Tatiana melempar senyum dari jauh saat melihat Rei. Lelaki itu membalas senyumnya lalu menunggu di depan lift.“Ceria banget kayaknya,” komentar Rei setelah Tatiana berada di dekatnya.“Ceria gimana?”Rei menekan tombol lift, lalu masuk diikuti Tatiana. “Muka kamu yang ceria. Ada apa? Bian baru menang tender?”Tatiana memegang pipinya. Seolah dengan begitu dia bisa membuktikan kata-kata Rei. Perempuan itu lalu tertawa. “Aku nggak tau. Lagian nggak ada hubungannya dia baru menang tender atau nggak."Rei tertawa. Dia memang merasa aura Tatiana yang berbeda pagi ini. “Lalu kenapa?” tanyanya belum puas.“Mmm… kenapa ya…” Tatiana pun tidak tahu. Dia merasa biasa-biasa saja padahal.“Atau karena kamu jadi pisah sama Bian?” tebak Rei menerka-nerka sambil memiringkan kepala.Tatiana mengangkat bahu. “Nggak jadi.”“Oh ya? Kenapa?” Rei mencoba bersikap biasa, tapi rupanya gesturnya terlihat antusias dengan sahutannya yang terlalu cepat.Tatiana berdehem guna menjernihkan suaranya yang mengeru
“Om, sebaiknya kita bicara di sana aja.” Bian menunjuk ke arah lain. Ada tempat duduk di sana. Wiryawan menyetujuinya. Bian lalu menggandeng tangan Tatiana agar juga mengikutinya. Sementara Rei terpaku sendiri di tempatnya berdiri. Tatiana menoleh ke belakang , menatap Rei. Lelaki itu membalas dengan anggukan kepala. Memberi tanda agar Tatiana ikut saja dengan Bian.“Om, nggak apa-apa kan kalau Tia ikut mendengar pembicaraan kita?” Bian bertanya setelah mereka sama-sama duduk.“Nggak apa-apa, apa salahnya?” jawab Wiryawan sambil tersenyum samar. Bian memandang Tatiana yang duduk di sebelahnya sebelum mulai bicara. Bian memang sengaja mengajak istrinya itu agar bisa mendengar secara langsung penjelasannya pada orang tua Gladys juga agar Tatiana percaya kalau Gladys memang sakit beneran dan bukan hanya karangannya semata.“Om, kemarin saya sudah bicara dengan dokter. Dan dokter bilang Gladys kena kanker lambung stadium akhir. Waktunya udah nggak lama lagi, Om,” ucap Bian dengan lidah
Bian membuka jasnya lantas melempar ke sembarangan ke arah sofa. Begitu juga dengan dasi yang tadi menggantung erat di lehernya kini juga mendapat perlakuan yang sama. Diedarkannya mata ke setiap sudut kamar, tapi dia tidak menemukan Tatiana.Kekesalannya sejak tadi siang semakin terakumulasi karena dia tidak menemukan sosok sang istri. Tidak hanya di kamar, tapi juga di rumah.“Ibu Tia belum pulang, Pak,” kata Lina saat Bian bertanya padanya.“Maaf, Pak, tapi Ibu Tia yang menyuruh saya pulang duluan.” Itu jawaban lain yang didengarnya saat Bian bertanya pada Reza.“Sudah saya bilang berkali-kali, kamu harus ikut ke mana pun dia pergi,” tegas Bian jengkel. Apa kata-kata dan instruksinya masih kurang jelas? Padahal bukan hanya sekali dua kali Bian mengatakannya, melainkan sudah berulang-ulang.Reza berdiri dengan tubuh kaku. Dia menjadi salah tingkah sendiri. Entah siapa yang harus didengarkannya. Tatiana menyuruhnya untuk pulang, sedangkan lain lagi perintah yang didapatnya dari Bian.
Lelah mengoceh dan tidak dapat tanggapan, Bian pun diam. Sesaat kemudian dia sadar. Mungkin dia harus mengubah cara untuk menghadapi Tatiana. Tapi bagaimana caranya agar Tatiana bisa bersikap sedikit hangat padanya?Setibanya di rumah. Mereka langsung masuk ke kamar. Dan masih seperti hari-hari sebelumnya, Tatiana langsung mandi dengan membawa baju ganti ke kamar mandi. Bian pastikan pasti setelah ini Tatiana akan tidur, sama seperti biasa. Bian bosan. Apa tidak ada lagi kegiatan lain selain mandi dan tidur? Bahkan rasanya bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka makan malam bersama di rumah ini.Bian masih duduk termangu saat beberapa menit kemudian Tatiana keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Jujur saja Bian menyukai melihat Tatiana seperti ini. Tetesan air dari rambutnya menitik jatuh ke leher. Ingin rasanya Bian membantu mengeringkannya. Tapi yang bisa dilakukannya hanya memandangi dari jauh. Padahal sebenarnya dia berhak untuk melakukan apa pun pada Tatiana.Benar d
Jelas saja Bian terkejut saat Tatiana tiba-tiba mendorongnya hingga dia hampir saja terjengkang ke belakang. Apa yang salah? Apa karena dia mencium Tatiana tanpa meminta izin? Tapi bukankah tidak perlu izin karena Tatiana adalah istrinya?“Maaf, Bi, aku nggak bisa,” ujar Tatiana sambil mengulurkan telapak tangannya sebagai tanda penolakan. “Kenapa, Tia? Kenapa nggak bisa?” tanya Bian dengan nada kecewa. Sama dengan mukanya yang juga terlihat terluka mendapat penolakan dari Tatiana. Hanya mencium padahal. Jika mencium saja ditolak apa kabar yang lebih dari itu?“Kenapa nggak bisa?” ulang Bian karena Tatiana tidak kunjung menjawab.Tatiana tidak ingin menyinggung perasaan Bian dan berusaha mencari-cari alasan. Namun yang keluar dari mulutnya adalah fakta yang sesungguhnya.“Maaf, Bi, tapi aku jijik. Aku nggak sanggup ngebayangin bibir yang kamu gunain buat nyium aku udah kamu gunain buat nyium orang lain.”Mengusap bibirnya, Tatiana meloncat turun dari tempat tidur, lantas setengah b
Hampir setengah jam Tatiana berada di Le Quartier, resto Prancis tempatnya dan Bian akan dinner. Namun, hingga detik ini Bian masih belum menampakkan diri. Tatiana sudah coba menghubungi, tapi Bian tidak menjawab panggilan darinya. Mungkin dia sedang di jalan dan tidak mendengar suara handphone, pikir Tatiana. Perempuan itu memutuskan untuk menunggu dengan lebih sabar lagi. Telinganya yang tidak biasa mencoba untuk lebih ramah mendengarkan lantunan musik jazz yang mengalun di restoran itu.Tatiana mengedarkan matanya ke setiap sudut penjuru restoran. Tidak sesenti pun dari bagian restoran mewah itu dia lewatkan.Le Quartier malam itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung, namun semua berpasangan. Entah itu suami istri, pasangan kekasih, atau mungkin pasangan peselingkuh. Merujuk pada kata terakhir, Tatiana kembali ingat Gladys. Apa perempuan itu penyebab Bian masih belum datang? Jangan-jangan acara mereka akan batal gara-gara Bian lebih memilih menemani Gladys. Kemungki
Bian memapah Tatiana turun dari mobil. Istrinya itu sepertinya sudah tidak sanggup lagi menopang berat tubuhnya sendiri sehingga menyandarkan sepenuhnya pada Bian. Tidak ingin susah, Bian akhirnya menggendong Tatiana masuk ke kamar. Lalu dengan seperlahan mungkin meletakkan Tatiana di atas ranjang.Dengan tatapannya yang nanar, Tatiana masih bisa melihat Bian duduk di dekatnya sambil membuka jas, melepaskan dasi, lalu menyingsingkan lengan kemejanya.“Bi…,” ucap Tatiana serak. Tangannya mengusap paha Bian.Bian tersenyum simpul seraya menelan saliva. Sentuhan Tatiana di pahanya langsung connect ke inti bawah tubuhnya.“Iya…”“Tidurlah di sini…” Suara Tatiana terdengar manja. Tangannya mengusap permukaan kasur yang kosong.“Memangnya boleh aku tidur di situ? Kamu nggak jijik sama aku?”“Jijik?” Tatiana mengernyit heran. “Kenapa harus jijik?”Bian tersenyum lagi. “Nggak apa-apa, aku cuma nanya.”Detik berikutnya Bian sudah merebahkan diri di sebelah Tatiana. Berbaring miring, keduanya
Sinar matahari menembus tirai tipis jendela kamar Bian. Tidak terlalu panas, namun cukup hangat dan terang yang membuat Tatiana merasa terusik. Tanpa membuka mata, Tatiana bergerak perlahan. Namun, terasa ada yang menghalanginya untuk membalikkan badan. Mungkin itu bantal gulingnya. Tatiana mendekap erat gulingnya itu. Guling empuk dan nyaman yang setiap hari menemani malam-malamnya yang dingin.Tapi tunggu dulu! Kenapa terasa begitu lembut? Sepertinya ini bukan gulingnya yang biasa. Apa kemarin dia menggantinya? Atau mungkin Lina membeli yang baru?Tatiana berdeham menjernihkan tenggorokannya. Bersamaan dengan itu dia membuka matanya perlahan. Menyambut cahaya matahari yang sejak tadi berusaha membangunkannya dari tidur. Tatiana mengerjap berkali-kali, mengumpulkan nyawa sambil membangun kesadaran. Tatiana kini mengenali tempatnya berada. Ini kamar Bian. Ini kamarnya. Ini kamar mereka berdua. Tapi mana Bian?Sesaat kemudian Tatiana menyadari kalau dia tidak sedang memeluk guling,