Share

Godaan Bibir Kissable

“Yang benar saja, Bi? Aku nggak percaya kalau dia istri kamu!” kata Gladys tidak terima. Saat ini mereka sedang berbicara di salah satu sudut lounge.

“Terserah kamu percaya atau nggak.  Nyatanya dia adalah istriku!” 

“Istri sewaan? Iya? Cuma buat manas-manasin aku kan? Nggak akan mempan, Bi! Apalagi cewek kayak gitu yang kamu sodorin ke aku,” oceh Gladys dengan ekspresi jijik.

“Kayak gitu gimana, hah? Buktinya dia jauh lebih baik dari kamu.”

“Cuih! Perempuan kayak gitu kamu bilang baik? Dilihat dari puncak Monas juga nggak ada bagus-bagusnya!” Gladys mengambil jeda, lantas menoleh sekilas pada Tatiana yang berdiri terpaku kebingungan sendiri.

Bian ikut melirik istrinya itu. Tatiana terlihat seperti orang bingung dalam diamnya. Tatiana pasti terheran-heran dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bian pun tidak ingin ambil peduli. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan perempuan berbibir seksi yang kini bersamanya.

“Aku nggak ngerti deh, Bi, apa bagusnya dia? Wajah biasa, penampilan nggak banget, aku juga yakin dia pasti nggak ngerti table manner. Iya kan? Seorang Fabian Cannavaro menikah dengan perempuan biasa  yang asalnya juga pasti nggak jelas, apa kata dunia? Kamu mikir nggak sih sampai ke sana? Aku ngeri ngebayanginnya, Bi, kalau sampai media tahu terus berita tentang kamu dijadiin headline dimana-mana,” omel Gladys panjang lebar sembari bergidik membayangkan.

“Media sudah tahu kalo aku sudah menikah, dan aku nggak akan peduli apa pun penilaian orang-orang. Persetan dengan mereka!” tegas Bian.

“Oh ya? Itu karena mereka nggak tahu siapa istri kamu, coba aja kalo mereka tahu,” ejek Gladys lagi-lagi setelah melihat ke arah Tatiana.

“Terserah!” tandas Bian,  lantas memutar tubuh dan berniat kembali pada Tatiana. Baru beberapa langkah kakinya tertahan saat mendengar Gladys kembali memanggilnya.

“Bian, tunggu!”

Bian menoleh, dan dia melihat Gladys yang sudah jatuh ke lantai dengan muka meringis.

“Bi, tolong antar aku pulang, kepalaku pusing,” rintih Gladys sembari memegang pelipisnya dengan tangan kanan.

“Bodoh amat!” sergah Bian.

“Bi… aku serius, aku pusing…” Gladys mengaduh lagi dan memperlihatkan muka kesakitan.

Bian pun tergugah dan luluh. Lelaki itu membantu sang mantan kekasih berdiri, lantas memapahnya keluar. Dalam sesaat dia sudah lupa kalau tadi datang ke sini bersama Tatiana.

Akhirnya Tatiana menemukan Bian. Matanya menangkap sosok sang suami melintas di depannya dengan memapah perempuan cantik yang menyita habis perhatian Bian. Lelaki itu tidak mempedulikan Tatiana. Mungkin karena dia terlalu fokus pada perempuan di sebelahnya.

Bian benar-benar pergi meninggalkannya dan Tatiana kebingungan sendiri. Tidak ada lagi mobil Bian saat Tatiana melihat ke parkiran hotel.

‘Gimana caranya aku pulang? Ini sudah larut malam. Apa mungkin pakai taksi online?’

Tatiana celingukan mengamati keadaan di sekitarnya. Tidak ada cara lain kecuali memesan taksi.

“Tatiana!”

Tatiana yang mengutak-atik ponselnya mencari aplikasi taksi online, mengangkat muka saat mendengar suara seseorang.

“Hei, Rei, kamu di sini juga?” sapanya sambil mencoba untuk tersenyum. Tapi terasa sulit. Mestinya dia merasa biasa-biasa saja karena pernikahan mereka hanya status. Nyatanya perasaan Tatiana yang terlalu halus dan sensitif membuatnya merasa sakit sendiri.

“Iya, aku juga di sini. Aku melihat kamu sejak tadi.”

“Berarti kamu juga melihat Bian pergi sama perempuan itu?”

Rei mengangguk. Dia juga merasa kasihan pada Tatiana. “Tia, pulang sama aku saja  ya, sekarang sudah terlalu larut. Aku nggak bisa jamin keselamatan kamu kalau pulang dengan yang lain.”

