Share

Buanglah Mantan Pada Tempatnya

Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lain. Hampir setiap ruas jalan yang Tatiana lewati dipenuhi oleh kendaraan. Mulai dari roda empat hingga roda dua seperti Tatiana sekarang. Sebagian dari mereka Tatiana yakin adalah karyawan seperti dirinya yang sedang mengejar waktu.

Tatiana hampir saja lolos dari antrian panjang di traffic light, nyatanya dia harus terjebak perangkap lampu merah lagi karena terlambat bergerak. Terpaksa Tatiana mengumpulkan lagi kesabarannya.

Dari balik kaca helm yang gelap Tatiana menoleh pada Land Cruiser hitam yang ikut antri di sebelahnya. Tatiana rasa dia mengenal mobil itu. Tatiana lalu membuka kaca helm agar bisa melihat dengan lebih jelas. Mirip mobil Bian, pikirnya. Tapi bukankah di kota ini banyak yang memiliki mobil serupa? Mungkin saja itu bukan Bian.

“Pak Bian, itu bukannya Ibu Tatiana?” tanya Mario saat melihat Tatiana yang juga ikut antri menunggu lampu merah bersamanya.

Bian mengarahkan mata pada pandangan Mario. Iya, itu memang Tatiana. Bian menatapnya sekilas, lalu memalingkan muka.

“Pak Bian, kasihan Ibu Tia,” celetuk Mario dari depan.

“Kasihan apanya?”

“Mendingan cariin supir buat Bu Tia, Pak.”

“Sudahlah, Yo. Biarkan saja dia sesukanya. Bukankah tadi aku sudah bilang?”

“Iya, Pak.” Mario mengalah, berhenti mendebat Bian. Tapi matanya masih belum lepas dari Tatiana.

“Mario, jalan!” suruh Bian saat lampu hijau sudah menyala.

“Iya, Pak.” Mario agak tersentak karena padangannya masih terfokus pada Tatiana.

Tiga ratus meter sebelum tiba kantor, Tatiana berhenti di tempat tukang bubur langganannya. Tatiana ikut antri bersama para pembeli lain. Sama seperti pagi sebelumnya, tukang bubur langganannya ini memang selalu ramai. Selain enak, harganya juga murah. Saking seringnya belanja di sini, yang jualan sudah mengenal Tatiana.

“Eh, Mbak Tia, tumben udah lama nggak ke sini?” sapa tukang bubur pada Tatiana.

“Iya nih, Pak, kebetulan baru sempat ke sini,” jawab Tatiana ramah.

“Mas Darren mana, Mbak Tia?” tanya tukang bubur mengedarkan pandangan ke belakang Tatiana.

Tatiana tersenyum kikuk. “Saya nggak tahu, Pak,” jawabnya dengan lidah kelu.

“Lho, biasanya Mbak Tia bareng mas Darren kan?” tanya tukang bubur heran. Seingatnya dulu hampir setiap pagi Tatiana dan Darren membeli bubur dagangannya. Hanya saja belakangan ini Tatiana dan Darren sudah lama tidak muncul, dan sekalinya datang, yang ada hanya Tatiana sendiri.

“Ehm, iya, tapi sekarang udah nggak lagi,” jawab Tatiana kemudian. “Buburnya satu, Pak, kayak biasa, nggak pake kacang,” pinta Tatiana agar bapak tukang bubur tidak lagi membicarakan Darren.

“Iya, Mbak Tia, siap. Bapak masih ingat kok. Kalau Mbak Tia nggak pake kacang, biasanya Mas Darren pasti nggak pake bawang. Hehehe …”

Tatiana tersenyum kecut saat tukang bubur berceloteh yang mengingatkannya lagi pada sosok Darren dan kebiasaan-kebiasaannya.

“Makasih ya, Pak.” Tatiana menerima seplastik bubur ayam pesanannya sambil menyodorkan sehelai uang kertas.

“Sama-sama, Mbak Tia.” Tukang bubur melepas Tatiana dengan senyum.

Tatiana hampir saja menabrak seseorang karena terburu-buru. “Maaf, saya ti--“ Kalimatnya tercekat di kerongkongan saat melihat siapa yang dia tabrak. Seketika tatapannya nanar kala menyaksikan Darren kini ada di hadapannya. Tidak sendiri, tapi bersama perempuan itu. Tatiana masih ingat. Namanya Kiara. Bagaimana tidak ingat. Insiden nama yang tertukar di buku pendaftaran pernikahan tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup.

