Tatiana menjauhkan handphone dari telinga lantas melihat ke layar. Ternyata panggilan sudah terputus secara sepihak. Bian mematikannya tiba-tiba. Aneh.Tatiana lalu menyimpan kembali ponselnya. Dia tidak ambil pusing kenapa Bian bersikap begitu padanya. Tatiana sudah terbiasa dengan tingkahnya yang absurd, aneh, atau apa pun namanya.“Bian yang telfon,” ujarnya sebelum Rei bertanya.“Kemajuan nih kayaknya,” sindir Rei lalu tertawa. Tatiana ikut tertawa seraya merenungi tindakan Bian barusan. Untuk apa Bian sok-sok perhatian gitu padanya? Biasanya mau Tatiana sampai jungkir balik sekali pun dia tidak akan peduli. Karena di matanya yang terlihat hanya Gladys, Gladys, dan Gladys.“Gimana keadaan Gladys?” celetuk Rei kemudian setelah menyimpan tawanya kembali.Tatiana mengedikkan bahu. “Aku nggak tau.”“Mungkin masih belum sehat kali ya?” Rei mengira-ngira sendiri.“Entahlah, Rei. Mau udah sehat atau belum hasilnya akan sama aja. Ya tetap saja si Bian nggak akan berubah. Iya kan?”“Jad
“Aunty Tia!” Lala menyongsong Tatiana yang baru saja turun dari mobil Rei.Tatiana tersenyum dan balas menyapa. “Lala sudah mandi?” tanyanya melihat rambut panjang anak itu yang setengah basah.“Sudah, Nty.” Lala menggandeng tangan Tatiana, mengajaknya masuk ke dalam rumah.“La... Aunty bawa ini lho buat kamu.” Tatiana memberikan kantong dalam jinjingan.“Apa itu, Nty?” “Coba deh kamu lihat sendiri.”Lala membuka kantong itu dan mengeluarkan isinya. “Aunty kok tau sih kalau aku suka ini?” Binar di mata Lala semakin nyata saat melihat vannila pana cotta di dalam jar yang dibawa Tatiana. “Pasti papa yang bilang kan?”“Nggak… Aunty tau sendiri kok. Gimana, kamu suka?”“Suka banget, Aunty…”“Ya udah, kalau gitu mending dimakan sekarang aja.”Lala mengangguk cepat, lalu menyuap dessert yang tadi dibeli Tatiana di toko kue.“Rei, kamu nggak mau sekalian?” Tatiana menawarkan.“Ntar aja deh, aku mau mandi dulu.” Rei menolak. Badannya sudah menuntut untuk dibersihkan terlebih dulu.‘’Tapi nan
Bian tidak bisa lagi untuk tetap tenang dan diam mendengarkan aksi roman picisan atau pun drama murahan yang dimainkan oleh orang-orang yang menamakan dirinya dengan sebutan mama, papa, serta Lala itu. Kesabaran tidak akan pernah cukup untuk membuatnya terus bertahan. Langkahnya pun terayun kasar. “Tatiana!” sergahnya dengan nada suara yang sungguh tidak bisa ditahannya lagi agar tetap terdengar wajar.Keluarga cemara wanna be itu sontak melihat ke sumber suara. Di sana, di sisi pintu, Bian berdiri dengan angkuh. Rahangnya mengeras, sedangkan tangannya terkepal erat.“Hei, Bi, duduk dulu!” sapa Tatiana tanpa peduli pada muka tegang sang suami.“Aku menjemputmu. Ayo pulang sekarang, Tatiana!” perintah Bian tegas. Lelaki itu tidak menghiraukan tatapan keberatan keponakannya, atau pun mata kurang senang adik kandungnya.“Kenapa pake dijemput segala sih? Aku belum bisa pulang sekarang. Lagian nanti Rei bakal ngantar aku kok.”Tanggapan santai Tatiana rupanya membuat Bian ingin menyeretny
