Rei juga terlihat senang. Lelaki itu membungkuk dan merentangkan tangan menyambut anak perempuan berambut panjang itu. Mereka saling berpelukan.“Kenapa belum tidur, sayang?” Rei bertanya lembut.“Soalnya Papa belum pulang, aku mana bisa tidur kalau nggak ada Papa.”Rei tertawa, sedangkan anak perempuan yang masih berada dalam pelukannya memandang Tatiana dengan penuh tanda tanya.“Papa kan kerja, sayang, kalau Papa sudah selesai pasti Papa pulang. Lain kali kamu nggak usah tunggu Papa ya!” kata Rei memberi pengertian.“Pa, itu siapa?” Anak perempuan itu menanyakan Tatiana.Rei melepaskan pelukan dan memutar tubuh menghadap Tatiana. Dengan senyum di bibir Rei pun menjawab. “Itu namanya aunty Tia, sayang.”Tatiana berdiri terpaku. Mencoba mencerna situasi. Papa? Apa maksud anak kecil itu memanggil papa pada Rei? Rei lalu berdiri tegak dan mendekati Tatiana. “Tia, ini Nabila, anakku.”“Anak?” ulang Tatiana dengan lidah kelu.“Iya, anak,” tegas Rei mengiyakan.“Maksudnya, kamu sudah men
Bian bergegas menuju ballroom hotel La Viola. Acara memang belum selesai, tapi orang-orang yang hadir di sana sudah tidak seramai tadi. Bian mencari sosok Tatiana dengan matanya ke setiap penjuru ruangan. Tapi dia tidak menemukan istrinya itu. Apa mungkin Tatiana sudah pulang?Bian lalu mengeluarkan ponsel dan menelepon Tatiana. Tersambung, tapi tidak dijawab. Bian mencoba sekali lagi. Tapi hasilnya masih sama. Lelaki itu belum menyerah hingga berkali-kali dia meredial. Bian mulai kesal. Ke mana Tatiana memangnya? Apa sebegitu susahnya untuk menerima telepon? Hanya tinggal mengusap ikon answer apa sebegitu berat?Bian akhirnya memutuskan untuk meninggalkan hotel dan pulang ke rumah. Mungkin Tatiana sudah berada di rumah. Masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, Bian tidak langsung pergi. Dia masih penasaran akan keberadaan Tatiana. Sekali lagi Bian mencoba peruntungan dengan menelepon istrinya itu. Dan kali ini dewi fortuna berpihak padanya.“Kamu di mana?” tanya Bian tanpa sala
Saat Tatiana terbangun pagi ini dia menemukan Bian tidur di sebelahnya. Tidak seperti biasa karena kali ini jarak mereka begitu rapat. Tanpa guling pemisah seperti hari-hari sebelumnya. Ajaibnya lagi mereka berada dalam selimut yang sama. Padahal biasanya mereka menggunakan selimut masing-masing.Tatiana tidak ingat jam berapa dia tidur tadi malam. Tapi yang dia tahu Bian masih terbangun saat itu. Entah apa yang dia lakukan setelahnya. Mungkin menambah minumannya dan menghabiskan berbotol-botol sampai hangover, lalu tidur sambil menceracau melafalkan nama wanita pujaannya.Tatiana bangkit dari posisinya berbaring, dan duduk sesaat untuk mengumpulkan nyawa. Tidak ada istilah menggeliatt malas dalam kamus hidupnya. Dari kecil dia sudah terbiasa dengan hidupnya yang sederhana cenderung keras.Begitu nyawanya terkumpul seutuhnya, Tatiana berniat turun dari tempat tidur, tapi tangannya dicekal.“Tia, siapkan pakaianku!”Tatiana melirik ke sebelahnya. Bian sudah bangun dan kini memandang p
“Yo, ada nggak teman kamu yang nganggur?” Bian membuka obrolan setelah mereka membelah jalan raya.“Banyak sih, Pak. Kalau boleh tau untuk apa, Pak?” Mario balik bertanya.“Untuk antar jemput Bu Tia.”Sontak Tatiana memandang pada Bian yang duduk di sebelahnya. “Antar jemput ke mana, Bi?”“Pokoknya ke mana aja. Mulai besok kamu kemana-mana nggak boleh sendiri.”“Lho, kenapa gitu?”“Nggak usah banyak tanya, Tia. Pokoknya kamu ikuti aja apa yang aku perintahkan,” tandas Bian menunjukkan keegoisannya. Lelaki itu kemudian beralih pada sang supir yang pura-pura serius memerhatikan jalan, padahal telinganya mendengar dengan jelas percakapan kedua majikannya. “Nanti kamu bawa dia ke rumah. Syaratnya harus punya SIM, nggak neko-neko, benar-benar pengen kerja, terus satu lagi kalau bisa yang sudah berumur, kalau perlu yang agak tua dan sudah berkeluarga.”Mario mendengarkan dengan baik kata-kata Bian. Dia lalu memikirkan dan mengingat-ingat apa ada temannya yang memenuhi syarat seperti yang d