“Tia, apa kabar?” tanya Darren yang di telinga Tatiana terdengar begitu ringan, tanpa rasa bersalah sama sekali.

Tatiana tidak menjawab. Dia ingin segera lenyap dari tempat itu sesegera mungkin. Tapi tanpa sengaja matanya menabrak perut Kiara yang sudah membesar.

Jadi dia hamil? Hebat! Padahal mereka baru saja menikah. Mungkin hanya selang beberapa hari sebelum Tatiana juga menikah. Kalau perutnya sudah sebesar itu, berarti sudah sejak lama mereka berselingkuh. Tatiana jadi geram sendiri. Tatiana mencoba mengingat lagi. Saat mereka bertemu sebelumnya Kiara memakai baju yang tampak longgar. Mungkin untuk menyamarkan perutnya yang tidak lagi rata. Dan kini Tatiana bisa dengan jelas menyaksikan semuanya.

“Tia!” Darren berseru memanggil Tatiana yang sudah menstarter motor dan berniat menyusul, tapi cekalan Kiara di tangannya menahan aksinya.

Rasa sakit itu menyerang lagi. Membuat dada tatiana kembali terasa sesak.

‘Tega kamu, Ren! Ternyata sudah dari dulu kamu mengkhianatiku. Sudah berapa lama, Ren? Lima bulan? Enam bulan? Sembilan bulan? Atau satu tahun? Atau malah sejak dua tahun yang lalu? Atau jangan-jangan selama ini aku memacari kekasih orang? Capek-capek pacaran, tapi ternyata aku cuma jagain jodoh orang.’

Di parkiran kantornya Tatiana bertemu Elka.

“Tia, kenapa pake motor?” tanya temannya itu heran.

“Kenapa memangnya?” timpal Tatiana.

“Tia, udah nggak pantas. Kamu itu istri Bian. Kamu tahu sendiri kan Bian itu siapa?”

“Memangnya siapa dia?” tanya Tatiana hampa. Masih sepagi ini tapi mood-nya sudah berantakan gara-gara bertemu Darren tadi.

“Lho, kamu gimana sih? Kok malah nanya aku?”

Tatiana tersenyum kecut. “Memangnya setelah aku menjadi istri dia aku harus berubah? Memangnya aku nggak boleh lagi jadi diriku sendiri?”

“Bukan gitu, Tia, tapi kamu harus bisa menyesuaikan diri. Kamu harus ingat, Bian itu bukan orang sembarangan. Dia orang terkenal, sukses, tajir, dan pintar.”

‘Iya, pintar nyakitin aku,’ keluh Tatiana di dalam hati.

Tatiana menuang bubur yang dibelinya tadi ke dalam mangkok. Saat ini dia dan Elka sudah berada di pantry. “Sorry, El, aku cuma beli satu.”

“Nggak apa-apa, aku sudah sarapan kok. Oh iya, itu kamu belinya di tukang bubur langganan sama Darren dulu ya?”

Suapan Tatiana terhenti. Bubur yang semestinya lembut terasa keras dan susah untuk ditelan.

“Iya. Tadi aku juga ketemu dia di sana. Dia sama cewek itu. Dan teryata dia sedang hamil. Aku sedih, El. Bisa nggak kamu bayangin, mereka baru kemarin menikah tapi dia sudah hamil. Itu artinya Darren mengkhianatiku dari dulu. Dan aku dengan begitu bodohnya percaya sama dia.”

Elka mematung dengan mulut setengah terbuka. Cerita Tatiana membuatnya syok.

“Aku sedih, El,” ucap Tatiana lagi. Bagi Tatiana, Elka adalah sahabat terbaiknya. Dia bisa mengadukan apa saja padanya. Nyaris tidak ada rahasia di antara mereka. Kecuali cerita tentang Bian, pastinya.

“Sudahlah, Tia … Lupakan Darren. Buanglah mantan pada tempatnya. Yang penting sekarang kamu sudah mendapat ganti yang jauh lebih baik. Iya kan?”

“Iya.” Tatiana mengangguk tidak yakin.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status