Pagi ini Tatiana merasa badannya tidak seperti biasa. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Saat Tatiana memegang dahinya, dia merasakan hangat pada bagian itu. Tatiana tahu kondisi tubuhnya saat ini sedang menurun. Mungkin sebentar lagi dia akan demam. Hal itu diperkuat lagi dengan badannya yang meriang setelah mandi tadi.Bian masih belum pulang hingga saat ini, dan Tatiana mencoba untuk mengabaikannya.“Ibu Tia sakit? Muka Ibu pucat lho,” ujar Lina melihat wajah Tia yang agak pucat saat sarapan di ruang makan.Tatiana memegang pipinya, seolah dengan begitu dia bisa membuktikan perkataan Lina.“Nggak kok, Bi, saya nggak sakit,” sangkal Tatiana membantah.Lina terlihat kurang percaya, tapi dia tidak ingin mengusik Tatiana yang pagi ini terlihat sedikit berbeda. Mungkin merasa sedih kalau boleh Lina nilai.“Bi Lina, Pak Bian sering ya nggak pulang ke rumah?” tanya Tatiana tidak mampu lagi menyimpan sendiri rasa ingin tahunya.“Kadang-kadang sih, Bu, kalau lagi sibuk.”“Terus, apa dia k
Mario sudah menunggu di dalam mobil ketika Bian muncul. Melihat Bian membawa koper, lelaki itu dengan sigap keluar dari mobil dan mengambil alih dari Bian setelah terlebih dahulu membukakan pintu mobil agar Bian bisa masuk.“Jadi kita langsung ke bandara, Pak?” tanya Mario mengonfirmasi sekali lagi. Tadi Bian memang mengatakan padanya tujuan itu. Saat ini juga Bian akan berangkat ke Sumatera demi meninjau sendiri lokasi proyek tempat kecelakaan kerja terjadi.“Iya, kita langsung ke sana,” kata Bian menegaskan, menjawab pertanyaan Mario.“Pak Bian, tadi Bi Lina bilang Bu Tia lagi sakit, benar begitu, Pak?” tanya Mario lagi sambil melirik Bian melalui spion.“Iya,” sahut Bian dari jok belakang.“Jadi gimana, Pak?” Mario bertanya bingung.“Apanya yang gimana?”“Apa kita jadi pergi, Pak? Ibu Tia kan sakit.” “Itu nggak ada pengaruhnya, Yo. Lagian dia cuma commond cold, bukan sakit yang gimana-gimana.”“Tapi common cold juga sakit kan, Pak?” Entah mengapa Mario tidak suka pada respon Bian
Healthy Hospital, 16.10“Ibu Tia baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan dan mungkin terlalu banyak pikiran. Nanti saya akan resepkan vitamin.” Pria muda dengan kumis tipis serta bersnelli putih berbicara sambil menuliskan sesuatu.Saat ini Tatiana memang sedang berada di ruang praktik dokter. Tidak sendiri, tapi berdua dengan Rei. Tadi, lelaki itu memang mati-matian membujuknya agar mau ke rumah sakit. Rei tidak tega melihat kondisi Tatiana yang lemah. Dan pada akhirnya Tatiana menyerah pada bujukan adik iparnya itu.“Terima kasih, Dok.” Rei mengambil kertas berisi resep obat yang disodorkan dokter padanya. Tatiana ikut berterima kasih, lantas keluar dari ruangan dokter.Rei mengajak Tatiana ke apotik dan memintanya duduk di kursi tunggu, sementara dirinya memberi resep obat tadi pada petugas apotik.“Tadi aku sudah telfon Bian.” Rei memberitahu setelah duduk disebelah Tatiana.“Terus?” timpal Tatiana tak bersemangat. Dia tidak ingin berharap apa pun. Tatiana tahu, Bian tidak akan p
Bian berdiri sendiri di beranda dengan tangan terlipat di dada. Dia menunggu kedatangan Tatiana. Sudah dua puluh menit berlalu, tapi masih belum ada tanda-tanda kalau istrinya itu akan tiba. Pasti mereka mampir kemana-mana dulu. Tidak mungkin tidak. Bian menggeram sendiri menahan kesal dan membendung emosi.Bian mondar-mandir untuk membunuhh waktu. Kenapa hatinya segelisah ini? Rasanya Bian tidak bisa menerima sikap Tatiana yang bertindak semaunya. Harusnya tadi Tatiana minta izin dulu sama Bian. Meskipun Bian tidak sedang berada di rumah tapi setidaknya Tatiana bisa meneleponnya sekadar memberitahu kalau dia akan meninggalkan rumah. Walau itu pergi dengan adiknya sendiri.Deru mesin mobil membuat Bian memutar tubuh. Land Rover Discovery berwarna putih memasuki halaman rumahnya. Itu mobil Rei. Dan yang dinantinya sejak tadi akhirnya datang juga. Tatiana turun dari pintu depan sebelah kiri.“Dari mana saja kamu?” tanya Bian dingin dengan tatapan menyelidik.“Dari rumah sakit,” jawab Ta
Sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kaca kamar Gladys mengusik perempuan itu serta Bian yang tidur di sebelahnya. Gladys menyibak selimut dan melihat tidak satu pun kain menutup badannya serta pria di sampingnya.Gladys tersenyum puas membayangkan apa yang sudah terjadi semalam antara dirinya dan Bian. Meski berpisah selama apa pun, tapi Gladys selalu yakin kalau Bian pasti akan kembali padanya. Buktinya saat ini, Bian berada di pelukannya.Dalam diam Gladys memperhatikan Bian baik-baik. Hanya lelaki tampan ini yang membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Usia hubungan mereka memang belum bertahun-tahun. Tapi jangan tanya sedalam apa cinta Bian padanya. Bian yang keras, sedikit kasar dan temperamen, hanya Gladys yang tahu cara menaklukkannya. Gladys tahu persis kelemahan Bian. Salah satunya lelaki itu begitu mudah mengambil keputusan saat emosi. Contohnya saat mereka lost contact, tau-tau Bian mengambil keputusan bodoh itu. Menikah dengan Tatiana.Gladys beranjak dari te
Ketiganya saling berpandangan penuh tanda tanya saat melihat kehadiran Darren yang muncul tiba-tiba. Elka dan Sofie langsung bersikap waspada. Mereka khawatir lelaki itu akan menyakiti sahabat mereka lagi. Elka maju beberapa langkah. “Mau apa ke sini? Mau jualan mouse? Atau keyboard?” Selain berprofesi sebagai karyawan Darren memang mempunyai usaha kecil-kecilan. Lelaki itu mempunyai lapak yang menjual aksesori komputer, tanpa komputernya, serta menyediakan jasa service atau perbaikan komputer, laptop, MacBook dan sejenisnya.Darren memandang sekilas pada Tatiana yang juga tengah menatapnya. “Elka, aku ke sini nggak jualan mouse atau pun keyboard. Aku mau ketemu sama Bapak Tanuwijaya, manajer perusahaan ini. Bisa kasih tahu yang mana ruangannya?”“Cari aja sendiri!” jawab Elka sinis.Darren tahu, sebagai sahabat Tatiana pasti Elka marah padanya. Dia mencoba memaklumi. Lelaki itu lalu keluar. Dia mencari sendiri ruangan yang dimaksud.“Ngapain dia ke sini?” tanya Sofie pada Elka. E
Darren sepertinya belum puas sebelum membuat Tatiana mendengar penjelasannya dan percaya padanya. Hari pertama dan kedua mungkin Tatiana bisa menghindar darinya. Tapi tepat di hari ketiga Darren tidak melepaskan Tatiana. Darren mengikuti Tatiana sampai ke toilet. Dengan berani dia ikut masuk. Tak peduli Tatiana yang akan marah padanya. Apapun risikonya, itu akan Darren pikirkan nanti. Yang jelas Tatiana harus mendengar dulu penjelasannya.Tatiana hampir saja menjerit saat keluar dari bilik toilet dan melihat Darren juga ada di tempat yang sama dengannya.“Kamu mau ngapain di sini? Sengaja ya mau buntutin aku? Awas! Aku mau lewat!” sergah Tatiana pada Darren yang menghalangi pintu.“Aku nggak akan biarin kamu keluar sebelum kamu dengar penjelasanku.” “Nggak ada yang perlu kamu jelasin lagi, Ren. Semua udah sangat jelas. Dan penjelasan kamu itu sama sekali nggak akan ngerubah apa pun.”“Tia, tolong dengarkan aku dulu, aku tau aku salah. Tapi semua nggak seperti yang kamu pikirin. Aku
Tatiana berjalan mendekat dan mencoba bersikap biasa. Mesti tatapan Bian terasa menekannya tapi tak perlu ada yang harus dia takutkan. Memangnya apa yang salah sehingga Tatiana harus takut? Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Itu setahunya. Tapi tidak menurut Bian. Lelaki itu melayangkan tatapan dingin sejak Tatiana berjalan dari pagar hingga saat mencapai pintu masuk rumahnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala yang entah apa maksudnya, Bian melirik arloji.Tatiana pura-pura tidak peduli. Sampai di kamar, dia langsung masuk ke kamar mandi, mengganti baju dan mengeringkan rambut. Jaket Darren yang dipakainya tadi tak berhasil melindungi dari hujan sepenuhnya.Membuka pintu kamar mandi setelah selesai mengganti pakaian, Tatiana dikagetkan oleh Bian yang langsung menghadang di depannya.“Kemana saja kamu baru pulang jam segini?”“Aku dari kantor, lembur.”“Bohong!” tuding Bian tidak percaya. Tega-teganya Tatiana berdusta padanya. Sudah jelas-jelas tadi dia melihat Tatiana dengan Dar