Dugaan Tatiana ternyata salah. Rei bukan menempatkannya sebagai karyawan back office. Tapi sebagai asisten pribadi atau sekretarisnya. Semua ini jauh di atas ekspektasi Tatiana. “Rei, aku sama sekali nggak ada background sekretaris lho …” Tatiana memberitahu. Secercah rasa kurang percaya diri timbul di hatinya.“Nggak apa-apa, aku yakin kamu pasti bisa. Tapi ini beneran jadi asistenku lho. Maksudnya, nanti kamu juga harus ngelakuin hal-hal yang sifatnya pribadi. Misalnya menjemput Lala ke sekolah. Nggak keberatan kan?” tanya Rei untuk lebih meyakinkan. Siapa tahu Tatiana merasa tugas-tugas yang Rei berikan berada di luar konteks sebagai seorang sekretaris.“Tentu saja nggak, aku suka anak-anak kok,” sahut Tatiana cepat. Bekerja di ER Petroleum, nama perusahaan Rei, sudah merupakan keberuntungan yang luar biasa bagi Tatiana. Jadi apa masalahnya kalau hanya disuruh menjemput seorang anak kecil ke sekolah lalu mengantar ke rumahnya, kemudian kembali lagi ke kantor. Sepertinya tidak sul
“Papa!” Nabila berseru riang saat melihat Rei dari jauh. Anak perempuan kecil itu baru saja keluar dari kelasnya.“Papa nggak telat kan?” tanya Rei menyambut Nabila yang berlari menyongsongnya.“Nggak kok, Pa, aku baru aja keluar.” Mata bulat Nabila pindah pada Tatiana yang berdiri di sebelah Rei. Selama sepersekian detik anak itu memandang Tatiana dengan penuh arti.Tatiana tersenyum hangat. “Lala, masih ingat nggak sama Aunty Tia?”Nabila mengangguk cepat, tentu saja dia masih ingat. Baru tadi malam mereka bertemu. Jadi mana mungkin dia bisa lupa.Tatiana bermaksud duduk di jok belakang sendiri, tapi Rei melarang dan menyuruh duduk di depan dengan Lala. “Nggak sempit kan?” tanyanya kalau saja membatasi gerak-gerik Nabila.“Nggak, Aunty.”Tanpa sadar Tatiana mengusap kepala Nabila dan rambut panjangnya yang dikuncir dua. Dia membayangkan kalau nanti mempunyai anak perempuan yang manis, imut, dan pintar seperti Nabila. Tapi kemudian Tatiana menepis pikiran itu jauh-jauh. Bagaimana m
Rei menatap tajam pada Bian dan Gladys yang kini duduk tidak jauh dari mereka. Karena ramainya pengunjung di dalam resto, mungkin Bian jadi tidak menyadari kalau Tatiana juga berada di tempat yang sama dengannya.Rei sudah tidak tahan lagi untuk tetap diam. Bian harus tahu kalau istrinya juga ada di sini dan melihat perselingkuhannya.“Rei, mau ke mana?” Tatiana bertanya saat Rei tiba-tiba berdiri.“Aku harus bicara sama Bian, Tia.”“Jangan, Rei, nggak usah!” cegah Tatiana seraya menahan tangan Rei.“Kenapa?” tanya Rei tidak mengerti. Bagaimana mungkin Tatiana bisa bersikap setenang itu, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal sang suami terpampang nyata di depan matanya sedang bersama wanita lain.“Nggak usah, Rei, nggak enak dilihat orang.” Tatiana khawatir kalau Rei mendatangi Bian, takutnya dia akan emosi dan memancing perhatian orang-orang di resto itu.Rei kembali duduk. Kalau bukan karena Tatiana yang melarangnya, dia tidak akan tinggal diam. “Om Bian!” seruan Nabila yang tiba
Sudah sejak tadi Bian duduk di beranda sendiri. Berbatang-batang rokok pun sudah bertransformasi menjadi puntung dan teronggok di menggunung di dalam asbak bulat yang berada di atas meja. Hatinya yang galau serta perasaannya yang kacau terlukis di wajahnya yang terlihat gusar.Bagaimana tidak gusar. Sudah jam sembilan malam, tapi Tatiana belum juga pulang. Bian sudah meneleponnya berkali-kali. Memang tersambung, tapi tidak dijawab. Semua itu membuat Bian bertambah jengkel. Lebih baik bagi Bian Tatiana mematikan ponselnya saja daripada terhubung tapi tidak dijawab seperti ini.Deru mesin mobil yang semakin mendekat dan akhirnya masuk ke halaman rumah membuat Bian bangkit dari duduknya dan langsung berdiri. Lelaki itu dengan tidak sabar menunggu Mario keluar dari mobil. Tadi Bian memang menyuruh supirnya itu ke kantor Rei dan membawa Tatiana pulang. Nyatanya dia harus kecewa begitu mengetahui tidak ada siapa pun yang turun dari mobil melainkan Mario sendiri.“Gimana, Yo? Mana Tatiana?
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa