuk dulu, Bi,” suara lembut Gladys membelai halu
“Kamu di sini juga?” Bian langsung bertanya saat sudah berhadapan langsung dengan Rei dan Tatiana. “Aku yang mengajak Tia ke sini.” Rei yang menjawab. Rei tidak ingin Tatiana mendapat penilaian buruk dari Bian. Seolah-olah Tatianalah yang mengajaknya pergi bersama.Bian memindahkan mata pada Tatiana. Perempuan itu langsung memalingkan muka. Meski demikian, Tatiana sempat melihat Gladys yang memegang erat tangan Bian. Kiano menjadi heran sendiri melihat pemandangan itu. Aneh, pikirnya. Ternyata setelah dia nasihati saat itu Bian masih belum berubah. Dan kelihatannya semakin menjadi-jadi. Bahkan terlihat terang-terangan menunjukkan hubungannya dengan Gladys yang menurut pengakuannya pada orang-orang hanya sahabat.Merasa tidak enak dan berada pada situasi yang salah, Kiano pun memutuskan pergi dari sana.“Bian, Rei, aku duluan.”“Kenapa buru-buru, Ki?” tanya Rei bermaksud mencegah Kiano pergi. Dia butuh Kiano untuk menyelamatkannya dari situasi sulit yang dialaminya sekarang.“Aku su
Bian kembali masuk ke ballroom untuk menemui Gladys. Sementara Tatiana berjalan mengikuti di belakangnya. Tatiana ingin membuktikan sendiri apa Bian sanggup meninggalkan Gladys seperti yang dia katakan tadi.Bian duduk di kursi di sebelah Gladys. Dia rasa perlu bicara baik-baik sebelum pergi. Gladys memandang tidak suka pada Tatiana yang berdiri seperti bodyguard seolah sedang mengawasinya. Dipandang seperti itu Tatiana membalas dengan melipat tangan di dada, kemudian memalingkan muka.Bian terbatuk-batuk kecil. Dia terpaksa berada lagi dalam situasi dilematis seperti ini. Seharusnya mudah saja bagi Bian. Dia tinggal mengajak Tatiana, lalu pulang. Nyatanya begitu sulit. Sejujurnya, satu sisi hatinya masih menyisakan rasa untuk Gladys. Sementara sisi hatinya yang lain masih abu-abu.“Kenapa, Bi?” tanya Gladys saat melihat muka Bian yang tegang.Bian menghela napas. Diliriknya Tatiana yang sedang berdiri sekilas, lalu kembali memindahkan mata p
“Mama!” Lala berseru riang saat melihat Tatiana kembali muncul.“Lho, nggak jadi pulang?” tanya Rei heran. Seingatnya tadi Tatiana sudah berpamitan padanya. Tatiana menggeleng pelan. “Nggak jadi,” jawabnya sambil tersenyum lebar, seolah tidak terjadi apa-apa.“Kenapa?” Rei bertanya lagi.“Aku pulangnya sama kamu aja deh, nggak apa-apa kan?”“Bian mana?” Rei melongok ke arah pintu mencari sosok dimaksud.“Dia udah pulang sama Gladys.”“Terus kamu ditinggalin gitu aja?”Tatiana mengangakat bahu. Dia tidak ingn membahasnya.“Eh, La, pudingnya enak nggak?” Tatiana buru-buru bertanya saat melihat puding di atas meja. Bahkan punyanya tadi juga belum sempat dia cicipi.“Enak banget, Ma, cobain deh.”Tatiana langsung mengambil puding lapis cookies di meja dan mencicipinya.“Hmm… iya, beneran enak ternyata,” komentarnya setelah itu.Rei terus memandangi Tatiana yang terlihat biasa dan kini sedang menanggapi celotehan Lala dengan riang. Dia tidak terlihat sedih sama sekali. Apa memang dia sek
“Ma, ini di mana?” tanya Lala yang terbangun saat mobil Rei berhenti di depan rumah Tatiana. Sepasang mata bulatnya berlarian ke sana kemari.“Ini di rumah Mama, La,” jawab Tatiana. “Rei, mampir dulu yuk,” ajaknya kemudian.“Udah malam, nggak enak,” jawab Rei menolak.“Ayolah, Pa, kita turun, aku pengen lihat rumah Mama.” Lala menarik tangan Rei.Rei mengangguk pelan dan memenuhi keinginan anaknya. Rumah itu terlihat sepi seperti tidak ada penghuni.“Kayaknya mama sama Sandra belum pulang dari resto,” kata Tatiana, lantas mengeluarkan kunci cadangan dari dalam tas dan membuka pintu. “Masuk dulu, yuk, di luar banyak nyamuk,” ujarnya lagi. Semula Rei ingin duduk di beranda. Walau bagaimanapun dia hanya ingin mengantisipasi omongan dan pikiran buruk orang-orang. Apalagi tidak ada orang dewasa lain kecuali mereka berdua. Pada akhirnya Rei pun memilih masuk setelah Lala menarik-narik tangannya.“Jadi di sini cuma tinggal mama sama adek kamu?” tanya Rei setelah mereka duduk di sofa rua
Tanpa terasa tiga minggu berlalu. Tapi tidak ada yang ingin mengalah. Bian membiarkan Tatiana di rumah orang tuanya. Dan Tatiana pun tidak ingin pulang. Tidak ada kabar dari Bian. Dia tidak pernah menelepon atau mengutus Mario datang menemuinya dan meminta Tatiana untuk pulang. Mereka memilih untuk memanjakan ego masing-masing. Mungkin untuk sementara memang lebih baik begini. Dari pada berdekatan tapi terus bersiteru dan saling menyakiti satu sama lain. Iya kan?Hari ini sepeti biasa juga, Tatiana menjalani rutinitasnya bekerja sebagai sekretaris Rei. Pekerjaan yang sangat menyenangkan. Tidak hanya karena gajinya yang besar, tapi bekerja dengan Rei baginya sudah seperti bekerja dengan sahabat atau bahkan sudah melebihi saudara sendiri. Dan siang ini Tatiana sedang berada di lantai dasar kantornya bersama Franda. Ada coffee shop yang baru saja dibuka di sana. Tidak hanya menjual kopi dan sejenisnya. Tapi juga minuman kekinian lain yang sedang hits dimana-mana.Berdiri di depan pintu
Saat membuka mata, Tatiana mendapati dirinya sedang berada di ruang asing yang sama sekali tidak familiar dengannya. Aroma menusuk khas rumah sakitlah yang memanggil kesadaran Tatiana agar segera datang. Di ruangan yang sama dengannya, ada dua orang yang begitu dia kenali. Rei dan Franda. Sama seperti orang-orang pada umumnya, rona khawatir begitu kental menghiasi wajah mereka. Tatiana mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi dengan mengumpulkan serpihan ingatannya. Hal yang pertama berhasil diingatnya adalah saat dia sedang antri di coffee shop. Keluar dari sana dia jatuh saat sedang mengejar lift karena ditabrak seseorang. Tatiana kesulitan untuk berdiri hingga akhirnya seorang petugas cleaning service membantunya. Dan kemudian saat sedang menunggu di depan lift, tiba-tiba saja kepalanya menjadi pusing hingga gelap di sekelilingnya. Lantas Tatiana tidak tahu apa-apa lagi setelah itu.“Tia!” Franda yang sedang duduk di sofa rumah sakit langsung berseru begitu mendengar deheman