Tatiana menerima ajakan Rei karena teringat berita tentang pembunuhan yang dilakukan oleh seorang supir taksi online pada penumpangnya. Kalau bukan karena itu mungkin Tatiana akan menolak.

“Cewek tadi namanya Gladys.” Rei mulai bercerita tanpa diminta saat mereka baru saja meninggalkan area hotel.

Tatiana sontak menajamkan pendengaran saat melihat gelagat Rei akan bercerita panjang.

“Dia penulis buku, sekaligus penulis skenario film layar lebar. Dia mantan kekasih Bian.”

Tatiana menelan saliva yang terasa pahit saat mengetahui fakta itu secara langsung dari mulut Rei. Bisa dipastikan kalau info yang diperolehnya akurat.

“Terus, kenapa mereka bisa berpisah?”

“Gladys selingkuh sama aktor newcomer yang main di film dia,” jawab Rei. Sejenak dialihkannya pandangan dari jalan raya di hadapannya guna melihat ekspresi Tatiana.

Tatiana termangu. Dia mengerti sekarang. Berarti nasibnya tidak jauh berbeda dengan Bian. Mungkin itulah alasan Bian menerima saat Tatiana meminta untuk menikahinya. Tapi, kalau memang Bian dikhianati, seharusnya dia membenci Gladys, nyatanya dia malah pergi dengan perempuan itu.

***

Bian memijit pelipisnya. Tidak percaya kalau pada akhirnya akan bertemu lagi dengan Gladys. Bahkan kini mereka bersama dengan jarak sedekat ini. Padahal Bian mati-matian membenci perempuan itu karena pengkhianatan yang dia lakukan.

“Bi, aku minta maaf, aku khilaf, Bi… Aku sama Willy nggak benar-benar pacaran. Aku cuma  manfaatin dia biar film aku naik.”

“Bullshit!” umpat Bian menahan sakit hati. Lukanya hingga saat ini masih belum mengering saat mengingat perselingkuhan Gladys dan Willy. Tapi dasar cinta, hatinya kembali luluh.

“Bi, tolong maafin aku. Aku sama dia sudah putus.”

“Terus?”

“Aku-aku-aku ingin kita balikan lagi kayak dulu,” ujar Gladys pelan sambil mengamati muka Bian yang sedang menyetir.

“Itu karena film kamu sudah selesai. Lalu nanti kamu akan ninggalin aku lagi kalau udah mulai film yang baru.”

“Nggak, Bi, nggak akan pernah lagi. Udah aku bilang semua cuma settingan, Bi ...”

“Termasuk hubungan kita,” ucap Bian, entah pernyataan atau malah pertanyaan.

“Nggak, Bian, aku serius sama kamu. Yang aku cintai cuma kamu. Please, Bi, kasih aku kesempatan…” Gladys menangkup kedua tangannya di dada sebagai isyarat permohonan.

“Sorry, Dys, aku sudah menikah.” Bian menolak terang-terangan.

“Itu cuma status kan, Bi? Karena kamu sakit hati sama aku, makanya kamu lampiaskan dengan menikahi cewek nggak jelas itu!” tuding Gladys blak-blakkan.

“Kamu salah. Aku cinta sama dia, dan dia bukan pelampiasan.”

“Kalo kamu cinta sama dia, nggak mungkin kamu ada di sini sama aku.” Gladys masih belum ingin mengalah.

“Itu karena kamu pura-pura sakit kepala! Shitt!” Bian memukul setir keras-keras sehingga membunyikan klakson dengan panjang. Kesal sendiri karena sudah terjebak drama murahan yang dimainkan Gladys.

“Aku nggak pura-pura, Bian. Tadi aku memang sakit kepala.” Gladys terus mencoba meyakinkan Bian.

Bian mendengkus. “Aku harap kamu nggak kena kanker otak!”

“Bian, you are so rude!”

Bian tersenyum sinis. “Kalau perlu stadium akhir sekalian!” makinya jengkel. Sedangkan Gladys hanya memberengut. 

Dan sepanjang sisa perjalanan mereka tak bersuara.

“Nggak mampir dulu, Bi?” tanya  Gladys saat sudah sampai di apartemennya.

Bian melirik arloji, lantas memandang ke arah apartemen Gladys.

“Ayolah, Bi…” Gladys tersenyum manis. Bibir kissable-nya yang dulu sering Bian lumat seakan memanggil-manggil.

Muka Tatiana melintas di depan Bian, tapi cepat dia tepis agar tak mengganggu pikirannya. Atau setidaknya tidak membuat dia merasa bersalah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status