Tatiana memerhatikan Bian yang mondar-mandir nggak jelas di kamar. Sudah belasan atau mungkin puluhan menit lamanya. Sepertinya begitu sulit bagi Bian untuk memilih. Lelaki itu kemudian membuka lemari pendingin yang berada di sebelah meja kerjanya. Tatiana segera menghampirinya sebelum tangan Bian sempat meraih sebotol red wine di antara botol-botol lainnya.“Jangan, Bi!” larang Tatiana cepat sembari menahan Bian dengan mencekal lengannya.Bian menoleh dengan sorot mata bertanya-tanya pada sang istri.“Nggak semua masalah harus diselesaikan dengan cara mabuk-mabukan. Tunda dulu minum-minumnya karena kamu butuh kesadaran penuh untuk berpikir jernih. Tolong, kali ini kamu dengarkan kata-kata aku, Bi.”Bian meletakkan kembali minuman beralkohol itu, lantas menutup kulkas. Terdengar helaan napasnya yang sangat berat.“Aku nggak akan memaksa kamu buat mempertahankan pernikahan kita,” ujar Tatiana setelah mereka duduk di sofa. Di seberangnya Bian duduk dengan tatapan galau dan terus meman
“Kalau aku sih terserah kamu. Memangnya kamu yakin mau ngebiarin dia sendiri?” tanya Tatiana. Hatinya meragu kalau Bian sanggup melakukannya.Bian mengangguk pelan. Mati-matian dia menepis wajah Gladys yang terus melintas di depan mata, seolah memanggilnya untuk segera datang. “Bi, apa dia nggak punya keluarga?” tanya Tatiana lagi. Rasanya dia juga tidak tega membiarkan Gladys sendirian di rumah sakit tanpa ada yang mendampingi. Apalagi sakitnya bukan penyakit biasa.“Ada sih…,” jawab Bian gantung.“Tapi?”“Gladys nggak ngebolehin aku buat kasih tau keluarganya.”“Kenapa?” tanya Tatiana heran. Sudah sewajarnya mereka tahu kondisi Gladys yang sesungguhnya. Apalagi dengan penyakit yang dideritanya saat ini.“Dia bilang nggak mau bikin mereka khawatir.”Logika Tatiana mulai bekerja setelah mendengar penuturan Bian. Kenapa Gladys tidak mau? Justru malah bagus kalau keluarganya tahu sejak awal. Jadi mereka akan lebih siap menghadapi kenyataan jika terjadi sesutu yang buruk pada anak merek
Pagi ini terlihat berbeda dari biasanya. Ruang makan yang pada hari-hari sebelumnya hanya ada Tatiana dan Lina, sekarang terasa lebih hidup dengan kehadiran Bian. Pagi ini mereka memang sarapan bersama. “Tumben banget Bu Tia dan Pak Bian sarapan bareng,” celetuk Lina melihat kedua majikannya duduk berdampingan.“Iya nih, Bi, kebetulan jadwalnya samaan.” Tatiana yang menjawab. Sedangkan Bian bersikap acuh tak acuh. Lelaki itu mengaduk-aduk kopinya yang masih mengepulkan uap panas. Kopi hitam yang dibuatkan Lina untuk Bian memang sengaja tidak diaduk. Memang kesukaan Bian seperti itu. Dia ingin mencampur gulanya sendiri.“Kalau sering-sering kayak gini kan bagus. Pak Bian dan Bu Tia baru kayak pasangan suami istri betulan,” celetuk Lina sambil tersenyum. “Memangnya selama ini nggak kayak betulan ya, Bi?” Tatiana menukasi. Ternyata gerak-geriknya dan Bian menjadi perhatian pekerja di rumah mereka.Lina tersenyum canggung. “Bukan gitu sih, Bu, cuma Pak Bian dan Bu Tia kan jarang-jarang
Tatiana melempar senyum dari jauh saat melihat Rei. Lelaki itu membalas senyumnya lalu menunggu di depan lift.“Ceria banget kayaknya,” komentar Rei setelah Tatiana berada di dekatnya.“Ceria gimana?”Rei menekan tombol lift, lalu masuk diikuti Tatiana. “Muka kamu yang ceria. Ada apa? Bian baru menang tender?”Tatiana memegang pipinya. Seolah dengan begitu dia bisa membuktikan kata-kata Rei. Perempuan itu lalu tertawa. “Aku nggak tau. Lagian nggak ada hubungannya dia baru menang tender atau nggak."Rei tertawa. Dia memang merasa aura Tatiana yang berbeda pagi ini. “Lalu kenapa?” tanyanya belum puas.“Mmm… kenapa ya…” Tatiana pun tidak tahu. Dia merasa biasa-biasa saja padahal.“Atau karena kamu jadi pisah sama Bian?” tebak Rei menerka-nerka sambil memiringkan kepala.Tatiana mengangkat bahu. “Nggak jadi.”“Oh ya? Kenapa?” Rei mencoba bersikap biasa, tapi rupanya gesturnya terlihat antusias dengan sahutannya yang terlalu cepat.Tatiana berdehem guna menjernihkan suaranya yang mengeru
