Lelah mengoceh dan tidak dapat tanggapan, Bian pun diam. Sesaat kemudian dia sadar. Mungkin dia harus mengubah cara untuk menghadapi Tatiana. Tapi bagaimana caranya agar Tatiana bisa bersikap sedikit hangat padanya?Setibanya di rumah. Mereka langsung masuk ke kamar. Dan masih seperti hari-hari sebelumnya, Tatiana langsung mandi dengan membawa baju ganti ke kamar mandi. Bian pastikan pasti setelah ini Tatiana akan tidur, sama seperti biasa. Bian bosan. Apa tidak ada lagi kegiatan lain selain mandi dan tidur? Bahkan rasanya bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka makan malam bersama di rumah ini.Bian masih duduk termangu saat beberapa menit kemudian Tatiana keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Jujur saja Bian menyukai melihat Tatiana seperti ini. Tetesan air dari rambutnya menitik jatuh ke leher. Ingin rasanya Bian membantu mengeringkannya. Tapi yang bisa dilakukannya hanya memandangi dari jauh. Padahal sebenarnya dia berhak untuk melakukan apa pun pada Tatiana.Benar d
Jelas saja Bian terkejut saat Tatiana tiba-tiba mendorongnya hingga dia hampir saja terjengkang ke belakang. Apa yang salah? Apa karena dia mencium Tatiana tanpa meminta izin? Tapi bukankah tidak perlu izin karena Tatiana adalah istrinya?“Maaf, Bi, aku nggak bisa,” ujar Tatiana sambil mengulurkan telapak tangannya sebagai tanda penolakan. “Kenapa, Tia? Kenapa nggak bisa?” tanya Bian dengan nada kecewa. Sama dengan mukanya yang juga terlihat terluka mendapat penolakan dari Tatiana. Hanya mencium padahal. Jika mencium saja ditolak apa kabar yang lebih dari itu?“Kenapa nggak bisa?” ulang Bian karena Tatiana tidak kunjung menjawab.Tatiana tidak ingin menyinggung perasaan Bian dan berusaha mencari-cari alasan. Namun yang keluar dari mulutnya adalah fakta yang sesungguhnya.“Maaf, Bi, tapi aku jijik. Aku nggak sanggup ngebayangin bibir yang kamu gunain buat nyium aku udah kamu gunain buat nyium orang lain.”Mengusap bibirnya, Tatiana meloncat turun dari tempat tidur, lantas setengah b
Hampir setengah jam Tatiana berada di Le Quartier, resto Prancis tempatnya dan Bian akan dinner. Namun, hingga detik ini Bian masih belum menampakkan diri. Tatiana sudah coba menghubungi, tapi Bian tidak menjawab panggilan darinya. Mungkin dia sedang di jalan dan tidak mendengar suara handphone, pikir Tatiana. Perempuan itu memutuskan untuk menunggu dengan lebih sabar lagi. Telinganya yang tidak biasa mencoba untuk lebih ramah mendengarkan lantunan musik jazz yang mengalun di restoran itu.Tatiana mengedarkan matanya ke setiap sudut penjuru restoran. Tidak sesenti pun dari bagian restoran mewah itu dia lewatkan.Le Quartier malam itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung, namun semua berpasangan. Entah itu suami istri, pasangan kekasih, atau mungkin pasangan peselingkuh. Merujuk pada kata terakhir, Tatiana kembali ingat Gladys. Apa perempuan itu penyebab Bian masih belum datang? Jangan-jangan acara mereka akan batal gara-gara Bian lebih memilih menemani Gladys. Kemungki
Bian memapah Tatiana turun dari mobil. Istrinya itu sepertinya sudah tidak sanggup lagi menopang berat tubuhnya sendiri sehingga menyandarkan sepenuhnya pada Bian. Tidak ingin susah, Bian akhirnya menggendong Tatiana masuk ke kamar. Lalu dengan seperlahan mungkin meletakkan Tatiana di atas ranjang.Dengan tatapannya yang nanar, Tatiana masih bisa melihat Bian duduk di dekatnya sambil membuka jas, melepaskan dasi, lalu menyingsingkan lengan kemejanya.“Bi…,” ucap Tatiana serak. Tangannya mengusap paha Bian.Bian tersenyum simpul seraya menelan saliva. Sentuhan Tatiana di pahanya langsung connect ke inti bawah tubuhnya.“Iya…”“Tidurlah di sini…” Suara Tatiana terdengar manja. Tangannya mengusap permukaan kasur yang kosong.“Memangnya boleh aku tidur di situ? Kamu nggak jijik sama aku?”“Jijik?” Tatiana mengernyit heran. “Kenapa harus jijik?”Bian tersenyum lagi. “Nggak apa-apa, aku cuma nanya.”Detik berikutnya Bian sudah merebahkan diri di sebelah Tatiana. Berbaring miring, keduanya
