“Nggak bisa lebih kencang lagi?” sergah Bian pada Mario. Dari tadi dia merasa mobil yang ditumpanginya bergerak seperti kura-kura dan beringsut seperti siput. “Di depan macet, Pak Bian,” kata Mario memberitahu.“Makanya dari tadi aku bilang jangan terlalu pelan. Tau sendiri kan akibatnya?”Mario diam saja. Kalau Bian sudah mengoceh seperti ini biasanya pasti ada masalah yang mengganggu pikirannya.Di jok belakang, Bian memijit pelipisnya. Kepalanya mulai terasa berat. Bukan karena kurang tidur atau sakit kepala betulan. Tapi karena memikirkan perdebatannya dengan Tatiana tadi. Bian ingin menepis Tatiana jauh-jauh dari pikirannya. Tapi yang ada, justru semakin memenuhi kepalanya.Berkali-kali Bian membuang napas. Berharap kegelisahannya juga ikut terbuang, nyatanya dia malah semakin resah.Bian menyandarkan kepalanya, lalu memejamkan mata. Semua runtutan peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Tatiana kini membayang jelas di depan matan
Tatiana diam saja sejak dari rumah tadi hingga sekarang. Tinggal beberapa ratus meter lagi mereka akan sampai di rumah Alya. Namun sejauh ini tidak ada yang terucap dari mulutnya.Rei yang sedang menyetir sesekali melirik ke sebelahnya. Melihat Tatiana yang sepertinya tidak tertarik untuk bicara, lelaki itu pun memilih untuk tidak berkata. Namun, lama-lama dia tidak bisa untuk tetap diam.“Tia…,” panggil Rei pelan.Tatiana menoleh perlahan. "Ya?"“Boleh aku tanya sesuatu?”“Boleh. Kamu mau tanya apa?”“Kamu dan Bian nggak sedang bertengkar kan?”Tatiana tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak. Harus jujur atau menyembunyikannya dari Rei. Selama ini dia bisa menceritakan banyak hal pada Rei. Tapi ini masalahnya terlalu pribadi. Mungkin tidak apa-apa kalau Rei adalah seorang perempuan, sama seperti dirinya, maka dia bisa dengan leluasa bercerita. Tapi untuk hal semacam ini rasanya tidak pantas kalau Rei mengetahuinya.“Tia, kalau kamu keberatan nggak apa-apa kok.” Suara Rei terden
“Bi, pulangnya nanti aja ya…,” bujuk Gladys saat Bian mengatakan keinginannya untuk segera pulang. Dari tadi dia terus menahan Bian agar tidak pergi dan berada lebih lama bersamanya.“Nggak enak sama mama kamu, aku udah kelamaan di sini,” jawab Bian sambil melirik ke arah dalam. Sudah sejak tadi dia berada di rumah Gladys. Tidak berbuat yang aneh-aneh. Hanya mengobrol ringan dan bicara sana-sini. Lumayan mendistraksi pikiran Bian meski tidak sepenuhnya bisa melupakan Tatiana.“Nggak apa-apa. Santai aja, mama pasti ngerti. Lagian kamu kayak orang lain aja.”“Iya sih, tapi aku pulang sekarang ya? Udah mau malam,” ujar Bian sambil melihat arloji di pergelangan kirinya. Sudah pukul enam sore lewat sepuluh menit. Sebentar lagi gelap akan meraja.“Ya udah deh.” Gladys akhirnya menyerah. “Tapi besok kita bisa ketemu lagi kan?” sambungnya.“Mungkin, tapi aku nggak janji ya, Dys. Besok jadwalku agak padat,” jawab Bian mencari alasan.“Kalau lusa?” tanya Gladys penuh harap.“Lihat dulu ya. Pok
Detik demi detik berlalu. Tapi Bian masih bertarung dengan batinnya. Akan membiarkan atau menjemput Tatiana. Bian mencoba untuk menepis kedua pilihan itu dari benaknya dan memikirkan hal-hal lain. Tapi hanya bisa sesaat karena setelah itu pikirannya tidak jauh-jauh dari Tatiana.Bangkit dari tempat tidur, Bian mencari ponselnya. Dia tidak menemukannya di dalam saku celana yang dipakainya. Pun di atas meja. Atau jangan-jangan ikut kebanting saat melempar sepatu tadi?Kalau saja tidak berbunyi mungkin Bian tidak akan tahu dimana ponselnya berada sekarang. Menajamkan pendengaran, Bian berusaha mencari tahu di mana gawainya itu berada. Ternyata bersumber dari kamar mandi. Bian lupa kenapa benda itu bisa berada di sana. Bahkan, dia tidak ingat apa tadi pernah masuk ke kamar mandi dan menyalakan handphone. Semua itu karena pikirannya yang terlalu kusut.Andai bukan Kania yang menelepon, mungkin Bian akan mereject.“Pak, maaf mengganggu malam-malam, besok jangan lupa ada meeting jam sembila
