Ketiganya saling berpandangan penuh tanda tanya saat melihat kehadiran Darren yang muncul tiba-tiba. Elka dan Sofie langsung bersikap waspada. Mereka khawatir lelaki itu akan menyakiti sahabat mereka lagi. Elka maju beberapa langkah. “Mau apa ke sini? Mau jualan mouse? Atau keyboard?” Selain berprofesi sebagai karyawan Darren memang mempunyai usaha kecil-kecilan. Lelaki itu mempunyai lapak yang menjual aksesori komputer, tanpa komputernya, serta menyediakan jasa service atau perbaikan komputer, laptop, MacBook dan sejenisnya.Darren memandang sekilas pada Tatiana yang juga tengah menatapnya. “Elka, aku ke sini nggak jualan mouse atau pun keyboard. Aku mau ketemu sama Bapak Tanuwijaya, manajer perusahaan ini. Bisa kasih tahu yang mana ruangannya?”“Cari aja sendiri!” jawab Elka sinis.Darren tahu, sebagai sahabat Tatiana pasti Elka marah padanya. Dia mencoba memaklumi. Lelaki itu lalu keluar. Dia mencari sendiri ruangan yang dimaksud.“Ngapain dia ke sini?” tanya Sofie pada Elka. E
Darren sepertinya belum puas sebelum membuat Tatiana mendengar penjelasannya dan percaya padanya. Hari pertama dan kedua mungkin Tatiana bisa menghindar darinya. Tapi tepat di hari ketiga Darren tidak melepaskan Tatiana. Darren mengikuti Tatiana sampai ke toilet. Dengan berani dia ikut masuk. Tak peduli Tatiana yang akan marah padanya. Apapun risikonya, itu akan Darren pikirkan nanti. Yang jelas Tatiana harus mendengar dulu penjelasannya.Tatiana hampir saja menjerit saat keluar dari bilik toilet dan melihat Darren juga ada di tempat yang sama dengannya.“Kamu mau ngapain di sini? Sengaja ya mau buntutin aku? Awas! Aku mau lewat!” sergah Tatiana pada Darren yang menghalangi pintu.“Aku nggak akan biarin kamu keluar sebelum kamu dengar penjelasanku.” “Nggak ada yang perlu kamu jelasin lagi, Ren. Semua udah sangat jelas. Dan penjelasan kamu itu sama sekali nggak akan ngerubah apa pun.”“Tia, tolong dengarkan aku dulu, aku tau aku salah. Tapi semua nggak seperti yang kamu pikirin. Aku
Tatiana berjalan mendekat dan mencoba bersikap biasa. Mesti tatapan Bian terasa menekannya tapi tak perlu ada yang harus dia takutkan. Memangnya apa yang salah sehingga Tatiana harus takut? Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Itu setahunya. Tapi tidak menurut Bian. Lelaki itu melayangkan tatapan dingin sejak Tatiana berjalan dari pagar hingga saat mencapai pintu masuk rumahnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala yang entah apa maksudnya, Bian melirik arloji.Tatiana pura-pura tidak peduli. Sampai di kamar, dia langsung masuk ke kamar mandi, mengganti baju dan mengeringkan rambut. Jaket Darren yang dipakainya tadi tak berhasil melindungi dari hujan sepenuhnya.Membuka pintu kamar mandi setelah selesai mengganti pakaian, Tatiana dikagetkan oleh Bian yang langsung menghadang di depannya.“Kemana saja kamu baru pulang jam segini?”“Aku dari kantor, lembur.”“Bohong!” tuding Bian tidak percaya. Tega-teganya Tatiana berdusta padanya. Sudah jelas-jelas tadi dia melihat Tatiana dengan Dar
Entah berapa kali Bian menyebut nama Gladys dalam tidurnya, Tatiana tidak tahu. Tatiana menulikan telinga dengan memasang headset dan mendengarkan musik. Bodoh, pikirnya. Meskipun dia perempuan, kali ini dia tidak ingin mendengar lagu-lagu melankolis. Tatiana memutar lagu-lagu hip hop untuk menghibur telinganya, atau lebih tepatnya, hatinya.Saat terbangun di pagi hari, Bian masih tertidur. Tatiana meliriknya sekilas, lalu keluar dari kamar. Dia melihat Lina sedang menyiapkan sarapan untuk mereka di ruang belakang.“Sudah bangun, Bu Tia?” sapa Lina begitu menyadari kehadiran istri majikannya, atau yang kini juga berstatus sebagai majikannya.“Sudah, Bi Lina,” jawab Tatiana. “Bi, ada yang mau saya tanyakan.”“Tanya apa, Bu? Tanya aja.”“Pak Bian biasanya kalau setelah mabuk dikasih apa, Bi?”“Pak Bian mabuk ya, Bu?” Lina balik bertanya.“Iya, semalam,” jawab Tatiana. Sepertinya dia harus beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Termasuk membiasakan diri dengan kebiasaan Bian yang m
Tatiana kembali menunjukkan senyum tegar. Sudah jelas baginya kini kalau Bian berlabuh di hati yang mana. Dan perempuan itu tentu saja bukan Tatiana.“Sabar ya, Bu. Saya yakin ini nggak akan lama.” Mario menghibur dari depan. Meski Mario tahu dua orang yang tidak saling mencintai sekalipun pasti akan terluka jika salah satu dari mereka ada yang berkhianat.“Iya, Yo, nggak masalah kok.” Tatiana kembali tersenyum. Tapi kali ini Mario tidak bisa membaca ekspresi Tatiana. Entah benar-benar merasa biasa saja atau menyembunyikan luka jauh di dalam hatinya.“Kenapa Ibu nggak cerai saja dari Pak Bian?” celetuk Mario beberapa saat kemudian. Berdasarkan cerita Bian yang mengatakan bahwa mereka tidak saling cinta jadi Mario pikir bercerai bukanlah keputusan yang memerlukan pemikiran panjang.Tatiana sesaat tercenung. Kedengarannya mudah. Mereka tinggal bercerai lalu mengikuti persidangan di pengadilan yang Tatiana yakin Bian tidak akan datang, atau minimal diwakilkan oleh pengacaranya, tapi pa
Tatiana saat ini duduk di mobil di sebelah Bian dengan muka cemberut. Bagaimana tidak cemberut. Tadi Mario menemui Tanuwijaya dengan tujuan meminta izin agar Tatiana diperbolehkan pulang lebih awal. Tentu saja Mario menjual nama Bian. Tatiana malu. Entah apa penilaian sang manajer padanya.“Mulai besok kamu nggak usah kerja di sana lagi,” kata Bian setelah mereka baru saja melintasi jalan raya.Sontak Tatiana menoleh mendengar ucapan frontal itu. “Kenapa?”“Kamu bikin aku malu.”“Malu? Kenapa malu?”Bian tersenyum miring. “Kamu itu bodoh atau gimana sih? Kamu mikir nggak siapa aku? Apa pantas istri seorang pengusaha ternama kerja sebagai karyawan biasa?”“Menurutku pantas saja. Pekerjaanku itu halal, jadi kenapa harus malu?” balas Tatiana. Dia mempunyai pemikiran yang berbeda dengan Bian. Tatiana tidak mungkin berhenti bekerja. Kalau dia resign, otomatis dia tidak akan memiliki penghasilan lagi. Lantas bagaimana hidupnya? Setidaknya dia harus memiliki pegangan untuk diberikan setiap
“Mbak, make up-nya jangan terlalu tebal ya!” pinta Tatiana saat Meri mulai mendandaninya. Tatiana biasanya hanya menggunakan riasan minimalis di kesehariannya. “Nggak kok, Mbak,” jawab Meri sambil terus membedaki Tatiana. Meri memang menyapukan blush on tipis-tipis di muka Tatiana. Perempuan itu menonjolkan bagian bibir dengan memberi sentuhan bold melalui polesan lipstick warna merah terang di bibir Tatiana, hampir senada dengan gaunnya.“Ini bukan aku banget,” gumam Tatiana menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin.“Gimana, Mbak Tatiana suka?” tanya Meri meminta pendapat atas hasil kreasinya.Tatiana mengangguk. Selama ini dia selalu menggunakan warna-warna soft untuk riasannya. Dia belum terlalu percaya diri untuk tampil menonjol dengan riasan yang lebih berani. “Makasih ya, Mbak,” ujar Tatiana setelahnya.“Sama-sama, Mbak.” Meri tersenyum puas. Ikut bahagia melihat Tatiana yang merasa senang.Untuk kedua kalinya senja itu Bian terkaget-kaget melihat penampilan Tatiana ya
Tatiana berdeham menarik perhatian Gladys yang menganggapnya tidak ada sehingga perempuan itu menoleh padanya.“Kamu kenapa ada di sini juga?” tanya Gladys tidak senang. Dari tadi dia tahu ada Tatiana di sana, namun tak dipedulikannya. Menganggap hanya ada dirinya dan Bian di sana jauh lebih membahagiakan. Malam ini Tatiana tampak berbeda dengan gaun mewahnya. Bibirnya yang merah kelihatan begitu menggoda. Dan Gladys mau tidak mau harus mengakui bahwaTatiana tampak berbeda malam ini.“Suamiku yang mengajak ke sini, makanya aku ada di sini,” jawab Tatiana santai.Gladys mendengkus. “Suami,” desisnya mencemooh. Tatapannya lalu pindah pada Bian. “Bi, kamu udah bilang belum akan menceraikan dia?”Mata Tatiana melebar mendengar ucapan Gladys. Jadi Bian sudah punya niat untuk menceraikannya? Kapan? Kalau memang itu terjadi, berarti sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi janda rasa gadis.“Bi, kamu jadi kan menceraikan dia?” ulang Gladys meminta kepastian karena Bian hanya diam.Bian
Tokyo pagi itu lebih dingin dari biasanya. Gerimis yang turun sejak tadi menimbulkan rasa sejuk yang menembus hingga ke tulang. Membuat sebagian orang enggan keluar dari rumah. Jangankan dari rumah, bahkan Davin terlalu malas keluar dari selimut dan memilih meringkuk di dalamnya bersama wanita tercintanya.Sudah satu tahun belakangan Davin memboyong Angel dan anak-anak ke negara sakura itu. Sesuai dengan keinginan opinya—Delta Mahendra, yang mewariskan seluruh aset padanya. Maka Davin pun menggantikan Delta yang sudah sepuh menjalankan tugas sebagai pemimpin perusahaan dan pemilik berbagai usaha.Si kembar tiga saat ini sudah berusia sembilan tahun, disusul dengan El yang tahun ini menginjak delapan tahun. Sedangkan Romeo, ini adalah tahun ketiga hidupnya di dunia. Repot? Itu pasti. Pusing apalagi. Sering kali terdengar keributan di rumah itu. Semakin bertambah usia anak-anak rumah itu semakin ramai dan ricuh. Setiap hari ada saja yang diributkan. Yang besar suka mengganggu, sedangka
Lima tahun kemudian.Davin mondar-mandir sepanjang lorong rumah sakit. Sudah sejak tadi dia melakukan hal tersebut. Pikirannya kacau balau. Hatinya resah dan gelisah memikirkan seseorang yang berada di dalam ruangan sana. Seharusnya Davin mendampinginya, menemaninya dan tetap berada di sisinya sambil membisikkan kata-kata cinta dan semangat, serta sesekali mengecup lembut keningnya dengan tangan saling menggenggam. Namun semua itu hanya ada di dalam angan-angannya. Karena…Sembilan bulan yang lalu.Saat itu Angel dan Davin sedang bercengkerama di suatu sore di teras belakang rumah mereka. Sementara itu El dan si kembar yang sudah bersekolah di bangku taman kanak-kanak sedang bermain di taman belakang rumah yang sudah mereka modifikasi menjadi mini playground lengkap dengan kolam renang.Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat dan cerdas membuat keduanya bahagia. Pelan-pelan mereka mulai menunjukkan bakat, minat, serta hobi masing-masing. Si kecil El mewarisi nyaris seratus
Angel dan Davin sama-sama menghempaskan badan ke kasur begitu mereka sampai di kamar hotel. Nyaris sembilan puluh menit tayangan film di bioskop, dan keduanya tidak tahu apa-apa. Mereka ikut keluar ketika para penonton lain juga keluar saat film sudah selesai.“Duh, capek banget…,” keluh Angel sambil mengembuskan nafas.“Nggak ngapa-ngapain kenapa capek?”Mereka mungkin hanya duduk saja, tapi tingkah Davin yang terus menggerayanginya membuat Angel lelah. “Capeknya kerena kamu.”“Memangnya aku ngapain?” tanya Davin pura-pura bodoh dengan ekspresi yang membuat Angel gemas. Angel mendekat, melingkari pundak Davin dengan tangannya lalu mengecup lembut bibirnya yang hangat.“Dave, kira-kira anak-anak sekarang lagi ngapain ya?” tanyanya kemudian. Seharian ini mereka sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan para buah hati mereka.“Mungkin udah tidur,” jawab Davin mengira-ngira sambil melirik arloji mahalnya yang limited edition itu.“Kita telfon yuk, aku kangen.”“Nggal usah, Dek, katanya
Seperti rencana yang sudah tersusun di kepalanya, Davin membawa Angel ke hotel paling mewah di kota mereka. The Sun, namanya. Hotel itu teletak di pinggir kota dan jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Namun sengaja dibangun dengan konsep all in one building. Semuanya ada di sana. Mulai dari pusat perbelanjaan, restoran, pusat kebugaran tubuh dan kecantikan hingga playground. Tempat itu memang dirancang bagi orang-orang yang ingin menghilangkan penat dan beristirahat sejenak, namun tetap bisa memanjakan diri dengan hal-hal apapun yang mereka butuhkan.Setelah check in dan meletakkan barang-barang di kamar hotel, Davin mengajak Angel ke pusat perawatan kecantikan. Davin memang paling mengerti perempuan dan memahami istrinya. Mereka akan melakukan perawatan tubuh di sana. Berpasang-pasang mata tertuju pada pasangan ideal tersebut ketika tangan Davin membuka pintu kaca dan mempersilakan Angel masuk terlebih dahulu. Untuk sesaat mata keduanya menyapu sekitar. Menyaksikan resepsionis dan
“Kita mau ngobrolin apa, Dave?” tanya Angel di atas pangkuan Davin. Embusan nafas hangat Davin menggelitik lehernya. Membuat sekujur tubuhnya meremang. Memanggil-manggil jiwa terdalamnya untuk datang.“Aku rasa kita perlu honeymoon lagi, Sayang…,” bisik Davin dari belakang. Tangannya melingkari Angel dengan erat dan rapat.“Maksudnya mau nambah anak lagi?” sahut Angle seperti tersentak.“Lho, kok nambah anak? Memangnya orang yang pergi honeymoon itu mau nambah anak?”“Tapi biasanya kan gitu. Aku nggak mau lagi lho, Dave, udah cukup El yang terakhir,” ucap Angel sambil memberengut.Davin tersenyum kecil. Dikecupnya pundak Angel yang membuatnya gemas. “Anak itu kan rezeki. Rezeki nggak boleh ditolak kan? Aku ngajak kamu honeymoon tapi kapan-kapan, kalo El udah bisa ditinggal lama-lama. Sekarang honeymoon-nya di sini aja dulu.”Bisikan Davin di telinganya membuat Angel kian meremang. Pasti sebentar lagi Davin akan mengeksekusinya.Davin membalikkan tubuh Angel mengarah padanya sehingga s
Jujur saja selama ada Gendiz sedikit banyak meringankan Angel dan Davin. Hampir setiap hari Gendiz bermain ke rumahnya, atau memboyong anak-anak ke rumah orang tua mereka. Saking sayangnya pada para bocah, Gendiz juga menahan si kembar agar menginap bersamanya dan tidak mengantarnya pulang. Sesekali Davin dan Angel membiarkan si kembar tidur bersama Gendiz di rumah Kiano dan Adizty. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya kalau adiknya itu bisa menjaga ketiganya dengan baik. Meskipun sepanjang malam keduanya tidak bisa memejamkan mata karena tidak terbiasa berpisah dengan anak-anak mereka.“Kalian kalo mau kencan, pergi aja, biar anak-anak aku yang urus,” ucap Gendiz pada suatu hari. Melihat keseharian Angel yang disibukkan dengan mengasuh, menjaga, merawat dan mengurus anak-anaknya membuat Gendiz merasa kasihan. Begitu pula dengan Davin yang terlalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore. Kadang sampai senja atau malam. Pasti keduanya butuh waktu untuk hanya berdua saja tanpa direcoki anak-
“Halo, Mbak Angel, masih ingat sama saya?” Suara Nilam mengagetkan Angel yang berdiri di tempatnya dan belum bergeming sejak berdetik-detik yang lalu.Angel maju beberapa langkah mendekati Gendiz dan Nilam. “Tentu saja aku ingat. Kamu yang dulu resek kan? Yang suka menggoda suamiku?” sahut Angel tidak suka. Kehadiran Nilam membuatnya merasa tidak nyaman. Bukan karena dia takut akan kehilangan Davin, tapi tingkah Nilam begitu meresahkan.“Hehe…” Nilam tertawa canggung sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “maaf ya, Mbak Angel, tapi Mbak Angel jangan salah sangka dulu sama saya. Maksud saya baik kok. Saya hanya ingin menguji kadar cinta Mbak Angel sama mas Davin. Dan ternyata Mbak Angel cemburu sama saya. Hehehe…,” ucap Nilam penuh percaya diri.Angel tidak mengerti dengan gadis di hadapannya. Setelah minta maaf, eh bisa-bisanya bicara sesantai itu. Tidak ingin ambil pusing, Angel beralih pada Gendiz dan memeluk adik iparnya itu. Wangi vanila dari tubuh dan rambut Gendiz me
“Halo, Mas Davin, masih ingat siapa saya?” Nilam memamerkan senyum lebar pada Davin yang termangu saat beradu mata dengannya. Nilam harap pemuda tampan yang menawan hatiya sejak awal perkenalan itu tidak melupakannya.Davin membalas senyum Nilam sekenanya dan berbasa-basi sekadarnya. “Hai, apa kabar?”“Baik, Mas, bapak sama ibu juga sehat. Mereka titip salam buat Mas Davin.”“Terima kasih,” jawab Davin singkat, lalu segera menarik tangan Gendiz menjauh dari sana diiringi tatapan penuh tanda tanya Kiano, Adizty serta Nilam. Sedangkan anak-anak sibuk bermain dengan bonekanya.“Ada apa sih, Dave?” tanya Gendiz tidak mengerti karena Davin menarik tangannya tiba-tiba.“Ndiz, kenapa kamu bawa dia ke sini?” Suara Davin setengah berbisik. Meskipun saat itu mereka berada di ruangan yang terpisah, tapi bisa saja dinding mempunyai telinga dan menyampaikannya.“Maksudnya Nilam?”“Iya, siapa lagi kalo bukan dia,” jawab Davin kesal. D
“Dave, jangan lupa nanti jemput anak-anak di rumah mami,” kata Angel mengingatkan saat menelepon Davin melalui panggilan video sore itu, meskipun dia tahu kalau Davin tidak akan pernah melupakan hal tersebut.Davin tersenyum sambil merebahkan kepala ke sandaran kursi. Mendengar suara Angel mengusir penat yang menderanya.“Iya, Dek, aku nggak akan lupa kok. Mana mungkin aku bisa lupa. Kamu pasti modus kan?”“Modus apa?”“Bilang aja kalo sebenarnya kamu lagi kangen sama aku, pengen dengar suara aku terus pake alasan mengingatkan aku biar nggak lupa jemput anak-anak.”“Ih, apaan sih, Dave?” Angel tertawa saat merasakan pipinya menghangat digoda Davin.“Jadi serius kamu nelfon aku cuma buat kasih tahu jemput anak-anak?”“Kangen juga sih sebenarnya.”“Tuh kan ngaku akhirnya.” Davin tertawa karena berhasil menggoda Angel dan membuatnya mengakui perasaannya. “Aku juga kangen kamu, suara kamu itu bagai candu buat aku. Kamu nelfon kayak gini udah bikin aku bersemangat dan ngilangin semua rasa