Sinar matahari menembus tirai tipis jendela kamar Bian. Tidak terlalu panas, namun cukup hangat dan terang yang membuat Tatiana merasa terusik. Tanpa membuka mata, Tatiana bergerak perlahan. Namun, terasa ada yang menghalanginya untuk membalikkan badan. Mungkin itu bantal gulingnya. Tatiana mendekap erat gulingnya itu. Guling empuk dan nyaman yang setiap hari menemani malam-malamnya yang dingin.Tapi tunggu dulu! Kenapa terasa begitu lembut? Sepertinya ini bukan gulingnya yang biasa. Apa kemarin dia menggantinya? Atau mungkin Lina membeli yang baru?Tatiana berdeham menjernihkan tenggorokannya. Bersamaan dengan itu dia membuka matanya perlahan. Menyambut cahaya matahari yang sejak tadi berusaha membangunkannya dari tidur. Tatiana mengerjap berkali-kali, mengumpulkan nyawa sambil membangun kesadaran. Tatiana kini mengenali tempatnya berada. Ini kamar Bian. Ini kamarnya. Ini kamar mereka berdua. Tapi mana Bian?Sesaat kemudian Tatiana menyadari kalau dia tidak sedang memeluk guling,
Tatiana termangu sendiri. Pikirannya berusaha mencerna apa yang terjadi. Tatiana tidak mengerti apa maksud Bian sebenarnya? Bian sakit hati kenapa? Tatiana tidak habis pikir. Mereka baru saja selesai bercinta, tapi tiba-tiba saja Bian berubah sikap padanya. Apa yang salah sebenarnya?Tatiana turun dari tempat tidur. Dia bermaksud menuju lemari untuk mengambil baju. Tapi baru saja akan bergerak, Tatiana kembali meringis. Inti tubuhnya terasa sakit yang membuatnya kesusahan untuk berjalan. ‘Ya Tuhan… ternyata rasanya sesakit ini.’Tatiana memang sering mendengar derita yang dialami wanita setelah malam pertama. Dan sekarang akhirnya dia merasakan sendiri seperti apa rasanya.Tatiana melangkah dengan amat perlahan. Kakinya terlihat bengkok karena berjalan sedikit mengangkang. Entah bagaimana caranya Tatiana menyembunyikan cara berjalannya yang aneh pada orang-orang.Mengambil baju di lemari, Tatiana segera memakainya. Dan lagi-lagi dia harus meringis saat harus menggerakkan kaki. Sete
“Nggak bisa lebih kencang lagi?” sergah Bian pada Mario. Dari tadi dia merasa mobil yang ditumpanginya bergerak seperti kura-kura dan beringsut seperti siput. “Di depan macet, Pak Bian,” kata Mario memberitahu.“Makanya dari tadi aku bilang jangan terlalu pelan. Tau sendiri kan akibatnya?”Mario diam saja. Kalau Bian sudah mengoceh seperti ini biasanya pasti ada masalah yang mengganggu pikirannya.Di jok belakang, Bian memijit pelipisnya. Kepalanya mulai terasa berat. Bukan karena kurang tidur atau sakit kepala betulan. Tapi karena memikirkan perdebatannya dengan Tatiana tadi. Bian ingin menepis Tatiana jauh-jauh dari pikirannya. Tapi yang ada, justru semakin memenuhi kepalanya.Berkali-kali Bian membuang napas. Berharap kegelisahannya juga ikut terbuang, nyatanya dia malah semakin resah.Bian menyandarkan kepalanya, lalu memejamkan mata. Semua runtutan peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Tatiana kini membayang jelas di depan matan
Tatiana diam saja sejak dari rumah tadi hingga sekarang. Tinggal beberapa ratus meter lagi mereka akan sampai di rumah Alya. Namun sejauh ini tidak ada yang terucap dari mulutnya.Rei yang sedang menyetir sesekali melirik ke sebelahnya. Melihat Tatiana yang sepertinya tidak tertarik untuk bicara, lelaki itu pun memilih untuk tidak berkata. Namun, lama-lama dia tidak bisa untuk tetap diam.“Tia…,” panggil Rei pelan.Tatiana menoleh perlahan. "Ya?"“Boleh aku tanya sesuatu?”“Boleh. Kamu mau tanya apa?”“Kamu dan Bian nggak sedang bertengkar kan?”Tatiana tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak. Harus jujur atau menyembunyikannya dari Rei. Selama ini dia bisa menceritakan banyak hal pada Rei. Tapi ini masalahnya terlalu pribadi. Mungkin tidak apa-apa kalau Rei adalah seorang perempuan, sama seperti dirinya, maka dia bisa dengan leluasa bercerita. Tapi untuk hal semacam ini rasanya tidak pantas kalau Rei mengetahuinya.“Tia, kalau kamu keberatan nggak apa-apa kok.” Suara Rei terden