“Maaf, Pak Bian, Ibu Tia nggak mau pulang kalau bukan Bapak yang menjemput.” Mario segera melapor pada Bian setelah sampai di rumah.“Jangan becanda kamu, Yo!” Bian langsung membuang rokok yang terselip di bibirnya, padahal masih tinggal setengah.“Saya nggak becanda, Pak… mana pernah saya becanda sama Bapak,” jawab Mario sambil memerhatikan ekspresi Bian. “Terus apa alasan dia? Kenapa nggak mau pulang?”“Nggak ada alasan apa-apa sih, Pak. Bu Tia cuma bilang nggak akan pulang kalau bukan Bapak yang menjemput,” jelas Mario sekali lagi.“Makin lama makin ngelunjak! Maunya apa sih?” Bian mengumpat pada Mario, tapi dia tujukan untuk Tatiana.“Saya juga nggak tau, Pak.”“Kamu juga, Yo, masa itu aja nggak beres? Percuma kamu saya gaji tinggi-tinggi.”Mario menundukkan kepala. Tidak sanggup menatap Bian yang memarahinya. Hingga akhirnya dia mendengar suara pintu yang dibanting. Ternyata Bian sudah berlalu dari hadapannya.‘Aku nggak bisa diginiin. Istri macam apa sih dia? Baru kali ini ada
Meski Tatiana merasa kondisinya setelah malam eksekusi itu masih belum membaik, tapi hari ini dia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Mungkin terlalu berlebihan, tapi jujur saja sampai saat ini Tatiana masih merasa sakit di bagian selangkangannya. Sebegitu hebat Bian menyakitinya. Bukan hanya hati, tapi fisiknya juga.“Kamu yakin udah benar-benar sehat?” tanya Rei saat bertemu Tatiana pagi itu di kantor. Tatiana terlihat sedikit lesu, hanya saja berusaha dia samarkan.“Udah, Rei, lagian aku nggak sakit kok, cuma nggak enak badan biasa.”“Terus tadi ke sini kamu pake apa?” “Pake taksi.”“Tau kayak gitu mending aku jemput kamu.”Tatiana tersenyum tipis. Dia membayangkan jarak rumahnya dan rumah Rei yang berlawanan arah. “Oh iya, kemarin Bian telfon, dia nanyain kamu,” ucap Rei memberitahu. Hingga sekarang masih terngiang di telinganya betapa keras suara Bian saat membentaknya.“Terus, dia bilang apa?”“Ya gitu deh, dia marah kayaknya.”Tatiana tersenyum kecut. Memangnya apa lagi y
Bian akhirnya pulang ke rumah sendiri. Tadi Tora bersikeras ingin mengantarnya karena merasa Bian masih belum pulih. Masih ada sisa-sisa hangover di tubuhnya. Namun Bian meyakinkan kalau dia akan baik-baik saja. Toh dia bukan amatir. Masuk ke kamarnya, Bian tidak menemukan apa-apa selain benda mati. Hanya sunyi serta sepi. Padahal itu semestinya biasa saja. Tapi sekarang menjadi aneh. Rasa itu terasa menggerogoti hatinya. Andai saja ada Tia. Meskipun mereka tidak saling bicara, tapi setidaknya ada orang lain di kamar itu. Dia tidak akan merasa kesepian seperti ini.Bian menatap galau ponsel yang berada dalam genggamannya. Siapa yang harus diajaknya? Yang jelas bukan Tatiana. Istrinya itu sudah dia coret dari opsi pendamping yang akan dibawanya nanti. Jadi siapa? Tidak mungkin Bi Lina. Atau Kania saja? Sekretarisnya itu memang cantik dan modis, tapi feel Bian ke dia agak kurang. Lama berpikir akhirnya Bian menemukan jawabannya.***“Masuk dulu, Bi,” suara lembut Gladys membelai halu
“Kamu di sini juga?” Bian langsung bertanya saat sudah berhadapan langsung dengan Rei dan Tatiana. “Aku yang mengajak Tia ke sini.” Rei yang menjawab. Rei tidak ingin Tatiana mendapat penilaian buruk dari Bian. Seolah-olah Tatianalah yang mengajaknya pergi bersama.Bian memindahkan mata pada Tatiana. Perempuan itu langsung memalingkan muka. Meski demikian, Tatiana sempat melihat Gladys yang memegang erat tangan Bian. Kiano menjadi heran sendiri melihat pemandangan itu. Aneh, pikirnya. Ternyata setelah dia nasihati saat itu Bian masih belum berubah. Dan kelihatannya semakin menjadi-jadi. Bahkan terlihat terang-terangan menunjukkan hubungannya dengan Gladys yang menurut pengakuannya pada orang-orang hanya sahabat.Merasa tidak enak dan berada pada situasi yang salah, Kiano pun memutuskan pergi dari sana.“Bian, Rei, aku duluan.”“Kenapa buru-buru, Ki?” tanya Rei bermaksud mencegah Kiano pergi. Dia butuh Kiano untuk menyelamatkannya dari situasi sulit yang dialaminya sekarang.“Aku su