“Om, sebaiknya kita bicara di sana aja.” Bian menunjuk ke arah lain. Ada tempat duduk di sana. Wiryawan menyetujuinya. Bian lalu menggandeng tangan Tatiana agar juga mengikutinya. Sementara Rei terpaku sendiri di tempatnya berdiri. Tatiana menoleh ke belakang , menatap Rei. Lelaki itu membalas dengan anggukan kepala. Memberi tanda agar Tatiana ikut saja dengan Bian.“Om, nggak apa-apa kan kalau Tia ikut mendengar pembicaraan kita?” Bian bertanya setelah mereka sama-sama duduk.“Nggak apa-apa, apa salahnya?” jawab Wiryawan sambil tersenyum samar. Bian memandang Tatiana yang duduk di sebelahnya sebelum mulai bicara. Bian memang sengaja mengajak istrinya itu agar bisa mendengar secara langsung penjelasannya pada orang tua Gladys juga agar Tatiana percaya kalau Gladys memang sakit beneran dan bukan hanya karangannya semata.“Om, kemarin saya sudah bicara dengan dokter. Dan dokter bilang Gladys kena kanker lambung stadium akhir. Waktunya udah nggak lama lagi, Om,” ucap Bian dengan lidah
Rei membuka pintu rumah dan menemukan Clara ada di rumah bersama anak perempuannya.“Rei, kamu akhirnya pulang juga.” Clara yang sedang membantu Lala mengerjakan PR sontak berdiri menyambut kedatangan Rei.“Astaga, Clara, ternyata kamu yang membawa Lala pulang, Aku sudah khawatir karena tidak menemukannya di sekolah,” ucap Rei memberitahu. Tadi dia sudah menjemput Lala ke sekolah tapi gurunya mengatakan kalau Lala sudah dijemput oleh tantenya. “Sorry, Rei, aku lupa memberitahumu, tapi aku hanya ingin membantumu,” jawab Clara sedikit merasa bersalah saat melihat raut khawatir lelaki itu.“Lain kali tolong beritahu aku dulu kalau ingin menjemput Lala atau ingin membawanya ke mana pun,” kesal Rei.“Iya, Rei, baik.”Rei mengembuskan napas lantas duduk di sofa. Dia ingin beristirahat sejenak. Diambilnya remot lantas menyalakan televisi dan memilih-milih saluran. Tapi ternyata tidak ada satu pun yang berhasil menarik minatnya. Pada akhirnya Rei mematikan kembali televisinya. Matanya lantas
“Jenis kelaminnya laki-laki. Kondisinya sehat dan normal.”Flo melebarkan bibirnya mendengar keterangan dari dokter. Matanya ikut memindai monitor USG yang menampilkan hasil gerakan serta kondisi janin di dalam rahimnya. Tanpa terasa ini adalah bulan kelima Flo mengandung buah cintanya bersama Rei. Dan selama itu dia benar-benar putus komunikasi dengan sang suami. Flo tidak ingin berharap lagi untuk kembali. Apalagi dari kabar yang dia dengar hubungan Rei dan Clara semakin menjadi.Flo keluar dari ruangan dokter setelah dibekali nasehat-nasehat mengenai kesehatan dia dan calon bayinya. Selanjutnya langkah Flo tertuju ke arah apotik. Dia harus menebus obat-obatan ataupun vitamin yang diresepkan untuknya. Kali ini Flo datang sendiri karena ibu dan adik tirinya tidak bisa menemani.Sambil menunggu namanya dipanggil, Flo duduk di kursi tunggu apotik sembari mengelus-elus perutnya. Di dalam sana sedang tumbuh buah cintanya dengan lelaki yang dia sayangi. Andai saja Rei tahu pasti dia akan
“Hal ini biasa saja terjadi pada wanita hamil. Namanya juga hamil muda, nanti mual dan muntahnya akan hilang setelah lewat bulan ketiga,” jelas dokter yang memeriksa Flo sore itu. “Tapi kandungan saya baik-baik saja kan, Dok?” tanya Flo khawatir. Seluruh badannya terasa lemas karena sejak tadi sudah muntah berkali-kali. Dan dia rasa hari ini adalah puncaknya. Rasanya Flo tidak kuat.Dokter mengangguk meyakinkan. “Kandungannya sehat dan ibu tidak perlu khawatir. Setelah ini saya beri resep obat yang harus ditebus di apotik. Nanti petugas di sana akan menerangkan aturan dan cara pakainya.”Anne yang menemani Flo sore itu ke dokter kandungan menerima resep dari dokter lalu menuntun Flo keluar dari ruangan dokter. Sedikit pun adik tirinya itu tidak melepaskan pegangan tangannya dari Flo. Dia khawatir kalau sekali saja melepaskan tangannya maka Flo akan jatuh saking lemasnya. Padahal dalam keadaan normal sebenarnya Flo adalah seorang wanita yang kuat.“Tunggu di sini dulu, Flo, biar aku u
Sudah hari kelima Flo menghilang. Rei sudah mencarinya ke mana saja, tapi nihil. Istrinya itu tidak ada di mana-mana. Rei sempat berpikir untuk melapor ke kantor polisi atas kasus orang hilang. Tapi setelah dipikir lagi, rasanya itu tidak perlu. Rei rasa Flo pasti berada di suatu tempat dan dia bersembunyi di sana. Mungkin pada saatnya nanti Flo akan menunjukkan diri.“Mommy Flo mana, Pa?” tanya Lala keheranan saat Rei yang menjemputnya ke sekolah setelah summer camp selesai.Rei terbatuk. Seharusnya dia sudah memperkirakan kemungkinan ini sebelumnya dan menyiapkan jawabannya. Putrinya itu pasti tidak akan tinggal diam. Nyatanya Rei malah gelagapan. Tidak tahu harus menjawab apa.“Mommy, mommy pergi, La,” jawabnya kemudian.“Pergi ke mana, Pa?” tanya Lala ingin tahu.“Mommy ke luar kota.”“Ke luar kota? Mommy kerja ya, Pa?” Kening Lala berkerut dalam.Rei terpaksa berbohong lagi. “Iya, Sayang. Mommy diutus kantornya dan harus melaksanakannya.”“Sayang sekali ya, Pa, padahal aku ingin
Pagi hari saat Rei terbangun dia tidak menemukan Flo di sebelahnya. Diedarkannya pandangan melalui matanya yang berat dan belum terbuka sempurna ke setiap penjuru ruangan, tapi tetap tidak ada Flo di sana. Begitu pun saat dia melongok ke kamar mandi, hasilnya sama saja.Lantas Rei teringat apa yang terjadi semalam. Saat itu dia terlibat pertengkaran kecil dengan Flo. Dan… dia teringat akan kalimat terakhirnya.Astaga! Jangan-jangan Flo benar-benar pergi.Rei membuka lemari dan tidak menemukan baju-baju Flo di sana. Begitu dia melihat tempat penyimpanan tas, koper Flo juga sudah lenyap. Jadi benar dugaannya. Flo sudah pergi. Rei membatu di tempatnya. Ternyata begitu cara Flo menghadapi masalah. Flo childish. Bisanya main kabur, kecam Rei kecewa. Maunya Rei, apapun masalah mereka, Flo tetap bertahan di rumah. Karena dirinya pun tidak kemana-mana saat mereka terlibat perselisihan seperti ini.Lama Rei termangu sendiri sambil memikirkan apa yang terjadi. Sebelah tangannya menggenggam han
Flo dan Kyle sama-sama terkejut saat melihat kedatangan Rei yang tiba-tiba dan tidak pernah disangka seperti ini. Naasnya lagi apa yang tengah terjadi sekarang bisa saja membuat Rei atau siapa pun menjadi salah paham. Itu bisa dipastikan. Terlebih saat melihat muka Rei yang menegang dan matanya yang memerah menahan emosi.“Rei…,” panggil Flo lirih setelah napasnya kembali normal.Rei menggelengkan kepalanya tidak percaya pada apa yang baru saja disaksikannya. Flo yang katanya cinta dan sangat menyayanginya bisa berbuat sehina ini? For god's sake, Rei tidak akan memaafkannya.“Lanjutkan saja.” Rei memutar tubuh meninggalkan Flo dan Kyle yang tidak siap menanggapi kejadian barusan.“Rei tunggu dulu, aku bisa jelaskan!” Flo berteriak dan berusaha untuk bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Sehingga dia tetap berada di tempatnya.“Rei, aku bisa menjelaskannya padamu, semua tidak seperti yang kamu lihat!” Kyle segera mengejar Rei yang melangkah cepat meninggalkan ruangan Flo.“Aku tidak bu
Seharian ini Rei dan Flo menghabiskan waktu di kamar. Mereka bercerita tentang apa saja dan berusaha mengenal satu sama lain. Ternyata selama ini mereka memang tidak saling mengenal sepenuhnya. Mereka mengambil keputusan kilat tuntuk menikah hanya atas dasar emosi sesaat. Keputusan bodoh, gila namun penuh hikmah.‘’Aku minta maaf atas sikapku yang dulu,” ujar Flo penuh rasa bersalah kala mengingat tingkahnya yang mengabaikan Rei sebagai suaminya.“Aku juga, Flo, aku minta maaf atas semua kesalahanku,” ucap Rei sambil membelai mesra rambut Flo. “aku sudah menciptakan jarak yang membuat kamu berpikir yang macam-macam.”Rei menyadari sekarang kalau kehadiran Clara sedikit banyak pasti menimbulkan dugaan negatif di antara mereka. Flo tidak berkata apa-apa dan memilih menyembunyikan mukanya di dada Rei. Flo bisa mendengar dengan jelas detak jantung Rei yang berpacu dengan degup jantungnya sendiri. Andai saja bisa Flo ingin begini selamanya. Berada dalam hubungan yang harmonis bersama Rei,
“Papa… Mommy… Bangun….!” Lala mengetuk pintu kamar Rei karena tidak ada tanda-tanda papanya itu akan keluar kamar. “Papa… Mommy… Bangun, ini sudah pagi!” Lala menaikkan suaranya disertai dengan ketukan keras di pintu kamar Rei.Di dalam kamar, Rei dan Flo sama-sama menggeliatkan badan. Suara Lala membuat keduanya merasa terusik.“Astaga, sudah pagi!” Rei terkejut saat melihat sinar matahari yang menerobos masuk melalui kaca jendela. Bagaimana bisa dia terlambat seperti ini? Seingat Rei, ini adalah pertama kalinya dia terlambat bangun pagi dalam enam bulan terakhir.“Papa… sudah pagi, Pa!!! Papa tidak kerja?” Suara Lala terdengar lagi memanggil Rei.“Iya, La! Papa sudah bangun!” Rei menyahut dari dalam kamar. Rei menepis selimutnya sambil menutup mulut yang terus menguap. Dan sama seperti sebelumnya tidak ada kain lain yang melapisinya selain selimut itu sendiri. Rei ingat, dirinya dan Flo tertidur setelah serangan fajar yang entah siapa yang memulai duluan.“Rei, apa kita terlambat?”
Jam tiga dini hari.Rei menggeliat ketika merasa ada yang menegang di bagian bawah tubuhnya. Saat membuka mata dia mendapati Flo berada dalam pelukannya. Wajahnya begitu tenang dalam tidurnya yang lelap. Dalam diam Rei mengagumi kecantikannya. Di mata Rei dia semakin terlihat seperti Tatiana dengan muka polos tanpa riasan seperti ini.‘Dia bukan Tia, dia Flo.’ Rei mengingatkan dirinya sendiri. Dia tidak boleh lagi dihantui bayang-bayang Tatiana. Karena tidak akan adil untuk Flo.Diusapnya rambut Flo dan dibelainya kepala perempuan itu penuh cinta. Adegan demi adegan percintaan mereka masih terbayang jelas di mata Rei. Bagaimana seorang Flo berhasil membangkitkan gairahnya yang sudah lama mati suri dan membahagiakannya sepenuh hati. Yang paling membuat Rei bersyukur Flo masih suci saat dimasukinya. Ternyata perempuan itu bisa menjaga dirinya dengan baik.Rei kembali tersentak ketika ada yang menyentaknya. Bukan istrinya, tapi berasal dari dirinya sendiri. Bagian bawahnya memberontak me